Arsip Kategori: artikel jurnal olahraga

PENYUSUNAN INSTRUMEN TES BOLA BASKET MINI USIA 10 – 13 TAHUN PUTERI MELALUI MODIFIKASI JOHNSON BATTERY TEST

Del Asri, Johansyah Lubis[1] dan Zainal Arifin[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 6 No 2 Nopember 2007 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

 

Penelitian Ini bertujuan untuk menyusun tes keterampilan teknik dasar bola basket mini yang diharapkan memiliki koefisien validitas dan reliabilitas yang tinggi, dan norma pada anak usia 10-13 tahun puteri. Penelitian yang dilaksanakan di gelanggang olahraga remaja Balai Rakyat Jakarta Timur pada bulan Juni – September 2005. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik korelasi. Populasi berjumlah 50 orang siswi dengan teknik pengambilan purposive sampling.

Pengambilan data menggunakan tes yang sudah dimodifikasi dari Johnson Battery Test Passing 10 bola dengan melemparkan ke target yang sudah diberi angka-angka, dribbel circle sepanjang garis three point dan lebar 1 meter ke arah luar garis mulai dari garis start sampai finish di start awal kembali dan shooting under basket yang dilakukan sebanyak 10 kali.

Hasil analisis data menunjukan bahwa pengukuran instrumen tes bola basket tersebut memiliki validitas, reliabilitas, dan norma. Tes melempar bola dengan nilai reliabilitas 0,73, tes menggiring bola dengan nilai reliabilitas 0,72, tes menembak dengan nilai reliabilitas 0,69, dan tes instrumen tes bola basket dengan nilai reliabilitas 0,73. Dan validitas yang berhubungan dengan para ahli (face validity), keterangan yang menyatakan valid dari para ahli.

Kata Kunci: Keterampilan Bola Basket Mini, Johnson Battery Test

PENDAHULUAN

Permainan bola basket pada zaman sekarang ini banyak sekali peningkatan dan semakin banyak digemari oleh masyarakat, khususnya di Indonesia bahkan telah menjadi trend setter bagi kalangan remaja-remaja. Walaupun bola basket adalah olahraga untuk kalangan muda dengan mayoritas pemain adalah kaum pria, namun sekarang bola basket juga dimainkan oleh wanita dan anak-anak yang akan menginjak masa remaja serta dari segala usia dan ukuran tubuh bahkan oleh mereka yang cacat fisik. Dikalangan pelajar baik itu dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas bahkan tingkat Mahasiswa permainan bola basket banyak digemari.

Bola basket ditemukan pada Desember 1891 oleh Dr. James Naismith, seorang anggota Sekolah Pelatihan YMCA di Springfield, Masschusetts (sekarang dikenal dengan nama Springfield College). Naismith merancang bola basket sebagai jawaban atas tugas yang diberikan oleh Dr. Luther Gulick, direktur Departemen Pendidikan Fisik, yang menugaskan untuk membentuk suatu permainan seperti sepakbola atau lacrosse yang dapat dimainkan dalam ruangan selama musim dingin (Hal Wissel, 2000:1).

Permainan bola basket memerlukan kerja sama tim dan keterampilan individu yang didalamnya terkandung unsur-unsur yang sangat diperlukan bagi pemain bola basket itu sendiri. Unsur-unsur tersebut yaitu, kekuatan, kecepatan, ketepatan, daya tahan, daya ledak, keseimbangan, dan sebagainya. Sedang untuk keterampilan skill, pemain itu sendiri harus menguasai teknik dasar dari bola basket yakni, mengoper (passing), menembak (shooting), menggiring (dribble) dan merajah (rebound). Hal Wissel (2000:1) mengatakan bahwa dewasa ini permainan bola basket menjadi olahraga yang paling berkembang pesat di dunia.

Anon (1991:198) menjelaskan tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permainan ini, yaitu: Bola basket adalah jenis permainan yang mudah dipelajari, tetapi tidak pernah dapat dikuasai dengan sempurna, (2) Tempat bermain dapat dilakukan dilapangan berumput atau lapangan terbuka atau dalam  ruangan tertutup atau gedung olahraga, (3) Masing-masing regu hanya memerlukan 5 (lima) orang pemain, bahkan di halaman rumah dengan memasang satu ring basket di garasi atau tembok permainan ini dapat dilakukan, (4) Jenis olahraga ini menuntut perlunya melakukan latihan yang baik sekali dalam membentuk kerjasama, dan (5) Penonton dapat melihat banyak hal, melalui tembakan yang bervariasi, penguasaan bola yang mempesonakan, terobosan yang fantastik, penuh tipu daya dan silih berganti yang terjadi antara regu satu dengan lawannya.

Permainan bola basket haruslah diperkenalkan sejak usia dini, karena pada masa anak-anak pertumbuhan fisik maupun mentalnya sudah matang. Pertumbuhan yang tampak jelas adalah pertumbuhan panjang lengan dan kaki, koordinasi antara tangan dan mata serta kaki dan mata, bertambah baik pula. Keberanian juga lebih berkembang. Hal ini terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

Dalam hal ini permainan bola basket banyak mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar, yakni dengan adanya permainan bola basket mini. Permainan bola basket timbul karena ada kesadaran bahwa untuk menjadi seorang pemain yang besar dan hebat haruslah dilatih sejak kecil. Maka diciptakanlah permainan bola basket dengan alat, fasilitas serta peraturan yang benar-benar sesuai dan dikondisikan untuk anak-anak. Dengan tujuan agar mengenal dasar-dasar bola basket sedini mungkin. Selain itu juga dididik para calon pelatih dan wasit dalam kelompok umur yang sama dengan pemainnya sendiri. Ini penting karena membantu mereka membentuk rasa tanggung jawab dalam umur yang muda.

Permainan bola basket mini ini berkembang pada tahun 1960 di Eropa, yang khusus diciptakan untuk anak usia 8-13 tahun, guna menyiapkan fisik serta menanamkan disiplin atas dasar hormat dan patuh pada peraturan. Menghormati lawan dan diri mereka sendiri juga merupakan salah satu perasaan yang bisa dibina melalui olahraga ini. Kunci dari permainan bola basket mini ini, bagaimanapun juga bukanlah suatu eksklusivisme menyiapkan seorang anak sebagai pemain basket professional, tetapi membuatnya menjadi suatu kegiatan yang edukasional dan dapat dinikmati oleh anak-anak tersebut.

Bola basket mini merupakan versi bola basket yang diperkecil skalanya. Ukuran lapangan yang dipergunakan adalah 26 X 14 meter, tetapi ukuran itu tidak mutlak. Ukuran bola biasa digunakan diameter 68-73 cm, dan berat bola 450-500 gram. Keranjang yang diletakan pada tiang setinggi 2,6 meter dengan ukuran lebar papan belakang keranjang 1,2 meter dan tinggi 0,9 meter. Secara umum peraturannya sama saja dengan bola basket biasa, setiap pemain atau anggota kelompok diharuskan bermain paling sedikit satu kali dalam periode itu, tiap periode masing-masing 10 menit.

Dengan ditemukannya permainan bola basket dengan menggunakan bola berukuran kecil, anak-anak dapat bermain bola dengan baik dan bisa berprestasi ke arah yang lebih tinggi lagi.

METODE  PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Nilai koefisien validitas dan reliabilitas tes keterampilan bola basket mini passing, shooting, dribble pada anak usia10-13 tahun puteri. 2) Norma tes keterampilan bola basket mini passing, shooting, dribble pada anak usia 10-13 tahun puteri.

            Penelitian ini dilakukan di Gelanggang Olahraga Remaja (GOR) Balai rakyat Condet Jakarta Timur. Waktu penelitian (pengumpulan data) ini dilakukan pada Juli – September 2005. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah anak puteri yang berumur 10-13 tahun yang berada di club bola basket CP Perumnas, Jakarta Timur. Sampel pada penelitian ini berjumlah 50 puteri. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling.

Instrumen penelitian ini adalah tes keterampilan Jhonson Battery Tes yang dimodifikasi oleh penulis. Dengan masing-masing butir-butir tes sebagai berikut: 1) Passing: Ketepatan menembak target dengan jarak 3 meter, 2) Shooting: Tes Under Basket Shoot dilakukan sebanyak 10x tembakan, 3) Dribble: Tes “three point half-circledribble.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi data yang disajikan adalah deskripsi penyusunan instrumen tes keterampilan bola basket mini Jhonson Battery Tes, yaitu passing, shooting dan dribble. Berikut adalah penyajian deskripsi data modifikasi Jhonson Battery Tes, meliputi nilai terendah, nilai tertinggi, rata-rata, simpangan baku dan varians.

Berdasarkan data penelitian, yaitu sebanyak 50 anak puteri didapat rentang skor dari 17 poin sampai 29 poin. Dari data tersebut diperoleh rata-rata passing 10 bola sebesar 22,14 dan simpangan baku sebesar 2,87.

Shooting Under Basket 10 Bola: berdasarkan data penelitian, yaitu sebanyak 50 anak puteri didapat rentang skor dari 1 poin sampai 9 poin. Dari data tersebut diperoleh rata-rata shooting 10 bola sebesar 5,8 dan simpangan baku sebesar 1,93.

Dribble Half Circle Three Point: berdasarkan data penelitian, yaitu sebanyak 50 anak puteri didapat rentang skor dari 12,98 detik sampai 25,15 detik. Dari data tersebut diperoleh rata-rata dribble sebesar 18,66 detik dan simpangan baku sebesar 3,04.

Data hasil perhitungan diperoleh nilai validitas dan reliabilitas dari masing-masing item tes. (1) Passing 10 bola nilai validitasnya 0,65 dan nilai reliabilitasnya 0,72. (2) Shooting 10 bola nilai validitasnya 0,64 dan nilai reliabilitasnya 0,68. (3) Dribble nilai validitasnya 0,82 dan nilai reliabilitasnya 0,72. Keseluruhan tiga item tes memiliki nilai validitas dan reliabilitas sebesar 0,73.

Agar keterampilan bola basket mini usia 10-13 tahun puteri melalui modifikasi Jhonson battery tes mudah untuk digunakan maka disusun norma dengan menggunakan persentil range.

 

Tabel 1. Persentil Passing, Shooting dan Dribble Norma

No. Percentil Range Passing Shooting Dribble
1 100 29 9 12.98
2 90 26 8 14.55
3 80 24 7 15.59
4 70 24 7 17.13
5 60 23 7 17.94
6 50 22 6 18.59
7 40 22 6 19.56
8 30 20 5 20.42
9 20 19 4 20.91
10 10 18 3 23.16

Dari perhitungan persentil range maka dapat disusun tabel norma secara sederhana sebagai berikut:

Tabel 2. Kategori Norma

No Kategori Skor Total Persentil Range
1 Sangat Baik > 243
2 Baik 183-242
3 Cukup 123-182
4 Kurang 63-122
5 Sangat Kurang < 62

PEMBAHASAN

Bola basket mini merupakan bentuk permainan olahraga dari hasil modifikasi bola basket yang disesuaikan dengan siswa Sekolah Dasar, hal ini seperti arti Bola Basket mini, yaitu suatu permainan yang didasarkan atas bola basket bagi anak laki-laki atau perempuan yang berumur dua belas tahun atau kurang (Anon, 2000:11).

Sedangkan menurut pendapat lain Bola Basket Mini merupakan suatu bentuk penyederhanan peraturan kegiatan jasmani guna memberikan pengalaman gerak siswa-siswi Sekolah Dasar yang sesuai dengan tingkat kematangan kognitif dan motorik siswa (Matakupan, 1995:100).

Permainan bola basket ini hendaknya dianggap sebagai olahraga yang dapat diajarkan sejak anak masih kecil. Para guru sering kali menunda mengajarkan olahraga ini sampai anak mencapai usia tigabelas atau empatbelas tahun. Cara berpikir terbaru mengenai bidang pendidikan menyebabkan olahraga bola basket ini menjadi populer disekolah-sekolah, dimana anak laki-laki dan wanita dapat bermain bersama dalam suatu team. Kecekatan anak-anak wanita dalam menangkap bola, dan kegesitan serta kelincahan anak laki-laki dalam permainan ini menyebabkan bola basket menjadi suatu permainan yang sangat menarik.

Mini bola basket ini persis sama dengan apa yang disebut  “biddy bola basket” yang banyak dimainkan di Amerika oleh anak-anak berusia antara delapan sampai duabelas tahun. Yang digunakan adalah bola yang berukuran lebih kecil dan ringan (Vic Ambler, 2000:8).

Mini basket, seperti yang terkandung dalam namanya, merupakan versi bola basket yang diperkecil skalanya. Ukuran lapangan yang digunakan adalah 26 X 14 meter (tidak mutlak). Boleh saja tergantung situasi lapangan sekitarnya. Perbandingan ukuran seperti yang disebutkan harus selalu jadi patokan. Para pemainnya pun hendaknya berusia tiga belas (13) tahun kebawah pada tahun pelajaran baru (Vic Ambler, 2000:8).

Bola basket mini kaya akan unsur-unsur keterampilan dasar, aktifitas fisik, pengembangan rasa sosial dan disiplin dalam regu yang berguna bagi anak tersebut yang terlibat.

Menyiapkan anak untuk berolahraga  pada umumnya memberi mereka semangat akan suatu keberhasilan dan kegembiraan dalam kehidupan berolahraga (Vic Ambler, 2000:8).  Menurut Imam Soejoedi (1978:72), bola basket mini itu merupakan suatu permainan untuk anak yang berumur 12 tahun kebawah, karena permainan bola basket mini tepat sekali diajarkan di Sekolah Dasar. Bola basket mini diajarkan bertujuan agar anak-anak memperoleh dasar-dasar permainan bola basket dan juga anak-anak gemar akan permainan bola basket.

Permainan bola basket mini ini dirancang untuk memperkenalkan bola basket sebagai salah satu sarana rekreasi yang menyenangkan bagi anak-anak. Meskipun disebutkan mini, akan tetapi dalam memainkan bola dalam kegiatan tersebut tidak jauh berbeda dengan permainan dilaksanakan oleh orang dewasa. Artinya aktivitas gerak yang dilakukan kaya akan bentuk-bentuk kegiatan jasmani. Hal ini seperti dijelaskan dalam peraturan bola basket mini yang dikeluarkan oleh PERBASI, bahwa Bola Basket Mini adalah bentuk pengalaman gerak yang kaya dan unik untuk anak laki-laki dan perempuan guna diperkenalkan kepada bola basket, meratakan jalan untuk keterlibatan mereka dalam olahraga itu. Didasari pada prinsip-prinsip pendidikan yang memberikan mereka kesempatan untuk perkembangan fisik, intelektual, emosional anak-anak (Anon, 2000:8).

Permainan bola basket mini pada dasarnya memberikan sarana pengalaman gerak yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan intelektual, motorik siswa Sekolah Dasar. Selain daripada itu guna memperkenalkan siswa terhadap jenis permainan olahraga sehingga dalam berbagai kesempatan dapat melakukannya. Permainan bola basket mini memiliki ciri-ciri antara lain: 1) ukuran lapangan, 2) jumlah pemain, 3) waktu bermain (Imam Sodikun, 1992:11-16).

Permainan bola  basket mini dilaksanakan dilapangan dengan bentuk dan ukuran yang sesuai dengan tingkat aktivitas siswa Sekolah Dasar. Bentuk lapangan yang digunakan permainan tersebut persegi panjang dengan ukuran panjang 28 meter dan lebar 15 meter. Titik tengah lapangan tersebut dibuat garis untuk memisahkan regu dalam permainan. Di kedua ujung lapangan ditempatkan tiang keranjang basket dengan  tinggi 2.60 meter diatas lantai. Papan pantul dengan ukuran mendatar 1,20 dan 0,90 meter untuk ukuran tegak lurus dan vertikal. Masing-masing keranjang berdiameter 0,45 meter (Imam Sodikun, 1992:12-13).

Bola basket merupakan salah satu jenis olahraga yang diselenggarakan secara beregu. Permainan bola basket mini dimainkan oleh dua regu dimana masing-masing regu terdiri dari 5 pemain diatas lapangan dan 5 pemain cadangan atau pengganti. Waktu permainan dalam bola basket terdiri dari dua babak yang masing-masing babak waktu permainannya 20 menit, dengan istirahat 10 menit.

Berdasarkan hal tersebut, maka permainan bola basket mini adalah salah satu permainan yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan siswa Sekolah Dasar dengan memodifikasi ukuran lapangan dan waktu permainan.

Keterampilan bola basket yang diterapkan pada anak-anak berusia 12 tahun kebawah adalah sama dengan orang dewasa. Keterampilan dasar yang diajarkan pada anak-anak antara lain: 1) teknik melempar dan menangkap, 2) teknik menggiring bola, 3) teknik menembak.

Melempar dan menangkap merupakan salah satu skill dasar dalam permainan bola basket yang sangat dibutuhkan oleh setiap pemain, sebab hampir sebagian besar permainan bola basket menggunakan lemparan dan tangkapan. Untuk menguasai keterampilan tersebut, diperlukan penguasaan gerakan sehingga sasaran yang diinginkan dapat tercapai.

Dalam hal ini melempar bertujuan untuk memberi operan kearah teman. Passing yang baik adalah melakukan operan kearah sasaran yang diinginkan. Menurut Imam Sodikun (1992:48), istilah melempar mengandung pengertian mengoper bola dan menangkap bola berarti menerima bola. Kegiatan ini dapat berlangsung silih berganti, maka selalu dilakukan berteman biasanya disebut juga Operan.

Operan dalam permainan ini dapat diperhatikan yang khusus. Pada umumnya operan ini dilakukan dengan cepat, keras tetapi tidak liar, sehingga dapat dikuasai oleh kawan yang akan menerimanya. Operan juga dapat dilakukan dengan lunak, tetapi tergantung pada situasi keseluruhan. Operan juga dapat dilakukan dengan gerak tipu dahulu, yaitu dengan berpura-pura akan melempar  kearah tertentu, tapi tiba-tiba beralih kearah lain.

Menurut Marta Dinata (2003:6) mengoper bola harus dilakukan dengan gerakan cepat dan langsung. Pemain harus mengkonsentrasikan diri dalam menggunakan sebelah atau dua belah tangan dalam mengoper kepada teman. Posisi mengoper bola dapat dilakukan dari arah rendah ataupun dari ketinggian di depan tubuh.

Ada bermacam-macam teknik dalam mengoper, yaitu: 1) operan dada, 2) operan dari atas kepala, 3) operan pantulan, 4) operan samping, 5) operan lengkung samping (Imam Sodikun, 1992:49-54).

Operan dan tangkapan yang baik penting bagi permainan tim itu sendiri, dan keahlian seperti itulah yang membuat bolabasket menjadi permainan tim yang indah. Operan adalah keahlian paling dasar yang sering diabaikan (Hal Wissel, 2000:71). Pemain jarang berlatih operan karena kurang mendapat perhatian orang dibanding si pencetak skor.

Kegunaan khusus operan adalah untuk: 1) mengalihkan bola dari daerah padat pemain, 2) menggerakan bola dengan cepat pada fast break, 3) membangun permainan yang ofensif, 4) mengoper ke rekan yang sedang terbuka (tanpa permanan lawan) untuk penembak, serta 5) mengoper dan memotong untuk melakukan tembakan sendiri (Hal Wissel, 2000:71).

Kemampuan menggiring  (dribble) bola basket merupakan salah satu keterampilan yang penting dan mutlak yang harus dikuasai oleh setiap pemain, dan tentang menggiring bola basket menurut Imam Sodikun (1992:57), menggiring adalah salah satu cara yang diperbolehkan oleh peraturan untuk membawa lari ke segala arah. Seorang pemain boleh membawa bola lebih dari satu langkah, asal bola sambil dipantulkan, baik berjalan maupun berlari.

Yang disebut dengan dribbling adalah gerak memantulkan bola ke lantai dengan satu tangan, baik pada saat pemain sedang berdiri di tempat maupun bergerak. Dribling berakhir apabila bola dipegang atau dioperkan oleh pemain, begitu pula apabila hanya dipegang sebentar saja pada saat dribble tersebut dan dribbling tidak boleh dilakukan dua kali berturut-turut (Gerhard Stocker, et.al., 1988:11).

Sedangkan Imam Soejoedi (1978:29) menjelaskan menggiring adalah suatu usaha untuk membawa bola ke depan. Kegunaan menggiring bola adalah: 1) cepat menuju basket, 2) menyusup pertahanan lawan, 3) mengacaukan pertahanan lawan, 4) membekukan permainan.

Teknik menggiring bola merupakan kemampuan dengan bola, dimana pemain yang menguasai bola sebelum bola itu di passing kepada teman atau untuk menciptakan point, akan melakukan gerakan dengan bola baik itu berupa berlari dengan bola atau gerakan menggiring bola.

Menggiring bola sangat penting dan banyak gunanya dalam permainan bola basket sebagaimana di ketahui bahwa dalam situasi  tertentu tidak ada lawan yang menghalangi atau serangan balik (fast break) maka pemain dapat menggiring bola dengan cepat dan leluasa untuk menghasilkan point. Kesulitannya adalah pada saat menggiring bola bila ada lawan yang menghalangi dan mengejar.

Menggiring bola yang benar adalah dengan satu tangan                  (kanan/kiri). Untuk kemahirannya dianjurkan untuk membiasakan keduanya, jadi yang baik hendaknya seimbang kekuatan menggiring dengan tangan kanan dan kiri.

Jenis menggiring bola adalah: 1) menggiring bola tinggi (untuk kecepatan), 2) menggiring bola rendah (untuk kontrol atau penguasaan), 3) menggiring campuran menurut kebutuhan (Imam Sodikun, 1992:58).

Pendapat dari Imam Soejoedi (1978:30) bahwa menggiring bola dapat di bagi dua yaitu: 1) menggiring bola tinggi. Gunanya untuk memperoleh posisi mendekati basket lawan secepat-cepatnya. 2) menggiring bola rendah. Gunanya untuk menyusup dan mengacaukan pertahanan lawan, dan menggiring bola dalam menghadapi lawan.

Dribble adalah salah satu cara membawa bola. Agar tetap menguasai bola sambil bergerak, anda harus memantulkannya pada lantai. Pada awalnya, bola harus lepas dari tangan sebelum kaki diangkat dari lantai (Hal Wissel, 2000:95).

Beberapa manfaat khusus dribble antara lain: 1) memindahkan bola keluar dari daerah padat penjagaan ketika operan tidak memungkinkan, 2) memindahkan bola ketika penerima tidak bebas penjagaan, 3) memindahkan bola pada saat fast break karena rekan tim tidak bebas penjagaan untuk mencetak angka, 4) menembus penjagaan kearah ring, 5) menarik perhatian penjaga untuk membebaskan rekan tim, 6) menyiapkan permainan menyerang, 7) memperbaiki posisi atau sudut (angle) sebelum mengoper ke teman, 8) membuat peluang untuk menembak (Hal Wissel, 2000:95).

Menembak atau Shooting merupakan suatu keterampilan yang paling penting, dan untuk memiliki keterampilan ini diperlukan suatu latihan yang banyak. Gerakan shooting meliputi gerakan mengarahkan dan mengusahakan agar bola jatuh tepat di sasaran (Marta Dinata, 2003:9).

Menurut Imam Sodikun (1992:59), menembak merupakan sasaran akhir setiap bermain. Keberhasilan suatu regu dalam permainan selalu ditentukan oleh keberhasilan dalam menembak. Dasar-dasar menembak sebenarnya sama dengan teknik operan, jadi jika pemain menguasai dasar teknik mengoper, maka pelaksanaan teknik menembak bagi pemain tersebut akan sangat mudah dan cepat dilakukan.

Ada beberapa jenis tembakan yang baik yang perlu dilatih dan dikenal, yaitu: 1) tembakan dengan 2 tangan di dada, 2) tembakan dengan 1 tangan diatas kepala, 3) tembakan dengan 1 tangan, 4) tembakan lay up, 5) tembakan didahului dengan menggiring bola dan langsung mengadakan tembakan lay up, 6) tembakan loncat dengan 1 tangan, 7) tembakan loncat dengan 2 tangan, 8) tembakan kaitan (hook shoot), 9) tembakan lain gaya (Imam Sodikun, 1992:59).

Keterampilan terpenting dalam permainan bola basket ini adalah kemampuan untuk “shooting” atau menembakan bola kedalam jala keranjang. Keterampilan ini merupakan suatu keterampilan yang memberikan hasil nyata secara langsung. Selain itu memasukan bola kedalam jala merupakan inti dari strategi permainan bola basket ini (Vic Ambler, 2000:9).

Tes adalah alat pengukur yang mempunyai standar yang obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu (Anas Sudijono, 2003:66).

Menurut Suharsimi Arikunto (1999:53), tes adalah merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan.

Tes adalah suatu alat  atau prosedur yang sistematis  dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat (Amir Dien Indrakusuma, 1993:21).

Pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk “mengukur” pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan  dengan atau atas dasar ukuran tertentu (Anas Sudijono, 2003:4). Pengukuran memacu pada observasi atau pengamatan yang hasilnya dinyatakan dalam bilangan atau bersifat kuantitatif.

Pendapat lain mengatakan bahwa pengukuran adalah suatu proses untuk menentukan kuantitas atau jumlah dari sesuatu (Amir Dien Indrakusuma, 1993:22). Rusli Lutan dan Adang Suherman (1999:20) mengatakan bahwa pengukuran merupakan proses pengumpulan informasi. Biasanya pengukuran merupakan penentuan skor secara obyektif berdasarkan performa.

Pemanfaatan merupakan bagian dari proses pengukuran, selain itu pengukuran itu perlu dijabarkan dalam  istilah waktu, jarak, jumlah atau banyak tugas yang dikerjakan dengan sempurna. Pengukuran yang baku bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan administrasi  dan bimbingan, sedangkan pelaksanaan pengukuran dengan tes yang dibuat oleh guru itu sendiri sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan pengajaran.

Evaluasi adalah proses penentuan ukuran atau nilai dari data yang terkumpul. Disebutkan bahwa evaluasi meliputi tes dan pengukuran. Hubungan timbal balik antara tes, pengukuran dan evaluasi dapat diperlihatkan, dimana evaluasi mencakup semuanya (Don Kirkendall, dkk, 1980:2).

Menurut Anas Sudijono (2003:5), bahwa evaluasi pada dasarnya merupakan penafsiran atau interpretasi yang sering bersumber pada data kuantitatif, sedang data kuantitatif merupakan hasil dari pengukuran.

Evaluasi merupakan penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun. Karena itu evaluasi mencakup pemanfaatan tes dan pengukuran. Pengertian evaluasi juga dapat dikemukakan dalam ungkapan lainnya yakni sebagai proses penilaian secara kualitatif data yang telah diperoleh melalui pengukuran (Rusli Lutan dan Adang Suherman, 1999:20).

Pengukuran dan evaluasi dapat memiliki beberapa tujuan, akan tetapi tidak semua tujuan cocok untuk segala situasi sepanjang waktu. Dalam evaluasi pada hakikatnya adalah peraturan yang sifatnya membimbing dalam suatu kegiatan.

Bentuk tes yang akan dipilih haruslah sesuai dengan kemampuan yang paling dominan dalam cabang olahraga. Dengan demikian kita dapat mengetahui dengan jelas kemampuan yang dimiliki atlit dalam sebuah cabang olahraga. Alat tes yang digunakan dalam pengetesan diusahakan tidak terlalu banyak dan yang paling penting unsur-unsur validitas dan reliabilitasnya terpenuhi.

Pelatih dapat memilih alat tes yang relevan dengan peraturan  saat ini. Bila tidak ada, pelatih harus mengkonstruksi tes atau membuat alat tes yang baru, agar relevan dengan peraturan pertandingan saat ini.

Langkah-langkah untuk mengkonstruksi tes penampilan gerak sebagai berikut: (1) tentukan komponen ketrampilan cabang olahraga, (2) rencanakan tes untuk setiap keterampilan, (3) mengujicobakan tes pada kelompok yang besar, (4) melakukan uji validitas, (5) mengevaluasi validitas  dan gabungan tes karena tidak ada keterampilan yang mewakili seluruh keterampilan, (6) menguji bobot setiap item dengan cara analisis item dan teknik hubungan ganda (Mary Jane Haskin, 1972:239-240).

Ada dua faktor yang tidak dapat diabaikan dalam mengkonstruksi suatu tes, yaitu: validitas dan reliabilitas. Valid  berarti cocok atau sesuai (Amir Dien Indrakusuma, 1993:35). Suatu tes dikatakan valid, apabila tes tersebut benar-benar mengarah kepada apa yang dituju. Tes tersebut benar-benar dapat memberi keterangan atau gambaran tentang apa yang diinginkan.

Validitas dapat definisikan keshahihan suatu tes apabila tes itu dapat mengukur apa yang hendak diukur (Nurhasan, 1987:17). Validitas tingkat ketepatan tes sebagai alat ukur dalam mengungkapkan suatu unsur-unsur didalam gejala yang hendak diukurnya.

Menurut Moh. Nazir (1998:179) ada dua pengertian yaitu validitas muka berhubungan dengan pengukuran atribut yang kongkrit tanpa memerlukan Inferensi. Validitas muka berhubungan dengan penelitian para ahli terhadap suatu alat ukur (Nurhasan, 1987:18). Validitas ada bermacam-macam seperti validitas logis, validitas empiris dan validitas faktor.

Pendapat dari Widiastuti (1998:11), tes adalah valid apabila mengukur unsur-unsur penting gerak yang seharusnya diukur sesuai dengan tujuan pengukuran. Validitas adalah ketepatan pengukuran terhadap unsur-unsur penting yang seharusnya diukur. Jika ada data yang dihasilkan oleh instrumen yang benar dan valid sesuai kenyataan, maka instrumen yang digunakan itu valid. Validitas sebuah tes dapat diketahui dari hasil pemikiran dan hasil pengalaman (Suharsimi Arikunto, 1999:65).

Validitas bukan ditekankan pada tes itu sendiri tetapi pada hasil pengetesan atau skor. Pendapat lain dari Suharsimi Arikunto (1999:69) mengatakan untuk sebuah tes memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium.

Reliabilitas menyangkut ketetapan alat ukur, suatu alat ukur yang mantap tidak berubah-ubah pengukurannya dapat diandalkan karena penggunaan alat ukur tersebut berkali-kali akan memberikan hasil yang serupa (Nurhasan, 1987:18).

Reliabel berarti dapat dipercaya. Reliabilitas berarti dapat dipercayanya sesuatu, tes yang reliabel berarti bahwa tes itu dapat dipercaya. Suatu tes dikatakan dapat dipercaya apabila hasil yang diapai oleh tes itu konstan atau tetap, tidak menunjukkan perubahan-perubahan yang berarti (Amir Dien Indrakusuma, 1993:27).

Suatu alat pengukur atau tes adalah reliabel apabila dengan alat pengukur atau tes itu kita peroleh hasil yang selalu sama apabila kita pergunakan untuk mengukur atau mengetes suatu objek. Reliabilitas adalah derajat keajegan hasil pengukuran (Widiastuti, 1998:12).

Berdasarkan uraian diatas, suatu alat pengukur dikatakan reliabel jika alat pengukur itu menghasilkan suatu gambaran (hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya dan diandalkan untuk membuat hasil pengukuran yang dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama terhadap objek dan subjek yang sama maka hasilnya tetap atau relatif sama.

Suatu tes dapat pula memberikan hasil yang tidak dapat dipercaya (unreliable). Unreliabilitas suatu tes ini dapat disebabkan oleh 2 macam faktor, yaitu : “(1) situasi pada waktu tes berlangsung, (2) keadaan tes itu sendiri” (Amir Dien Indrakusuma, 1993:29). Untuk mengatasi hal semacam ini, seorang yang akan menyusun tes harus benar-benar menguasai bahan yang akan diteskan dengan mendalam dan sesempurnanya.

Reliabilitas suatu alat pengukuran dapat ditentukan melalui tiga cara, yaitu: 1) Reliabilitas yang diperoleh melalui pengukuran ulang. 2) Reliabilitas yang diperoleh melalui pengukuran setara. 3) Reliabilitas yang diperoleh melalui teknik belah dua. (Nurhasan, 1987:18-19).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa instrumen yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi cenderung menghasilkan data yang sama tentang suatu variabel atau unsur-unsurnya jika diulangi pada waktu yang berbeda pada sekelompok individu yang sama. Suatu tes harus memiliki tingkat ketepatan yang tinggi dalam mengungkapkan bidang yang jadi masalah penelitian. Yang terpenting dalam pemilihan baterai tes ini adalah harus benar-benar memiliki koefisien  korelasi yang tinggi dengan cabang olahraga tersebut, karena baterai tes ini dugunakan untuk mengetahui kemampuan atlit dalam suatu cabang olahraga.

Perkembangan serta kecenderungan sifat pertumbuhan fisik dan perkembangan gerak yang terjadi pada diri manusia sejalan dengan bertambahnya usia, agar mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik.  Ada beberapa istilah yang harus dipahami oleh setiap pelatih dalam mengetahui perkembangan atletnya, yaitu: pertumbuhan (growth), perkembangan (development), kematangan (maturation), penuaan (aging).

Membicarakan pertumbuhan fisik tidak bisa lepas dari definisi pertumbuhan secara umumnya yang seringkali tertukar dengan istilah perkembangan.  Secara sederhana pertumbuhan fisik erat kaitannya dengan perubahan ukuran tubuh, sedang perkembangan dengan fungsi tubuh. Sebagai contoh: besarnya otot, memanjangnya tungkai atau lengan merupakan gejala pertumbuhan fisik. Sedangkan meningkatnya kemampuan dribel, menembak dan lain-lainnya itu merupakan gejala perkembangan.

Pertumbuhan adalah peningkatan ukuran tubuh. Pertumbuhan merupakan hasil dari proses penyempurnaan bagian-bagian tubuh. Misalnya pertumbuhan tinggi badan, panjang kaki, lebar bahu, lebar panggul dan sebagainya (Sugiyanto, 1993:3).

Sedangkan Djauhar Ismail (1990:68) berpendapat bahwa pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktural dari tubuh dalam arti sebagian atau keseluruhan, menuju keadaan dewasa. Pertumbuhan dapat diukur dengan ukuran tinggi/panjang dalam suatu centimeter, inci atau ukuran berat dalam suatu gram, kilo gram, pound dapat juga pertumbuhan diukur dengan ukuran keseimbangan metabolik, misalnya retensi kalsium dan nitrogen tubuh, umur tulang dan sebagainya. Dan yang dimaksud dari pertumbuhan itu sendiri adalah bertambahnya tinggi seseorang dari masa pertumbuhan memiliki batas umur (Anon, 1993:31).

Dari hasil penelitian bahwa pertumbuhan (tinggi) seseorang banyak sekali dipengaruhi oleh beberapa faktor: a) genetik, b) gizi, c) aktivitas, d) seks, e) lingkungan (Anon, 1993:32). Dalam hal pertumbuhan bagian-bagian tubuh, pertumbuhan panjang kaki dan panjang lengan dan tangan relatif lebih cepat dibanding pertumbuhan togok. Perbandingan bentuk tubuh antara anak laki-laki dengan anak perempuan mulai tampak pada akhir masa anak besar. Anak perempuan menjadi sedikit lebih cepat dalam pertumbuhan lebar panggul. Perbandingan kecepatan tinggi badan antara anak laki-laki dengan anak perempuan juga tidak sama. Antara umur 10 sampai 14 tahun anak perempuan lebih tinggi, dan sesudahnya anak laki-laki menjadi lebih tinggi.

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks. Dan maksud dari Perkembangan Fisik menurut Djauhar Ismail (1990:68) yaitu kemampuan seorang anak untuk melakukan kegiatan yang lebih bersifat fisik/motorik yang bisa berupa motorik kasar dan motorik halus, misalnya: duduk, jalan, lari, menggunting, menjepit dan lain-lain. Perkembangan dalam Psikologi perkembangan diartikan dengan bertambahnya kemampuan tubuh, termasuk kemampuan gerak, kemampuan kognitif, pertambahan besar otot, kematangan berpikir, pertambahan berat badan, dan lainnya (Anon, 1993:32).

Perkembangan kemampuan fisik terjadi sejalan dengan pertumbuhan fisik. Tubuh yang tumbuh makin tinggi dan makin besar bisa meningkatkan kemampuan fisiknya. Kemampuan fisik yang perkembangannya cukup besar adalah kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan. Kekuatan merupakan kemampuan fisik yang dihasilkan dari kemapuan kontraksi otot dalam mengangkat atau menahan beban. Makin besar penampung otot, makin besar kekuatan yang bisa dihasilkan.

Pada anak perempuan secara proposional peningkatan tercepat dicapai pada usia 9 sampai 10 tahun, dan anak laki-laki mencapai pada usia 11 sampai 12 tahun. Anak perempuan 2 tahun lebih cepat dibanding dengan anak laki-laki karena berhubungan dengan kecenderungan perempuan mencapai kematangan biologis dan fisiologis lebih kurang 2 tahun lebih awal dibanding laki-laki.

Fleksibilitas adalah keluasan gerak persendian. Fleksibilitas berkembang cukup pesat pada anak besar. Anak perempuan mengalami peningkatan fleksibilitas secara umum yang cepat sampai usia 12 tahun, dan sesudahnya cenderung mengalami penurunan. Sedang pada anak laik-laki masih terus berkembang sesudah usia 12 tahun.

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh untuk tidak bergoyang atau roboh, baik pada posisi diam maupun pada saat melakukan gerakan. Perkembangan keseimbangan dinamik terjadi pada usia antara 6 sampai 16 tahun, tetapi pada anak laki-laki sedikit melambat peningkatannya pada usia 7 sampai 9 tahun, dan pada usia 8 sampai 10 tahun pada anak perempuan. Mulai usia 8 tahun anak laki-laki cenderung lebih baik dibanding anak perempuan dalam hal keseimbangan dinamik.

Berikut di bawah ini penjelasan perbedaan antara Jhonson battery tes dengan modifikasi Jhonson battery tes.

 

Tabel 3. Perbedaan Jhonson Battery tes dengan modifikasi Jhonson battery tes

Tes Jhonson Battery tes Modifikasi Jhonson Battery tes Alasan-alasan
A.     Passing
Passing dengan taget yang tergantung dengan poin 3,2,1. Terdapat tiga gambar berupa gambar segi empat dengan masing-masing ukuran kotak pertama panjang 10 cm lebar 20 cm,. Kotak kedua panjang 25 cm, lebar 40 cm. Kotak ketiga panjang 40 cm, lebar 60 cm.

Dengan ketinggian target 152,4 cm. 3 poin jika masuk garis segi empat bagian dalam dua poin jika masuk garis segi empat bagian tengah, satu poin jika masuk garis segi empat bagian luar

Passing dengan target di dinding dengan poin 3, 2, 1, terdapat tiga lingkaran dengan warna yang berbeda-beda. Dengan jarak passing ke target 3 meter  dan tinggi target 1 meter. Skor yang diperoleh jumlah lemparan yang mengenai target yang sudah terdapat poin-poinnya 3,2,1. 3 poin jika masuk garis dilingkaran paling dalam, 2 poin jika masuk garis dalam lingkaran kedua dan 1 poin jika masuk garis lingkaran paling luar.dan bila tidak terkena semua target diberi nilai 0. Dengan memodifikasi

tes anak usia 10-13 tahun puteri akan mudah melakukan   passing dengan target yang cepat tepat dan akurat.

B.     Dribbling
Dribble zig-zag selama 30 detik dari garis star yang ditentukan. Jumlah yang didapat menentukan skor dengan masing-masing skor yang telah ditentukan. Dribble circle, mendribbel bola melalui melalui garis tiga angka base line kanan sampai garis tiga angka base line kiri dengan memutar. Pada saat start Dribble menggunakan tangan kanan dan pada saat pembalikan menuju garis finish menggunakan  tangan kiri  sampai garis finish. Waktu yang diperoleh menentukan skor. Dengan modifikasi tes dribble  anak usia 10-13 tahun puteri akan lebih cepat melakukan dribble circle menggunakan kedua tangannya.
C.     Shooting
Shooting di bawah ring basket selama 30 detik, dengan poin satu setiap masuk kedalam keranjang Shooting di bawah ring basket dengan melakukan sebanyak 10 kali tembakan. Dengan poin 1 setiap kali masuk ke keranjang basket. Dengan modifikasi tes shooting anak usia 10-13 tahun puteri kemampuan anak untuk melakukan shooting lebih dekat ke keranjang untuk memasukkan bola akan merangsang gerak otomatisasi shooting.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, secara umum menyimpulkan bahwa hasil penelitian diperoleh nilai validitas dan reliabilitas yang signifikan dari masing-masing item tes, karena nilai r lebih besar daripada harga kritik dalam tabel. Passing 10 bola nilai validitasnya 0,65 dan nilai reliabilitasnya 0,73. Shooting 10 bola nilai validitasnya 0,83 dan nilai reliabilitasnya 0,69. Dribble nilai validitasnya 0,64 dan nilai reliabilitasnya 0,72. Keseluruhan tiga item tes memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,73. Norma Instrumen untuk kategori sangat baik dengan skor persentil range > 243, kategori baik dengan skor persentil range antara 183-242, kategori cukup dengan skor persentil range antara 123-182 kategori kurang dengan skor persentil range antara 63-122, dan kategori sangat kurang dengan skor persentil range <62.

Saran

Berdasarkan hasil penelitan tersebut di atas, maka peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut: 1) Pembina serta pelatih bola basket, khususnya pelatih untuk usia 10 – 13 tahun diharapkan dapat mempergunakan instrumen tes ini sebagai alat ukur dalam penelitian tes keterampilan tehnik dasar bola basket. 2) Disarankan agar diadakan penelitian lanjutan untuk menghasilkan suatu instrumen baku sebagai alat dalam mencari calon atlet bola basket mulai dari usia 10 – 13 tahun keatas.

DAFTAR RUJUKAN

Ambler, Vic. 2000. Petunjuk untuk Pelatih dan Pemain Bola Basket. Bandung: CV. Pioner Jaya.

Amier Dien Indrakusuma. 1993. Evaluasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Anas Sudijono. 2003. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anon. 1993. Fisiologi Dasar dan Anatomi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Penataran KONI Pusat.

Anon. 2000. Peraturan Permainan Bola Basket Mini. Jakarta: Dirjen PLS Pemuda dan Olahraga.

Danu Hoedaya. 2001. Pendekatan Keterampilan Taktis dalam Pembelajaran Bola Basket. Departemen Pendidikan Nasional: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Peraturan Bola Baket Mini.  Jakarta: Direktorat Keolahragaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djauhar Ismail. 1990. Tumbuh Kembang Anak: Kursus Penyegaran IDAI cabang Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.

Harsono. 1993. Latihan Kondisi Fisik. Jakarta : KONI Pusat.

Haskin, Mary Jane. 1972. Evaluation in Physical Education. Iowa: WMc. Brown Co. Publisher.

Imam Sodikun. 1992. Olahraga Pilihan Bola Basket. Jakarta: Departemen  Pendidikan dan Kebudayaan.

Imam Soejoedi. 1978. Permainan dan Metodik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kirkendall, Don, Joseph J. Gruber dan Robert E Jhonson. 1980. Measurement and Evaluation For Physical Education. Iowa: Brown Co Publisher.

Marta Dinata. 2003. Dasar-Dasar Mengajar Bola Basket. Bandar Lampung: Cerdas Jaya.

Matakupan, J. 1995. Teori Bermain. Jakarta: Depdikbud.

Moh. Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neuman, Hannes. 1988. Basket Ball Grundschole, Terjemahan Agus Setiadi, Bola Basket Pendidikan Dasar dan Latihan. Jakarta: Gramedia.

Nurhasan. 1987. Buku Materi Pokok Tes dan Pengukuran. Jakarta: Penerbit Kurnia Universitas Terbuka.

Rusli Lutan dan Adang Suherman. 1999. Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Stocker, Gerhard, et  al. 1988. Bola Basket dari Permainan sampai Pertandingan. Jakarta: PT. Gramedia.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyanto. 1993. Pertumbuhan dan Perkembangan Gerak. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Penataran KONI Pusat.

Suharsimi Arikunto. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Tomoliyus. 2001. Pendekatan Ketrampilan Taktis dalam Pembelajaran Bola Basket. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Vincent, William J. 2005. Statistika dalam Kinesiologi, diterjemahkan oleh Del Asri. Jakarta: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

Widiastuti. 1998. Tes dan Pengukuran Olahraga. Jakarta: FPOK IKIP Jakarta.

Wissel, Hal. 2000. Bola Basket: Dilengkapi dengan Pemahiran Tehnik danTaktik, Penerjemah : Bagus P. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Johansyah Lubis, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Zainal Arifin, S.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN KINERJA GURU PENDIDIKAN JASMANI SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN B DAN C DI DKI JAKARTA

Del Asri, Mustara[1]dan Slamet Sukriadi[2],

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 7 No 2 Nopember 2008 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan motivasi guru dengan kinerja guru pendidikan jasmani. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari – Agustus 2008 di Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei. Jumlah sampel sebanyak 30 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan berupa angket dengan skala likert. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi sederhana.

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara motivasi guru dengan kinerja guru Pendidikan Jasmani  yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi rxy= 0,745 (α=0,05), dan koefisien determinasi = 0,5548 yang berarti kontribusi motivasi guru terhadap kinerja guru pendidikan jasmani adalah 55,48%.

Kata Kunci: Motivasi Kerja, Kinerja, Guru Pendidikan Jasmani

PENDAHULUAN

 

Pendidikan untuk semua (Education For All), demikian suatu ajakan dan himbauan United Nation Educational,Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).  Pendidikan yang dimaksud tidak terbatas untuk sebagian kalangan  tertentu, melainkan untuk semua kalangan. Sejatinya, pendidikan tidak boleh berpihak kepada agama, warna kulit, etnis, suku bangsa, bahasa, serta kondisi fisik tertentu. Pendidikan harus menjadi pemersatu dari semua kalangan termasuk didalamnya anak berkelainan/ berkebutuhan khusus.

Gearheart (1981), dalam Frieda Mangunsong, dkk mengatakan   “seorang anak dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan pendidikan yang berbeda dari rata- rata anak normal dan untuk dapat belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas dan materi khusus”

Anak berkebutuhan khusus, adalah individu yang memerlukan perhatian, pelayanan dan pendidikan khusus, sehingga juga dibutuhkan pendidik, program, pengelolaan, kurikulum dan institusi khusus. Perhatian, pengelolaan dan pendidikan khusus yang dilaksanakan  akan memudahkan anak dalam mengikuti proses pembelajaran.

Lembaga atau badan pendidikan khusus   yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah  Sekolah  Luar  Biasa  (SLB). SLB  menjadi pilihan utama untuk mengembangkan anak berkebutuhan khusus dapat menikmati pendidikan secara terarah. Di lembaga ini anak berkebutuhan khusus akan dikelompokkan menurut ke”khusus”an mereka. SLB A untuk anak yang mengalami gangguan/kerusakan penglihatan (Tunanetra). SLB B untuk anak yang mengalami gangguan/kerusakan pendengaran (Tunarungu).  SLB C untuk anak yang mengalami keterlambatan mental (Tunagrahita), SLB D untuk anak yang mengalami kelainan pada bagian tubuh (Tunadaksa) dan SLB E untuk anak-anak yang mengalami penyimpangan perilaku dan tidak selaras dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya (Tunalaras)

Pendidikan jasmani adalah satu-satunya aspek dalam pendidikan anak seutuhnya yang langsung memberikan manfaat mengembangkan jasmani, keterampilan sekaligus kesegaran jasmani, yang pada akhirnya berpotensi untuk memacu perkembangan sosial, emosional, mental dan kreativitas. Pendidikan   jasmani   yang   diberikan   bagi  anak  berkebutuhan khusus sangat berbeda dengan pendidikan jasmani yang diberikan di sekolah regular, hal ini dimaksudkan agar sejatinya setiap anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang sama dan seimbang dalam proses pembelajaran dan dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan jasmani yang diberikan bagi anak berkebutuhan khusus disebut juga pendidikan jasmani khusus/ pendidikan jasmani adaptif. Disebut khusus karena pendidikan jasmani adaptif memuat suatu system penyampaian pelayanan yang komprehensif yang dirancang untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor.

Pendidikan jasmani adaptif di sekolah luar biasa, diberikan dengan berbagai modifikasi yang memungkinkan individu untuk dapat memperoleh kesempatan berpartisipasi dengan aman, seimbang, sukses dan memperoleh kepuasan sebagaimana anak yang lain. Modifikasi tersebut mencakup waktu, fasilitas, teknik penyajian, media, metode, dan lain sebagainya. Mengingat kepada spesifikasi pelaksanaan dan pelayanannya, maka pendidikan jasmani adaptif memberikan manfaat normalisasi, rehabilitasi dan remedial bagi anak berkebutuhan khusus.

Kinerja merupakan rangkuman terukur secara kuantitatif maupun kualitatif dari tugas-tugas  yang dilakukan seseorang  atau sekelompok orang pada satuan unit kerja atau organisasi. Bertautan dengan pelaksanaan tugas  tersebut terdapat  suatu harapan yang akan dicapai bilamana tugas tersebut diselesaikan. Bagi organisasi sekolah,  kinerja guru  pertama kali terkait dengan kualitas. Guru yang berkualitas tentu memperhatikan penampilan  dalam berproses. Penampilan yang dimaksud adalah untuk mewujudkan suatu tuntutan  penyediaan pelayanan yang  baik untuk kemajuan siswa, guru itu sendiri, pemimpin dan lembaga pendidikan  di tempat guru tersebut berkarya.

Kinerja guru juga terkait dengan kuantitas. Kuantitas pertama adalah rasio guru dengan siswa. Kenyataan seringkali menunjukkan adanya ketimpangan pada bagian ini. Banyak kasus dijumpai satu orang guru harus membimbing terlalu banyak siswa. Akibatnya banyak guru menjadi terhambat dalam meningkatkan kompetensi profesionalnya.

Menurunnya kinerja guru berhubungan erat dengan kualitas kerjanya. Louis dan Smith (1990) mengidentifikasi tujuh kualitas indikator kinerja guru, sebagai berikut: 1) Penghormatan dari masyarakat yang relevan, seperti administrator di sekolah dan distrik, orang tua dan masyarakat secara luas, 2) Partisipasi dalam pembuatan kebijakan, yang meningkatkan rasa pengaruh guru atas control suasana kerja mereka, 3) Interaksi professional yang bersifat mendorong dan sering di antara kelompok peer (misalnya kerja bersama/hubungan kolegial) dalam sekolah, 4) Struktur dan prosedur yang menyumbangkan pengaruh spesifik dari kinerja guru, 5) Kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang ada secara maksimal dan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru (pengembangan diri); kesempatan untuk bereksperimen, 6) Sumber daya yang memadai untuk melakukan pekerjaan lingkungan fisik yang teratur dan nyaman dihuni (pleasant), 7) Rasa   kecocokan  antara tujuan personal dengan tujuan sekolah (alienasi yang rendah).

Kepedulian kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah luar biasa tentunya didasari oleh adanya keinginan atau kebutuhan tertentu yang ingin diperoleh. Keinginan atau kebutuhan tersebut adalah motivasi. Motivasi   dapat bersumber dari dalam diri sendiri (intrinsik) atau dari luar (ekstrinsik). Motivasi dari tiap orang tentu berbeda, sebagian orang bekerja untuk mendapat gaji/upah tinggi, memperoleh jabatan dan mendapat kepuasan, sebagian orang bekerja untuk mengisi waktu luang atau mencari pengalaman. Sebagian lain bekerja untuk memperoleh teman dari kalangan sejenis.   Beragamnya motivasi bekerja dari tiap-tiap orang menunjukkan dinamika terhadap motivasi itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka menarik untuk dilakukan suatu penelitian tentang “Hubungan Motivasi Kerja dan Kinerja Guru Pendidikan Jasmani Sekolah Luar Biasa Bagian B dan C di DKI Jakarta”.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan motivasi kerja dengan kinerja guru  Pendidikan jasmani  Sekolah Luar Biasa Bagian B dan C di DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan   di sekolah luar biasa (SLB ) B dan C Provinsi DKI Jakarta yang terdapat di lima wilayah  kotamadya, yaitu: Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan. Penelitian dillaksanakan  pada bulan Januari  sampai Agustus  2008.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei dengan menggunakan angket sebagai instrumen dalam pengumpulan data. Populasi yang diteliti (studied population) dalam penelitian ini adalah seluruh guru pendidikan jasmani dan guru yang mengajar pendidikan jasmani di sekolah luar biasa  yang berjumlah 85 orang. Teknik pengambilan data sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling berjumlah 30 orang. Instrumen penelitian menggunakan angket dengan skala ”likert” (Edy Suharono, 2001:61).

Proses kalibrasi instrumen dilakukan untuk menentukan validitas butir dan reliabilitas instrumen pengujian validitas butir menggunakan rumus product moment correlation. Maka kriteria batas minimum pernyataan yang diterima adalah r tabel = 0,444 jika r hitung ≥ r tabel maka butir pernyataan dianggap valid dan sebaliknya  jika r hitung < dari r tabel maka butir pernyataan dianggap tidak valid atau drop/tidak digunakan (Suharsimi Arikunto, 1998:243). Sedangkan untuk reliabilitas tes digunakan rumus alpha dengan nilai besaran hasil uji Reliabilitas adalah 0,867. Teknik analisis data dalam penelitian ini teknik korelasi dan regresi.

HASIL PENELITIAN

Responden pada penelitian ini berjumlah 30 orang dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki ada 17 (56,67%) orang dan perempuan ada 13 (43,33%) orang. Berdasarkan usia responden dengan usia termuda 30 tahun dan usia tertua 43 tahun, dimana yang terbanyak antara usia 30 – 32 tahun ada 8 (26.67%) orang dan paling sedikit sebanyak 5 (16.67%) orang usia 39 – 41 tahun dan 42 – 44 tahun, usia 33-35 tahun dan 36 – 38 tahun masing-masing ada 6 (20.00%) orang. Latar belakang pendidikan untuk S1 FIK ada 1 (3.33%) orang, S1 PLB ada 6 (20.00%) orang, PGSLB atau D2 PLB ada 22  (73.33%) orang dan SI Psikologi ada 1 (3.33%) orang. Latar belakang pendidikan untuk lulusan pendidikan jasmani ada 1 (3.33%) orang dan lulusan non pendidikan jasmani ada 29 (96.67%) orang.

Motivasi Guru

Data skor Motivasi Guru Pendidikan Jasmani dengan skor tertinggi 70, skor terendah 48, rata-rata 59,57, varians 20,81, dan simpangan baku 4,56. Berdasarkan kategorisasi motivasi guru Pendidikan Jasmani ada 26 (86,67%) orang berkategori baik, 4 (13,33%) orang kategori cukup, dan tidak ada guru masuk kategori kurang.

Kinerja Guru

Data skor Kinerja Guru dengan skor tertinggi 70, skor terendah 51, rata-rata 61,73, varians 21,37, dan simpangan baku 4,62. Berdasarkan kategori maka kinerja Guru Pendidikan Jasmani ada 28 (93.33%) orang berkategori baik, 2 (6.67%) orang kategori cukup, dan tidak ada guru Pendidikan Jasmani yang masuk kategori kurang.

Pengujian Hipotesis

Hubungan Motivasi guru pendidikan jasmani dengan Kinerja Guru pendidikan jasmani, dinyatakan oleh persamaan regresi sederhana Ŷ = 16,761 + 0,755 X. Artinya kinerja guru dapat diketahui atau diperkirakan dengan persamaan regresi tersebut jika variabel motivasi kerja (X) diketahui   bahwa setiap kenaikan Motivasi satu unit akan meningkatkan nilai Kinerja Guru sebesar 0,755 pada konstanta 16,761.

Hubungan Motivasi guru (X) dengan Kinerja Guru (Y) pendidikan jasmani dinyatakan dengan koefisien korelasi rxy = 0,745. Koefisien tersebut telah diuji keberartiannya sebelum digunakan untuk mengambil kesimpulan. Uji keberartian koefisien korelasi tersebut terlihat bahwa thitung = 5,907 lebih besar dari ttabel = 1,671 dan koefisien korelasi rxy = 0,745  adalah berarti. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif Motivasi guru dengan Kinerja Guru pendidikan jasmani.

Koefisien determinasi analisa tentang motivasi guru dengan kinerja guru pendidikan jasmani diperoleh hasil Kd = 0,5548. Hal ini berarti 55,48% Kinerja Guru pendidikan jasmani ditentukan oleh Motivasi guru. Sedangkan 44,52% merupakan variasi faktor lainnya yang berhubungan dengan Kinerja Guru pendidikan jasmani seperti lingkungan, sarana dan prasarana, serta kondisi pribadi.

Dari penelitian ini diperoleh hasil sebagai berikut bahwa terdapat hubungan yang positif  Motivasi guru dengan Kinerja Guru pendidikan jasmani, ini terbukti dengan data penelitian yang menyatakan bahwa  55,48% kinerja guru pendidikan jasmani ditentukan oleh motivasi guru. Dan motivasi guru juga mempunyai prosentase 86,67% berkategori baik dan 13,33% berkategori cukup dan kinerja guru pendidikan jasmani mempunyai prosentase 93.33% berkategori baik dan 6.67% berkategori cukup.

 

PEMBAHASAN

Motivasi seringkali dikaitkan dengan sejumlah kebutuhan-kebutuhan manusia yang berusaha untuk dipenuhi pada satu waktu tertentu. Sedangkan kerja berhubungan kepada perilaku yang dimunculkan oleh manusia untuk mewujudnyatakan kebutuhan-kebutuhan tersebut pada satu waktu.

Ada dua jenis kebutuhan yang menimbulkan motivasi bagi manusia untuk mencapainya, yaitu: 1) Kebutuhan ekspresif, adalah keinginan untuk memenuhi persyaratan sosial dan atau estetika, 2) Kebutuhan utilitarian, adalah keinginan untuk menyelesaikan masalah mendasar.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas akan berusaha dipenuhi baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya ataupun  bagi organisasinya. Kebutuhan- kebutuhan  tersebut sedapat mungkin akan berusaha   dicapai dengan berbagai upaya yang mendukung.  Adapun upaya itu mencakup perhatian, kesiapan dan strategi, yang membantunya mengarahkan ketercapaian tujuan.

Motivasi sudah barang tentu berkaitan dengan sejumlah perilaku yang diupayakan untuk mencapai suatu tujuan. Locke dan Latham menyatakan 4 hal yang berkaitan  dengan  usaha  pencapaian tujuan :  (1) they  direct attention; (2) they mobilize effort to task; (3)  they encourage persistence; (4) they facilitate the development of strategies.  Jadi suatu tujuan yang telah ditetapkan baik oleh diri sendiri atau oleh organisasi dapat membangkitkan timbulnya motivasi dalam diri seseorang.

Secara singkat dapat diasumsikan, bahwa tiap-tiap  individu termotivasi oleh adanya tujuan-tujuan yang membuatnya merasa perlu untuk mencapai tujuan tersebut. Individu itu akan melakukan sejumlah usaha/aktivitas, merancang strategi, menyiasati lingkungannya sedemikian rupa.  Upaya untuk  memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tersebut dilandasi dengan motif- motif.  Motif merupakan perubahan fisiologis dalam diri seseorang yang  diakibatkan  adanya  dorongan-dorongan (drives) dalam struktur perubahan energi pada tubuh seseorang yang mengakibatkan si individu melakukan suatu tindakan yang dianggap perlu dan tepat.

Stephen P. Robbins, menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu proses yang menghasilkan intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai tujuan.  Pendapat yang hampir serupa mengenai motivasi juga disampaikan oleh Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel : “as the complex forces, drives, needs, tension states, or other mechanism  that start and maintain voluntary activity directed toward achievement of personal goals“.

Motivasi merupakan proses perubahan fisiologis dalam diri seseorang yang ditandai dengan perubahan energi  yang diawali dengan adanya afeksi dilanjutkan dengan antusiasme tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Bahwa motivasi adalah proses-proses yang bersifat internal dan eksternal bagi seorang individu yang menimbulkan sikap antusias dan persistensi untuk mengikuti arah tindakan-tindakan tertentu.

Pandangan tersebut mendeskripsikan bahwa ada dua komponen yang mempengaruhi motivasi tersebut, yaitu komponen dalam, yaitu perubahan fisiologis dalam diri seseorang, seperti keadaan tidak  puas yang akhirnya menimbulkan ketegangan dan komponen luar, yaitu apa yang menjadi keinginan orang tersebut atau tujuan yang hendak dicapainya.

Motivasi  kerja  setiap  individu  akan mengalami proses fluktuasi (turun naik), tinggi atau rendah, kuat atau lemah, karena motivasi seseorang dapat berubah sesuai dengan kebutuhan yang muncul pada suatu waktu tertentu, perubahan itu juga terkait dengan kebijakan organisasi, struktur dan system organisasi, lingkungan organisasi, perilaku   organisasi dan juga tingkat insentif yang diperoleh.

Thompson dan Strickland dalam Arief Suadi, memberikan pendapat, bahwa motivasi kerja seseorang dapat dipelihara dan ditingkatkan oleh organisasi dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan  yang berorientasi kepada manusia yang harus selalu dilakukan pada setiap kesempatan melalui berbagai cara dan harus dipraktekkan oleh semua orang di setiap lingkungan organisasi.

Motivasi memiliki 2 (dua) komponen, yakni komponen dalam (inner component) dan komponen luar (outer component). Komponen dalam adalah perubahan dalam diri seseorang, seperti keadaan merasa tidak puas, merasa puas dan adanya ketegangan psikologis dalam mencapai kebutuhannya. Komponen luar adalah apa yang diinginkan sesorang, tujuan yang menjadi arah kelakuannya, misalnya insentif yang kurang memadai, lingkungan kerja yang kurang mendukung atau adanya tawaran kerja dari tempat lain yang lebih menjanjikan. Pendeknya komponen dalam ialah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipuaskan, sedangkan komponen luar adalah tujuan yang hendak dicapai.

Berdasarkan konsep di atas, para ahli motivasi, mencoba menggali faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja; seperti memberikan imbalan sejumlah tertentu, menciptakan persaingan, melatih tenaga kerja dan lain sebagainya. Secara umum faktor tersebut dapat berasal dari dorongan pemenuhan kebutuhan biologis, yaitu pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari mekanisme biologis seperti rasa lapar dan haus, tidur, berinteraksi dengan orang lain (intrinsic). Motivasi ini memunculkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis yang muncul melalui mekanisme system biologis manusia. Faktor lain adalah proses homeostatis, yaitu sebuah proses dimana organisme tersebut berusaha memelihara keseimbangan internal yang disebut juga steady safe, seperti: mencari  kesenangan tertentu, bekerja dengan harapan memperoleh bayaran/ imbalan atau pujian (ekstrinsic).

Teori lain mengenai motivasi disampaikan oleh Douglas  Mc. Gregor dalam (Sondang P. Siagian, 2004:162), tentang teori “X” dan “Y”. Ia mengklasifikasikan manusia pada dua hal, yaitu: 1) Teori “X” yang pada dasarnya menyatakan bahwa manusia cenderung berperilaku negatif. Manusia pada tipe ini lebih mementingkan pemuasan kebutuhan “tingkat rendah“ seperti kebutuhan pokok dan kurang memberikan perhatian pada kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu aktualisasi diri. 2) Teori “Y” yang pada dasarnya menyatakan bahwa manusia cenderung berperilaku positif (Sondang P. Siagian, 2004:164). Manusia pada tipe ini lebih mengutamakan pemuasan kebutuhan yang bersifat psikologis dan non materiil ketimbang pemuasan kebutuhan yang bersifat materil (Sondang P. Siagian, 2004:164).

Menurut keterangan dari beberapa ahli di atas dapat di simpulkan bahwa motivasi itu dapat bersumber dari dalam diri atau (intrinsik) dan juga dari luar (ekstrinsik), sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia, seperti: (1) kebutuhan fisik, (2) kebutuhan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan akan pengakuan dan (5) kebutuhan akan aktualisasi dirinya. Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, manusia perlu untuk bekerja. Kerja menurut Anoraga (1995:39), merupakan bagian paling mendasar dari kehidupan manusia. Sebagai bagian paling dasar, kerja akan memberikan pengakuan atas status yang disandangnya dari masyarakat yang ada di sekitarnya.

Motivasi kerja setiap orang tentu saja berbeda, tergantung kepada tujuan apa yang hendak dicapainya, tempat bekerjanya dan lingkungan organisasi. Ada yang memiliki motivasi untuk mendapat imbalan yang tinggi atas kerjanya, ada juga yang memiliki motivasi untuk menapaki karir yang lebih tinggi nantinya. Motivasi kerja setiap orang memiliki keunikan, motivasi ini juga sering kali mengalami perubahan tergantung dari kebutuhan-kebutuhan yang akan dipenuhi pada suatu waktu. Motivasi kerja yang baik akan memberikan dampak yang baik pula bagi si pelaku ataupun juga bagi organisasi.  Motivasi kerja yang baik tersebut secara langsung akan dapat meningkatkan produktivitas seseorang yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas organisasi.

Motivasi kerja terkait erat dengan sejumlah kebutuhan yang hendak dicapai, demikian pula halnya dengan motivasi kerja guru, bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bafadal (1992:71) mengidentifikasikan delapan kebutuhan motivasi kerja guru, yaitu: (1) rasa  aman  dan  layak hidup, (2)  kondisi kerja yang menyenangkan, (3) rasa  diikutsertakan, (4)  perlakuan jujur dan wajar, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan, (7) ikut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, dan (8) kesempatan mengembangkan harga diri.

Menurut   pendapat  di  atas  motivasi   kerja  terkait kepada tiga hal yaitu: imbalan ekonomi seperti bayaran/upah yang didapat termasuk keamanan kerja yang berkaitan erat kepada hal yang lainnya. Kepuasan intrinsik, seperti ketertarikan kepada pekerjaan, pertunbuhan dan pengembangan diri yang berkaitan erat dengan kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial dengan individu lainnya, menunjukkan statusnya. Motivasi kerja merupakan suatu tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri (internal) yang mengarahkan setiap guru pendidikan jasmani dalam bertingkah laku, mewujudkan cara berpikir kongkret, tertata dan kritis.

Motivasi kerja adalah wujud dari dorongan dan keinginan yang tinggi pada diri seseorang untuk mau bekerja keras dalam melaksanakan tugas-tugasnya, berhasil dalam bekerja serta bertanggung jawab atas hasil kerjanya. Meliputi ; (a) Bakat, (b) Minat, (c) Kebutuhan, (d) Fasilitas, (e) Penghargaan dan (f) Hubungan.

Sumber daya manusia potensial dapat menunjang keberhasilan organisasi mencapai tujuan organisasi.  Organisasi akan mengalami kesulitan  mencapai tujuan, jika sumber daya manusia yang tersedia tidak memenuhi standar kompetensi dan kinerja yang diharapkan. Sudah selayaknya jika setiap organisasi berupaya secara sistematis, berkala dan kontinyu untuk mengolah, memelihara, membangun dan meningkatkan kualitas  kinerja sumber daya manusianya.

Pada lingkup organisasi pendidikan  khususnya sekolah, sumber daya manusia yang dimaksud adalah guru. Profesi guru adalah jabatan seorang guru, yang artinya memerlukan keahlian khusus. Profesi adalah  kegiatan  seseorang  untuk  menghidupi kehidupannya (earning a living) (HAR Tilaar, 2002:86). Sebagaimana halnya profesi lain seperti dokter, insinyur atau ahli hukum, maka guru juga dapat disetarakan dengan profesi tersebut.

Pekerjaan sebagai guru, sama dengan profesi lain tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang tanpa adanya keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan yang khusus pula. Sebagai pekerja profesional, guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang sesuai dengan tuntutan profesinya.

Sebagai tenaga kerja profesional, guru dituntut untuk senantiasa berupaya mengasah, mengolah, memelihara dan mengembangkan serta meningkatkan kinerjanya yang mencakup kepada penguasaan teoritik, akademik, teknik dan ketrampilannya dengan cara terus menerus menjadi  manusia pembelajar (learning person). Potensi tersebut mutlak diperlukan oleh seorang guru, sehingga guru dapat terus menjadi ujung tombak terdepan dalam mewujudkan visi sekolah secara mikro dan visi bangsa secara makro.

Sekian banyak organisasi sekolah, yang menjalankan fungsinya untuk mendidik dan mengajar setiap siswa menjadi lebih baik, mandiri, disiplin, memiliki daya saing dan mau bekerja keras, diantaranya adalah sekolah luar biasa (SLB). SLB menitik beratkan pemberian pelayanan pendidikan kepada setiap anak berkebutuhan khusus. Mengingat demikian khususnya pola pendidikan di sekolah luar biasa, maka guru di sekolah luar biasa haruslah merupakan tenaga professional terpilih, memiliki kemauan dan teruji kemampuannya.

Tenaga profesional di sekolah luar biasa diantaranya adalah guru pendidikan jasmani. Guru pendidikan jasmani merupakan aset lembaga  pendidikan dan memiliki tuntutan pekerjaan yang kompleks dikarenakan harus mengemban  sejumlah tugas dalam karyanya di setiap jenjang pendidikan, usia dan berbagai kondisi siswa. Guru pendidikan jasmani harus membuka wawasannya terhadap perkembangan pada masa kini dan senantiasa bertindak reaktif dan inovatif terhadap kemajuan.

Sebagai tenaga kerja professional, guru dituntut untuk selalu memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan yang terkini, menguasai teknologi terkini dunia pendidikan dan senantiasa bertindak produktif. Melihat potensi yang dimiliki, maka guru harus menjadi bagian dari organisasi pembelajar modern yang terdepan.

Kemampuan dan kualitas guru pada masa modern ini berbeda dengan kualitas guru pada masa lalu. Guru pada masa modern memiliki peran yang sangat strategis. Peran tentang guru modern disampaikan oleh Adams dan Dickey dalam Oemar Hamalik (2004:123-124), meliputi: 1) Guru sebagai pengajar (teacher as instructor), 2) Guru sebagai pembimbing (teacher as counselor), 3) Guru sebagai ilmuwan (teacher as scientist), 4) Guru sebagai pribadi (teacher as person) , 5) Guru sebagai penghubung (teacher as communicator), 6) Guru sebagai pembaharu (teacher as inovator or       modernisator ) dan 7) Guru sebagai pembangun (teacher as constructor).

Mengingat bahwa peran guru sangat sentral dan penting, maka guru pada masa ini  harus (1) sadar dan  tanggap akan perubahan jaman; (2) berkualifikasi professional; (3) rasional, demokratis dan berwawasan nasional; (4) bermoral tinggi dan beriman (Moch. Idochi Anwar, 2002:62).

Kinerja guru profesional harus senantiasa sesuai dengan kemajuan jaman, yang mengarah kepada era global. Guru pada masa modern ini, memiliki tantangan yang sangat luas dan kompleks. Guru profesional di era modern harus menjadi alat sekaligus pelaku transformasi kebudayaan kepada masyarakat yang menuntut penguasaan ilmu dan teknologi terkini, produktivitas tinggi dan kualitas kerja yang dapat dibanggakan.

Kinerja guru yang tinggi akan serta merta menjadikan kinerja organisasi pendidikan semakin baik. Kinerja organisasi dapat dilihat dari betapa efektif produk tersebut dan bagaimana pelayanan organisasi diteruskan kepada pelanggan (Robert L. Mathis dan John H. Jackson, 2001:17). Terganggunya kinerja guru secara perorangan akan secara positif berdampak pada terganggunya juga kinerja organisasi. Kinerja organisasi akan semakin baik jika kinerja perorangan juga membaik.

Dari pandangan umum, kinerja  organisasi dapat dinilai berdasarkan 3 (tiga) kriteria berikut: Kinerja Administratif, Kinerja Operasional dan Kinerja Strategik (Suyadi Prawirosentono, 1999:140). Kinerja Administratif berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi, yang  termasuk  didalamnya adalah struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas (wewenang) dan tanggung jawab dari  personal  yang  menduduki  jabatan  tersebut  atau  pada unit- unit kerja yang ada. Kinerja administratif juga berkaitan dengan kinerja aliran informasi yang berasal dari antara unit kerja dalam organisasi tersebut sehingga dapat tercapai sinkronisasi.

Kinerja Operasional berkaitan dengan efektifitas penggunaan dan untuk mengelola sumber daya (manusia, modal, alat, teknologi dan  informasi), bertalian erat dengan sumber daya manusia yang menjadi operatornya, sehingga dapat menghasilkan produk atau output yang memiliki kualitas yang handal, sesuai dengan rencana organisasi dan dapat memenuhi keinginan pasar.

Kinerja strategik suatu organisasi biasanya berhubungan dengan ketepatan organisasi memilih strategi bagi organisasinya. Kinerja strategi mencakup juga pemilihan lingkungan tempat organisasi berdomisili dan teknik organisasi untuk tetap bertahan dalam suasana persaingan yang sangat ketat dewasa ini.

Berhubungan dengan hal-hal tersebut maka, organisasi perlu melakukan upaya-upaya yang signifikan untuk meningkatkan dan mendorong kinerja tenaga kerjanya yang menjadi acuan kinerja organisasi.  Lembaga Administrasi Nasional mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja (E. Mulyasa, 2005:136).

Uraian  di atas menunjukkan bahwa kinerja sebagai wujud dari bekerja yang ditunjukkan dengan prestasi yang dicapai pekerja. Pandangan tersebut juga menunjukkan bahwa kinerja organisasi tentu akan dapat diukur melalui kinerja dari setiap karyawan. Kinerja karyawan yang tinggi memberikan kesan bahwa pencapaian kerjanya tinggi dan sebaliknya kinerja karyawan rendah jika pencapaian kerjanya juga rendah.

Pendapat lain tentang kinerja disampaikan oleh Soeprihanto (1998:7), bahwa kinerja seorang tenaga kerja adalah hasil kerja seorang tenaga kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Uraian tentang kinerja di atas, cenderung menekankan hasil yang telah dicapai oleh seorang pekerja dalam satuan waktu tertentu dan mengacu kepada standar yang telah ditentukan oleh organisasi. John Whittmore (1997:104) menyampaikan, kinerja adalah suatu perbuatan,  suatu  prestasi atau suatu pameran umum ketrampilan. Menurut Whittmore, kinerja adalah suatu pameran, suatu pertunjukan kemampuan oleh seseorang pada lingkup organisasi pada suatu kurun waktu tertentu.  Dengan demikian kinerja seseorang hanya dapat dilihat jika orang tersebut menunjukkan karyanya kepada orang lain atau organisasinya pada satu kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasi.

Smith dalam E. Mulyasa, menyampaikan bahwa kinerja ialah output drive from processes, human or otherwise. Pandangan ini mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil olahan atau keluaran dari suatu proses yang melewati satuan waktu tertentu, yang meliputi manusia atau hal lain.

Donnely, Gibson dan Ivancevich, dalam Veitzhal Rivai dan Ahmad  Fawzi Mohd. Basri (2005:15) menyatakan  pula, kinerja  merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan  sukses jika tujuan yang dinginkan dapat tercapai dengan baik. Pandangan tersebut menyampaikan bahwa kinerja juga berhubungan erat dengan pencapaian tujuan organisasi pada satu waktu tertentu, kinerja organisasi dinyatakan baik jika tujuan dapat dicapai.

Menurut Robbins (1996) pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolok ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu (Veithzal Rivai, 2005:15). Donnelli, et all dan Robbins menyampaikan, bahwa faktor kinerja individu akan membawa pengaruh yang signifikan bagi organisasi dalam upayanya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Melanjutkan pandangan tentang kinerja, Donnely, Gibson dan Ivancevich dalam Veithzal Rivai (2005:16) menyampaikan, bahwa kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi  oleh  faktor- faktor: (a) harapan mengenai imbalan; (b) dorongan; (c) kemampuan, kebutuhan dan sifat; (d) persepsi terhadap tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja.

Dengan demikian kinerja individu dapat menjadi tolok ukur keberhasilan suatu organisasi, jika organisasi menganggap bahwa tenaga kerja adalah aset berharga maka organisasi menganggap perlu secara terus menerus melakukan pendekatan, pembimbingan, bantuan dan berkomunikasi secara efektif dengan tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Mitchell dalam E. Mulyasa (2005:138), bahwa kinerja meliputi beberapa aspek yaitu: 1. quality of work; 2. promptness (ketepatan waktu); 3. Initiative; 4. Capability; 5. Communication.

Mengenai quality of work (kualitas kerja), Richard Walton dalam Stan Kossen, 1993:237) mengemukakan 8 (delapan) indikator, yang meliputi: (1) kompensasi gaji yang memadai dan wajar, (2) kondisi kerja yang aman dan sehat, (3) karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitasnya sebagai manusia, (4) memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, (5) merasakan sebagai anggota kelompok di tempat kerja, (6) memperoleh hak-hak yang penuh sebagai karyawan, (7) hubungan kerja yang nyaman, dan (8) memiliki relevansi dengan kehidupan kerja.

Organisasi perlu melakukan suatu penilaian yang obyektif terhadap kinerja dari setiap pekerja atau unit kerja yang ada.  Penilaian prestasi pekerja harus dilakukan secara rutin oleh pimpinan organisasi, untuk melihat apakah tujuan organisasi yang telah ditetapkan sudah tercapai. Kategori penilaian tersebut menurut Suparna (1990:56-57) dapat dibagi tiga: (1) sukses apabila semua sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai secara baik, (2) gagal apabila tidak satupun sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai, dan (3) sukses terbatas apabila sebagian sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai, tetapi ada pula bagian lain yang tidak tercapai.

Penilaian pada sebagian besar organisasi, saat sekarang ini dilakukan dengan tujuan: (1) mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakan instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman, (2) mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi, (3) menempatkan orang supaya dapat melaksanakan pekerjaan dengan tepat, dan (4) mengenali kebutuhan para karyawan akan pelatihan dan pengembangan (T.V. Rao, 1996:2).

Kinerja pekerja dalam menjalankan fungsinya tidaklah berdiri sendiri. Ia senantiasa terkait dan berhubungan erat  dengan  kepuasan  kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan dan sifat- sifat individu. Kinerja organisasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari faktor tenaga kerja itu sendiri ataupun dari organisasi tempat tenaga kerja tersebut berkarya. Faktor-faktor ini menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003:11) disingkat menjadi ACHIEVE, yaitu: A = Ability (kemampuan yang dapat dikembangkan), C = Capacity (kemampuan yang sudah tertentukan/terbatas), H = Help (bantuan untuk terwujudnya kinerja), I = Incentive (insentif material atau non material), E  = Environment (lingkungan tempat kerja karyawan), V = Validity (pedoman/ petunjuk dan uraian kerja), E = Evaluation (adanya umpan balik hasil kerja).

Henry Simamora dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:14), kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) Faktor individual yang terdiri dari: kemampuan dan keahlian, latar belakang, demografi, 2) Faktor psikologis yang terdiri dari: persepsi, attitude, personality, pembelajaran, motivasi, 3) Faktor organisasi yang terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, job design.

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa kinerja individu senantiasa terkait pada berbagai faktor, yaitu (1) kemampuan (2) keinginan dan (3) lingkungan Veitzhal Rivai (2005:16). Menurut Donnely, Gibson dan Ivancevich dalam Veitzhal Rivai (2005:15), kinerja individu pada dasarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor: (a) harapan mengenai imbalan; (b) dorongan; (c)   kemampuan, kebutuhan dan sifat; (d) persepsi terhadap tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap imbalan dan kepuasan kerja.                Pentingnya kinerja guru pendidikan jasmani, karena akan memberikan pengaruh positif dan luas terhadap kinerja organisasi sekolahnya. Kinerja  yang tinggi akan dapat memberikan daya saing tinggi bagi organisasi, kinerja yang rendah menyebabkan daya saing rendah bagi organisasi itu. Karena itu organisasi perlu memberikan penilaian atau evaluasi setiap satuan waktu tertentu pada perorangan dan organisasi, sehingga kinerja dapat dipelihara. Penilaian atau evaluasi kinerja tersebut sangat penting dilakukan untuk   menggambarkan, mengukur efektifitas dan efisiensi penugasan kerja, pembagian kerja serta pelaksanaan kerja setiap pekerja atau unit kerja  organisasi.

Wayne F. Cascio (1995:275), “performance appraisal is the systematic description of the job-relevant strengths and weakness of an individual or a group”. Menurutnya, penilaian kinerja dapat menggambarkan secara sistematis keadaan  pekerja  juga dapat digunakan untuk mengukur kelemahan dan kekuatan kemampuan kerja yang dimiliki   individu atau kelompok.

Penilaian kinerja memiliki tujuan yang sangat baik dan penting dalam upaya organisasi mengambil  keputusan di masa yang akan datang demi kelangsungan kerja dan produktifitas organisasi. Berkaca pada pandangan di atas, maka setiap manajer dalam setiap organisasi perlu melakukan penilaian bagi setiap unit kerjanya, bagi setiap pekerja dan pada waktu berikutnya melakukan penilaian terhadap kelangsungan dan produktifitas organisasi.  Kondisi tersebut  sesuai dengan yang disampaikan Wayne  F. Cascio (1995:276), yaitu: 1) to improve employees work performance by helping them realize and use their full potential in carrying out their firms missions and, 2) to provide information to employees and managers for use in making work- related decision.

Penilaian kinerja akan memberikan bantuan untuk menyadarkan pekerja terhadap penampilan kerja dan dapat menggunakan segenap potensi yang dimiliki pekerja dalam upaya mencapai tujuan perusahaan, sekaligus juga menyediakan balikan informasi kepada pekerja itu sendiri dan kepada manajer untuk dapat digunakan dalam membuat keputusan yang terkait dengan pekerjaan.

Untuk mendapat hasil yang baik, penilaian kinerja harus dilakukan secara rutin, berkala, terarah dan terprogram oleh setiap organisasi, sehingga organisasi dapat dengan cepat dan tepat mengambil keputusan dan langkah antisipatif yang berhubungan dengan peningkatan kinerja individu dan kinerja organisasi.  Penilaian kinerja juga penting dilaksanakan oleh setiap organisasi untuk mengetahui apakah program dan  tujuan organisasi telah tercapai  sesuai  waktu yang telah disepakati.

Penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan yang penting bagi organisasi dalam pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia yang dimiliki. Robbins (2003:271) menyampaikan bahwa evaluasi kinerja memberikan masukan untuk keputusan penting seperti promosi, transfer dan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan Agus Sunyoto dalam Mangkunegara (2005:10-11) menyampaikan tujuan pelaksanaan evaluasi kinerja secara lebih spesifik, yaitu: a) Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja, b) Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu, c) Memberikan peluang  kepada  karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan  kepeduliannya terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang, d) Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya, e) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal- hal yang perlu diubah.

Guru merupakan sosok penting dan utama dalam pembangunan sumber daya manusia melalui bidang pendidikan. Guru memegang peranan sentral dan berkaitan erat dengan proses pengembangan organisasi yang dilaksanakan di sekolah. Guru yang ideal bukanlah guru yang hanya menghabiskan waktu di hadapan kelas dan berinteraksi dengan siswa saja. Guru yang ideal adalah guru yang dapat melihat potensi dirinya dan mengerti tugas-tugas profesionalnya untuk dapat berkembang sedemikian rupa pada masa depan.

Syah dalam Moch. Idochi Anwar (2002: 62-63), menuturkan bahwa: guru modern harus menunjukkan kinerjanya dengan mengacu kepada kompetensi  yang termuat dalam 3 aspek, yaitu: (1) kompetensi kognitif; (2) kompetensi afektif; dan (3) kompetensi psikomotorik.  Aspek pertama menekankan pada penguasaan dalam isu-isu pendidikan dan teknik pemberian pelayanan pendidikan. Aspek kedua meliputi self concept self and efficacy attitude of self acceptance. Aspek ketiga meliputi kecakapan fisik secara umum dan khusus.

Pandangan tersebut menyampaikan bahwa adalah penting bagi seorang guru professional untuk memiliki seperangkat keahlian yang menunjukkan profesionalitasnya. Seperangkat keahlian tersebut terbungkus dalam satu kesatuan yang disebut kompetensi.

Profesionalitas dan kinerja seorang guru juga dapat dilihat dari kreativitas, efektifitas dan efisiensi  ketika melaksanakan tugas; mendidik dan mengajar. Guru kreatif adalah guru yang tidak pernah puas hanya melaksanakan pekerjaan rutinnya saja, yaitu mengajar. Guru kreatif harus sering mengambil inisiatif melakukan terobosan baru yang belum pernah dilakukan di lingkungan kerjanya. Guru kreatif juga senantiasa menciptakan ide- ide baru, menyukai tantangan (challenge)  dan inovatif.

Kinerja guru adalah prestasi perilaku kerja guru di dalam mengajar di sekolah, yang bertujuan memberikan ilmu pengetahuan kepada setiap siswa. Meliputi: (a) prestasi mengajar, (b) tanggung jawab mengajar, (c) kedisiplinan mengajar, (d) kejujuran, (e) bekerjasama.

Profesi sebagai guru harus memiliki perangkat kemampuan yang baik sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung, kemampuan tersebut dipersiapkan oleh lembaga–lembaga pendidikan yang berusaha untuk mencetak tenaga-tenaga guru pendidikan jasmani yang handal yang mempunyai kemampuan dalam bidang pendidikan jasmani sehingga proses pembelajaran dapat tercapai dengan baik

Arma Abdullah dalam Harsuki (2003:26) menyatakan pendidikan jasmani adalah satu fase dari pendidikan keseluruhan dan memberikan sumbangan kepada semua tujuan dari pendidikan. Pendidikan jasmani adalah satu-satunya aspek dalam pendidikan anak seutuhnya yang langsung memberikan manfaat mengembangkan jasmani, keterampilan sekaligus kesegaran jasmani, yang pada akhirnya berpotensi untuk memacu perkembangan sosial, emosional, mental dan kreativitas.

Kemampuan mengajar pendidikan jasmani diperlukan guru guna menjalankan fungsi profesi, terutama pada masyarakat yang sudah maju dan modern. Profesi menuntut kemampuan membuat keputusan dan kemampuan membuat kebijakan yang tepat yang tidak menimbulkan kerugian bagi kita sendiri maupun masyarakat, oleh karena itulah seorang guru pendidikan jasmani dituntut untuk memiliki kemampuan mengajar yang baik.

Johnson sebagaimana dikutip Sanusi dkk dalam Moch. Idochi  Anwar (2002:63), mengetengahkan tiga aspek performansi guru, yaitu: 1) Kemampuan professional yang mencakup: (a) penguasaan pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep- konsep keilmuan dan bahan yang diajarkan itu; (b) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (c) penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa, 2) Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagi guru, 3) Kemampuan personal guru, mencakup: (a) penampilan sikap positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur- unsurnya; (b) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai- nilai yang seyogianya dianut oleh seorang guru; (c) Kepribadian, nilai, sikap hidup penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai panutuan dan teladan bagi para siswanya.

Pekerjaan sebagai guru pendidikan jasmani adalah pekerjaan profesional. Oleh karenanya, seorang guru pendidikan jasmani harus terlebih dahulu mendapat pendidikan sebagai guru pendidikan jasmani. guru pendidikan jasmani  merupakan suatu kebutuhan utama dalam proses  pendidikan  adaptif, yang menjadi bagian dari pembelajaran holistik. guru pendidikan jasmani harus dapat menjadi sumber belajar utama bagi setiap peserta didik yang memang memiliki kebutuhan khusus dalam beberapa aspek.  Ketiadaan guru pendidikan jasmani di SLB secara khusus dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam proses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Jadi guru pendidikan jasmani adalah orang yang telah memiliki kemampuan dan mengikuti pendidikan dibidang pendidikan jasmani dilembaga-lembaga yang mencetak tenaga-tenaga pendidik dan bagi guru-guru yang mengajar pendidikan jasmani di sekolah luar biasa (SLB) hendaknya meningkatkan kemampuan dengan mengikuti pendidikan atau pelatihan guru pendidikan jasmani.

Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut: Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus, khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan seumur hidup.

Tujuan khusus  sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah: a) Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak usia sekolah, b) Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia, c) Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu, d) Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi yang tercantum dalam kurikulum yang resmi, e) Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya (http://www.ditplb.or.id/2007/contentmenu.php? page_id=WEB01&art_kat=TTP&menu_kode=WEB0101&submenu_kode=WEB010106 diakses tanggal 4 September 2008).

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.

Ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.

Berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan kemampuan mendengar percakapan/bicara orang digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu: 1) Sangat ringan 27 – 40 dB, 2) Ringan 41 – 55 dB, 3) Sedang 56 – 70 dB, 4) Berat 71 – 90 dB, 5) Ekstrim 91 dB ke atas Tuli (Muljono Abdurachman dan Sudjadi S., 1994:61).

Berdasarkan keterangan di atas bahwa sekolah luar biasa (SLB B) adalah institusi pendidikan luar biasa yang khusus mendidik dan memberikan pengajaran yang baik bagi penyandang tunarungu, sehingga dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri, pengetahuan, keterampilan dan keahlian agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.

Anak yang kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya di bawah rata-rata kemampuan anak pada umumnya disebut anak tunagrahita. American Asociation on Mental Deficiency (AAMD) mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan: 1) yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; 2) yang muncul sebelum usia 16 tahun; 3) yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (Muljono dkk. 1994:20).

Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi dan Grahita berarti pikiran sedangkan Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: 1) Lemah fikiran (feeble-minded); 2) Terbelakang mental (Mentally Retarded); 3) Bodoh atau dungu (Idiot); 4) Pandir (Imbecile); 5) Tolol (moron); 6) Oligofrenia (Oligophrenia); 7) Mampu Didik (Educable); 8) Mampu Latih (Trainable); 9) Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat; 10) Mental Subnormal; 11) Defisit Mental; 12) Defisit Kognitif; 13) Cacat Mental; 14) Defisiensi Mental; 15) Gangguan Intelektual.

Anak yang memiliki karakteristik educable dan imbecile dapat dikategorikan sebagai kelompok anak yang mampu diberikan perlakuan oleh guru pendidikan jasmani dalam proses pembelajaran di sekolah luar biasa (SLB). Guru dapat mengendalikan prilaku dan menanamkan nilai-nilai keberanian,percaya diri dan kebahagian dengan pemberian contoh dan perilaku dari guru itu sendiri

Jadi pelayanan pendidikan sekolah luar biasa (SLB C) bagi Anak tunagrahita adalah wujud dari penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunagrahita yang optimal dan dapat melayani pendidikan dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan seumur hidup

Guru  pendidikan  jasmani   merupakan   sosok   penting  dalam  suatu organisasi  pendidikan. Guru pendidikan jasmani harus menjadi ujung tombak   dalam   pelayanan pendidikan bagi anak didik, secara khusus anak didik  di sekolah  luar  biasa dengan mengedepankan teknik pemberian pembelajaran bagi anak berkebutuhan  khusus.

Setiap orang pasti dihadapkan untuk melakukan suatu pekerjaan, untuk memenuhi ”hidup”nya, meskipun     pekerjaan  itu bersifat sementara (temporer) atau bersifat tetap (permanen). Pekerjaan itu biasanya dilakukan untuk memenuhi sejumlah kebutuhan, yang berhubungan dengan  dirinya sendiri, keluarga atau orang lain yang menjadi tanggungannya. Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut disebut sebagai motivasi kerja. Motivasi kerja adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pekerja dalam satu waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Motivasi kerja setiap orang sudah pasti berbeda, hal ini menyangkut kepada tingkat kebutuhan yang akan dicapai, jenis pekerjaan yang dilakukan, struktur dan perilaku organisasi, dan yang tidak kalah penting adalah tingkat perolehan insentif yang menjadi haknya. Motivasi kerja seringkali menggambarkan perilaku kuat atau lemahnya perilaku yang ditunjukkan, motivasi juga menggambarkan suatu perilaku yang terstruktur dan terencana dalam prosesnya.

Seringkali motivasi kerja memberikan dampak yang baik bagi organisasi apabila, motivasi kerja itu berjalan seiring dengan tujuan individu dan tujuan organisasi. Namun motivasi juga sering memberikan dampak negatif apabila motivasi kerja individu berjalan berlawanan arah dengan tujuan individu dan tujuan organisasi. Sedangkan kinerja adalah serangkaian tugas yang dilaksanakan oleh individu atau organisasi dengan mengacu kepada standar pencapaian tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasi. Dalam pelaksanaan unjuk kerja, senantiasa motivasi kerja memberikan kontribusi yang relatif besar. Motivasi kerja yang tinggi akan menunjukkan kinerja yang tinggi juga. Motivasi kerja yang rendah akan menciptakan kerentanan dalam kinerja, baik individu ataupun kinerja organisasi.

Kinerja guru sangat besar peranannya dalam meningkatkan keberhasilan pembelajaran oleh karena itu guru harus banyak diberikan pelatihan, seperti pelatihan pelaksanaan untuk melaksukan remedial maupun pengayaan, Selain itu pelatihan problem solving perlu dilakukan oleh guru agar selama proses kinerja berlangsung guru tidak kebingungan bila terjadi permasalahan- permasalahan yang timbul dan tanpa diduga sebelumnya, bila guru dapat melakukan hal ini secara terampil maka ia akan dapat menjadi orang yang terampil dalam memecahkan berbagai persoalan dengan sendirinya, guru akan menjadi professional  dalam praktik kerjanya sehingga akan dapat meningkatkan kinerjanya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif Motivasi Guru dengan Kinerja Guru Pendidikan Jasmani sekolah luar biasa bagian B dan C di DKI Jakarta.

 

Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan dan hasil penelitian maka penulis menyarankan: 1) Kepada Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta Khususnya Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa dalam merekrut guru pendidikan jasmani agar memperhatikan motivasinya karena dapat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri, 2) Kepada guru pendidikan jasmani dan guru-guru yang mengajar pendidikan jasmani di SLB agar meningkatkan pengetahuannya, 3) Kepada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta agar dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang dapat mengajar pendidikan jasmani di sekolah luar biasa (SLB)

 

DAFTAR RUJUKAN

A.A. Anwar Prabu Mangkunegara. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refika  Aditama.

Abdurachman, Sudjadi.S, 1994. Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktur Pendidikan Dasar. 1992. Laporan Data Informasi Keadaan SLB Negeri dan Swasta, SDLB dan Sekolah Terpadu. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

  1. Mulyasa. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Edy Suharsono. 2001. Panorama Survey. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gibson, Ivancevich dan Donnely. 1996. Organisasi Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Harsuki, H. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini. Jakarta: Raja Grafindo  Persada.

  1. Soeprihanto. 1998. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Tenaga Kerja. Yogyakarta: BPFE.

Mangunsong, Frieda, dkk. 1988. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI.

Mathis, Robert  L. dan John H. Jackson. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.

Moch. Idochi Anwar. 2002. Administrasi Pendidikan dan Manjemen Biaya Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Monen, John C. dan Michael Minor. 2002. Perilaku Konsumen. Jakarta: Erlangga.

Nugraha Amin. 1979. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Rao, T.V (Terjemahan Ny. L. Mulyana). 1996. Penilaian Prestasi Kerja: Teori dan Praktek. Jakarta: Pustaka Binama Pressindo.

Rivai, Veitzhal  dan  Ahmad  Fawzi  Mohd. Basri. 2005. Performance  Appraisal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Indeks.

Siagian, Sondang. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pengembangan  Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Stan Kossen. 1993. Aspek Manusiawi dalam Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Suyadi Prawirosentono. 1999. Manajemen Sumber daya Manusia: Kebijakan Kinerja  Tenaga  Kerja. Yogyakarta: BPFE.

Tilaar, HAR. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Mustara adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Slamet Sukriadi, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN TENTANG PENDIDIKAN OLYMPISM SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN JASMANI PADA SISWA KELAS VII SMPK BPK PENABUR V CIPINANG

Del Asri, Yansens H. Jutalo[1] dan Indra Melani Naury Nababan[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 9 No 2 Nopember 2010 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

 

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai dalam pendidikan jasmani dengan menerapkannya melalui media pembelajaran. Penelitian ini dilakukan di SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur, pada bulan Maret – April 2010 dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan. Penelitian ini mengambil reponden kelas VII A dan VII B yang berjumlah 70 siswa. Penelitian ini terdiri dari dua siklus, dengan demikian jumlah keseluruhan adalah dua kali pertemuan.

Berdasarkan hasil penelitian, pemahaman siswa mengalami peningkatan. Nilai prosentase kenaikan siswa pada tes awal yaitu dari 55,77% untuk siswa yang pemahamannya masuk dalam kategori sangat baik/baik dan  44,25% untuk kategori siswa cukup/kurang, pada siklus ke I mengalami peningkatan yaitu 74,25% untuk kategori sangat baik/baik dan 25,27% untuk kategori cukup/kurang. Pada akhirnya di siklus yang ke II siswa kategori pemahaman sangat baik/baik naik hingga mencapai target penelitian yaitu sebesar 84,28% dan semakin berkurangnya siswa yang pemahamannya masuk dalam kategori cukup/kurang yaitu sebesar 15,7 % siswa. Hasil ini menunjukan bahwa menggunakan media  pembelajaran video pendidikan olympism dapat meningkatkan pemahaman siswa akan nilai-nilai pendidikan jasmani.

Kata Kunci: Media Pembelajaran, Olympism, Nilai-Nilai Pendidikan Jasmani

PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki peran yang amat menentukan bagi pengembangan dan perwujudan kompetensi individu, yang merupakan salah satu komponen utama dalam pembangunan suatu bangsa dan negara. Pembangunan suatu negara tidak lepas dari peran pendidikan didalamnya, dalam hal ini kualitas pendidikan yang diberikan pemerintah kepada anggota masyarakatnya, kepada peserta didik.

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha membudidayakan manusia atau memanusiakan manusia. Adapun yang mejadi penilaian dalam pendidikan tersebut meliputi tiga aspek  yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk didalamnya kemampuan menghapal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Ranah afektif mencakup watak perilaku, seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Sementara ranah psikomotor mencakup imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi (Kunandar, 2007:385).

Pendidikan jasmani sebagai salah satu bagian dari pendidikan juga meliputi tiga aspek diatas yang tertuang dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani baik di tingkat SD, SMP dan SMA. Untuk itu penyelenggaraan penjas di sekolah-sekolah, khususnya di SMP bukanlah bertujuan sekedar memberikan pengetahuan keterampilan gerak (Psikomotor) saja, tetapi mempunyai jangkauan yang sangat luas seperti yang telah disepakati diatas yaitu meliputi juga aspek kognitif dan afektif.

Anak-anak yang berusia atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun sedang berada dalam masa pertumbuhan yang mengalami masa remaja. Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan dimasa remaja, mereka mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat (Zulkifli L., 2001:63).

Pendidikan jasmani sangat berperan didalam menolong siswa dalam fase ini untuk membentuk kognitif, psikomotor dan afektif siswa yaitu menunjangnya tercapainya pengenalan diri dan penginternalisasian nilai-nilai yang baik. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa pendidikan jasmani perlu diajarkan disekolah yaitu karena, ”tujuan ideal program dan tujuan pendidikan jasmani bersifat menyeluruh mencakup bukan hanya aspek fisik, tetapi juga aspek lainnya mencakup intelektual, emosional,sosial dan moral” (Depdiknas, 2001:18).

Siswa SMPK Penabur V menurut pengamatan peneliti selama menjalani PPL di sekolah ini juga mengalami ciri-ciri pada fase yang telah disebutkan di atas, secara umum siswa di sekolah ini adalah siswa yang pintar, hal ini dikarenakan kebijakan sekolah yang cukup ketat dalam proses penyeleksian siswa masuk. Namun tidak dipungkiri dalam fase peralihan ini terdapat juga siswa-siwa yang mencirikan karakter pada fase ini yaitu terlihat pada siswa putri/ pria yang membentuk kelompok dengan teman sejenis. dan perilaku untuk diakui atau dikagumi oleh teman-temannya sekalipun itu melanggar peraturan seperti membawa alat komunikasi/elektronik ke sekolah. Kondisi perekonomian keluarga orangtua siswa di sekolah inipun turut berdampak kepada perilaku siswa. Sebagian besar orang tua siswa disekolah ini berasal dari kalangan yang berada. Pola asuh dan kebiasaan semua serba ada turut berdampak sebagian siswa yang kurang partisipatif dalam pelajaran penjas, mudah lelah, mudah bosan, dan kurang berjuang dalam mencapai sesuatu.

Guru pendidikan jasmani dalam hal ini memiliki peranan besar dan strategis pada proses pembelajaran. Dewasa ini peran pendidikan jasmani dalam menginternalisasikan nilai-nilai afektif  mulai terabaikan. Guru pendidikan jasmani seringkali berorientasi pada keberhasilan pencapaian materi gerak, teknik dan strategi permainan/olahraga, padahal tidak kalah penting dari itu, guru pendidikan jasmani harus mampu juga memberikan pengalaman belajar yaitu memberikan proses internalisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam pendidikan jasmani (saling menghargai, kerja sama, berkompetisi dengan sehat, tidak kenal lelah/pantang menyerah, dan bersahabat, sportifitas, jujur dan seterusnya).

Pelaksanaan proses internalisasi nilai itu bukan melalui pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik mental, intelektual, emosional dan sosial, salah satunya dapat melalui materi sejarah olahraga yaitu melalui pendidikan olimpiade/olympism yang didalamnya mengajarkan nilai-nilai luhur seperti yang terdapat dalam pendidikan jasmani.

Berawal dari Yunani, Olimpiade kuno berlangsung ditempat Olimpian dan merupakan bagian dari pada perayaan keagamaan untuk menghormati dewa Zeus. Perlombaan pertama kali terjadi pada tahun 776 sebelum masehi dan mencapai puncaknya pada tahun 400 sebelum masehi, kemudian menurun karena cita-cita olimpiade yang sejati telah diabaikan diantaranya karena penggunaan atlet yang di sewa, di upah bahkan atlet-atlet dari negara asing dijadikan warga negara Yunani agar dapat memenuhi syarat untuk dapat mengikuti perlombaan. Keadaan tersebut memburuk selama Yunani diduduki oleh bangsa Romawi, dan akhirnya pada tahun 393 sesudah masehi olimpiade kuno berhenti. Pada akhir abad ke-19, barulah seorang bangsawan di perancis bernama Baron Piere de Coubertin berhasil menghidupkan kembali semangat Olimpiade (olympism) yang dipadukan dengan penyelenggaraan pertandingan olahraga tingkat internasional (olympic games) yang kemudian  dikenal dengan gerakan olimpiade (olympic movement).

Baron Pierre de Coubertin memiliki angan-angan bahwa melalui olahraga dapat membuka peluang untuk terciptanya dialog dan saling pengertian antar negara dan antar bangsa, menciptakan kehidupan yang damai di dunia melalui kegiatan olah raga antar bangsa.

Setelah bertahun-tahun berusaha dengan tidak kenal lelah dan ditengah kekacauan politik, pada tahun 1896 akhirnya de Coubertin menyaksikan mimpinya menjadi kenyataan di kota asal Olimpiade Kuno (Ancient Olympic), Athena, Yunani dengan diselenggarakannya pesta olahraga Olimpiade perdana yang pertama sejak 1500 tahun sebelumnya. Baron Pierre de Cobertin mendorong menghidupkan kembali pesta olahraga olimpiade kuno. Dengan tujuan olimpiade(Olympism) dapat membentuk watak manusia melalui latihan-latihan olahraga yang disiplin juga untuk mengembangkan perdamaian dunia melalui hubungan persaudaraan diantara para atlet-atlet dari segala bangsa.

Bermula dari suatu peristiwa sederhana yang menghadirkan 241 atlet dari 14 negara, Olimpiade modern kini telah berkembang kedalam skala besar. Pada tahun 2004 ketika pesta olahraga ini diadakan kembali dikota asalnya, Athena, 201 negara mengirimkan 10.625 atlet untuk bertanding demi meraih kemenangan dalam Olimpiade. Sungguh suatu pertemuan bangsa-bangsa yang luar biasa dan tak ada tandingnya.

Olimpiade menjunjung nilai keunggulan skill/ keterampilan serta ketahanan tubuh yang prima dalam bertanding, sekaligus menuntut ketaatan pada peraturan permainan yang jujur dan semangat yang sportif (fair play). Olimpiade mewujudnyatakan nilai-nilai olahraga tersebut secara kuat dan memberikan pelajaran-pelajaran tentang hidup yang dapat menggugah dan memperlengkapi manusia menjadi manusia seutuhnya. Keyakinan inilah yang diharapkan juga terwujud melalui pendidikan jasmani, karena nilai-nilai yang tertuang dalam olympism tertuang juga dalam pendidikan jasmani. Oleh karena itu sangat disayangkan bila guru pendidikan jasmani hanya mengajar dalam tataran psikomotorik saja.

Permasalahan ini mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tindakan dengan menggunakan media pembelajaran audio visual/video. Media pembelajaran video yang peneliti pilih untuk melaksanakan penelitian ini dikarenakan ingin mengaplikasikan pembelajaran pendidikan jasmani yang mengembangkan peran siswa untuk aktif dalam pembelajaran, karena model pembelajaran pendidikan jasmani tidak harus terpusat pada guru, tetapi pada siswa. Orientasi pembelajaranpun disesuaikan dengan perkembangan anak, isi dan urusan materi serta cara penyampaikan disesuaikan sehingga menarik dan menyenangkan.

Sasaran pembelajaran penjas ditujukan bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan olahraga, tetapi pada perkembangan pribadi anak seutuhnya. Konsep dasar pendidikan jasmani dan model pengajaran pendidikan jasmani yang efektif perlu dipahami oleh mereka yang hendak mengajar pendidikan jasmani. Peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendidikan jasmani dan untuk meningkatkan pemahaman siswa akan nilai-nilai pendidikan jasmani itu, peneliti menggunakan pendekatan pendidikan /nilai-nilai olympism yang dikemas melalui video pembelajaran.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan. Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan di SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur, Jl. Taruna Barat Blok KK – Cipinang Indah II dan mengambil siswa kelas VII A dan VII B sebagai responden penelitian yang berjumlah 70 Siswa. Penelitian ini dilaksanakan pada Tanggal 23 Maret 2010 dan Tanggal 13 April 2010.

Dalam penelitian ini data diperoleh melalui pengamatan dan observasi pemahaman siswa mengenai nilai-nilai pendidikan jasmani sebagai data kualitatif, serta hasil penilaian yang dilakukan pada saat pembelajaran yaitu dengan memberikan angket kepada setiap siswa yaitu kelas VII A, dan hal yang sama juga diberikan pada setiap siswa kelas VII B sebagai data kuantitatif. Berikut adalah kisi-kisi yang digunakan dalam mengambil data dalam penelitian ini:

Tabel 1. Kisi- Kisi Penilaian Pemahaman Nilai-Nilai Pendidikan Jasmani

Variabel Aspek/dimensi Indikator
Pemahaman Nilai-Nilai Pendidikan Jasmani Nilai menghargai –     Menghargai orang lain

–     Menghargai diri sendiri/  tubuh

Nilai unggul –     Tetap berjuang sekalipun belum mendapat hasil yang maksimal

–     Mempunyai motivasi untuk melakukan yang terbaik

–     Bekerja keras untuk mencapai suatu tujuan

Nilai

Kejujuran

–     Jujur, tidak berdusta, curang, menipu

–     Perkataan sejalan dengan tindakan

–     Mematuhi peraturan

Untuk pengecekan keabsahan data penelitian dalam hal ini peneliti sebagai pengamat dan ikut serta dalam kegiatan pembelajaran, dibantu oleh 1 orang kolaborator yaitu : Tommy Fondy S.Pd sebagai guru pendidikan jasmani SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur.

Teknik yang digunakan dalam menganalisis data terkumpul melalui angket yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan statistik deskriptif. Nilai Ketuntasan kelas minimal  80 % dari jumlah siswa masuk dalam kategori sangat baik/baik pemahamannya terhadap nilai-nilai penjas.

Adapun indikator keberhasilan penelitian adalah: 1) pemahaman siswa akan nilai-nilai pendidikan jasmani meningkat, 2) siswa termotivasi untuk mengikuti pelajaran penjas, 3) suasana pembelajaran yang menyenangkan, 4) sebagian besar (80%) pemahaman siswa masuk dalam kategori Baik.

 

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Kondisi Awal

Sepanjang bulan Juni – November 2009 peneliti menjalani proses PPL (Proses Pengalaman Lapangan) yang bertempat di SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur. Selama kurang lebih empat bulan melakukan praktek PPL di sekolah ini peneliti mendapat jadwal untuk mengajar  yang sebelumnya sudah dibagi bersama-sama dengan rekan mahasiswa yang PPL di tempai yang sama. Peneliti bertugas mengajar di hari selasa yaitu kelas VII A dan juga kelas VII B. Selama kurang lebih empat bulan itu peneliti mulai mengobservasi siswa dimana peneliti melaksanakan PPL sekaligus yang direncakan akan menjadi responden penelitian.

Peneliti dalam hal ini juga melihat kondisi sekolah dan juga mengobservasi minat/ kondisi awal siswa terhadap pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah. Setiap hari tepatnya pukul 6.30 siswa sudah harus berada disekolah untuk mengawali belajar pada hari itu dengan berdoa bersama dan mendengarkan renungan pagi. Tepat pukul 7 pagi, siswa telah siap memulai pelajaran.

Setiap pembelajaran penjas, Guru pendidikan Jasmani memberikan toleransi waktu yaitu selama 10 menit kepada siwa untuk mengganti pakaian seragam mereka dengan pakaian olahraga. Setelah itu siswa sudah harus berada dilapangan atau gym tempat pelajaran penjas berlangsung.

Siswa berbaris dan melakukan peregangan (pemanasan). Pada saat menyampaikan materi dilapangan, masih banyak terlihat siswa yang mengobrol dan tidak serius memperhatikan apa yang disampaikan guru. Hal itu sering berdampak pada kondisi kelas yang tidak kondusif, siswa yang awalnya sudah tertib pun menjadi terpancing karena siswa yang ribut tersebut. Disisi lain terlihat sekali siswa yang terlihat engan tak angan ketika mengikuti pemanasan atau melakukan gerakan, belum lagi terlihat kondisi siswa putri yang berkelompok-kelompok didalam menetukan teman / kelompok pada saat melakukan melakukan gerakan.

Pada saat materi yang dirasa cukup sulit seperti senam lantai, siswa terlihat kurang mau berjuang untuk mengulang gerakan sampai siswa berani atau dapat melakukannya, setelah guru menginstruksikan barulah siswa bergerak untuk mencoba.

Peneliti melihat kondisi dua kelas yang di observasi secara umum menggambarkan kondisi siswa di SMPK BPK Penabur V ini sudah cukup baik didalam kemapuan siswa dalam menyerap setiap mata pelajaran yang ada, hal ini diakibatkan input siswa yang masuk ke sekolah ini tidaklah sembarangan, calon siswa sebelumnya melakukan serangkaian aktivitas tes dan wawancara, kualitas guru dan sarana prasarana pun turut menunjang setiap proses pembelajaran yang diberikan kepada siswa, hal ini juga terlihat pada lulusan/ alumnus sekolah ini yang lulus dengan nilai UN (Ujian Nasional) yang baik, hal senada juga didapat atas hasil wawancara peneliti dengan guru pendidikan jasmani disekolah tersebut.

Kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran sayangnya tidak dibarengi oleh penghayatan nilai- nilai yang ada didalam pendidikan jasmani.  Selanjutnya setelah mengetahui kondisi siswa di kelas yang akan diteliti, pada tanggal 23 Maret 2010 peneliti melakukan tes untuk mengetahui pemahaman awal siswa terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan jasmani.  Data yang didapat adalah 55,71% siswa masuk dalam kategori Sangat baik/baik dan 44,29% siswa yang masuk dalam kategori cukup/kurang.

Pelaksanaan Siklus I

Pada kesempatan ini tindakan yang harus dilakukan peneliti adalah proses pembelajaran dikelas dengan menggunakan media video sebagai alat penyampaian nilai-nilai pendidikan jasmani. Tahapan dan struktur kegiatan yang disusun mulai dari refleksi awal yaitu menetapkan kondisi awal yang harus diidentifikasikan dan dikelompokkan. Hal ini didasarkan pada tujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa pada nilai-nilai pendidikan jasmani.

Pelaksanaan Tindakan

Peneliti dan kolaborator memulai pembinaan dengan mengimplementasikan tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang sudah disepakati peneliti dan kolaborator, yaitu  menyiapkan lingkungan belajar dan melakukan pemutaran video Olympism dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendidikan jasmani.

Pada pertemuan peneliti ini siswa diberikan pengarahan tentang apa yang akan mereka lakukan sepanjang jam pembelajaran berlangsung. Adapun yang dilakukan siswa pada pertemuan ini adalah: 1) Siswa diberikan pengarahan tentang angket yang harus mereka isi. 2) Siswa diberikan pengarahan singkat tanpa memberi tahu lebih jauh/detail. 3) Siswa kembali mengisi angket yang sudah dibuat oleh peneliti.

Hasil Observasi

Pengamatan yang dilakukan kolaborator selama berlangsungnya pembelajaran memberikan hasil sebagai berikut: 1) Persiapan penayangan video membutuhkan waktu, karena Laptop dan LCD perlu dikondisikan dan cukup memakan waktu. 2) Selama penayangan video pembelajaran siswa menikmati setiap proses pembelajaran. 3) Masih ada sebagian kecil siswa yang bercanda pada saat penayangan.

Analisis dan Refleksi

Tujuan dari pembinaan yang dilakukan seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu yaitu agar siswa mengalami peningkatan pemahamannya akan nilai-nilai pendidikan jasmani melalui media video tentang pendidikan /nilai-nilai olympism.

Adapun saran dari kolaborator dalam siklus yang pertama ini adalah: Perlu adanya persiapan tehnis yang lebih matang, yaitu peneliti diharapkan datang lebih awal kesekolah untuk menyiapkan materi video sebelum penelitian dimulai, saran lainnya yaitu kolaborator melihat ada satu cuplikan cerita dalam video yang adegannya terlalu ekstrim dan perlu dihilangkan.

Melihat hasil tes pada siklus I ini yaitu masih belum meningkatnya pemahaman rata-rata siswa yaitu sebanyak 80%, maka diperlukan tindakan lanjutan atau siklus II dengan memperhatikan pertimbangan yaitu hal tehnis dalam persiapan penayangan video dan pengkondisian siswa agar lebih sungguh-sungguh didalam menyaksikan penayangan video pembelajaran.

Pelaksanaan Siklus II

Perencanaan Tindakan

Tindakan yang dilakukan pada siklus ke dua ini tidak jauh berbeda dengan tindakan yang diberikan pada siklus yang pertama, karena tindakan yang dilakukan pada siklus ke dua ini, mempunyai tujuan yang sama dengan siklus yang pertama. Pada siklus ke dua ini mengalami sedikit perbedaan materi video yang ada, terdapat penambahan kisah dan penjelasan yang lebih rinci dibanding video pertama yang diberikan pada siklus I, namun secara garis besar hal ini tidak mengubah keseluruhan tujuan yang ingin dicapai.

Berdasarkan hasil refleksi pada siklus pertama, peneliti dan kolaborator mendiskusikan hasil pengamatan yang terjadi dari siklus pertama mengenai hal tehnis persiapan penayangan video dan masalah beberapa siswa yang kurang kondusif. Hasil refleksi pada siklus I menghasilkan solusi yang akan dilakukan pada siklus ke II ini, yaitu: 1) Peneliti dan kolaborator menyiapkan kondisi media dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penayangan video pembelajaran, 2) Siswa yang terlihat kurang sungguh-sungguh hasil dari refleksi siklus I, dipindahkan duduknya ke barisan paling depan, hal ini dimaksudkan agar siswa tersebut lebih fokus dan tidak membuat keributan yang mengganggu konsentrasi jika siswa tersebut duduk dibelakang.

Pelaksanaan Tindakan

            Peneliti dan kolaborator memulai pembelajaran dengan menyiapkan kondisi lingkungan belajar, (berdoa dan mengabsen), setelah itu siswa kembali diberikan pengarahan tentang pengisian angket dan dimotivasi untuk mengisinya dengan benar dan sungguh-sungguh. Sebelum penayangan video pembelajaran berlangsung siswa dipastikan dulu telah siap mengikuti kegiatan pembelajaran hari itu. Setelah siswa menyaksikan video pembelajaran, siswa diinstruksikan kembali untuk mengisi angket pemahaman nilai-nilai pendidikan jasmani.

Hasil Observasi

Hasil observasi yang diperoleh selama berlangsungnya tindakan adalah sebagai berikut: 1) Siswa mulai menyadari apa yang disampaikan oleh video pembelajaran, 2) Siswa sudah makin tertib dari pertemuan di siklus sebelumnya. 3) Waktu persiapan tidak membutuhkan waktu yang lama, kolaborator dan  guru sudah terbiasa waktu mempersiapkan penayangan video pembelajaran, 4) Siswa menikmati dan makin antusias didalam menyaksikan video pembelajaran.

Analisis dan Refleksi

Tujuan di Siklus II ini adalah sebagian besar siswa memiliki pemahaman yang baik akan nilai-nilai yang ada didalam pendidikan jasmani. Siswa bisa memberikan feed back atau umpan balik dari apa yang mereka telah dapat yaitu dengan memberikan rangkuman dari video pembelajaran yang ada. Peneliti dan kolaborator mencatat bahwa beberapa siswa dapat menceritakan kembali apa yang disaksikan dan menghubungkannya pada situasi biasa ketika dia belajar pendidikan jasmani. Selain itu siswa juga dapat menyebutkan indikator nilai-nilai yang ada dalam pendidikan jasmani.

Saran kolaborator dalam siklus II ini adalah durasi video yang telah diputar pada siklus yang pertama sebaiknya perlu dikurangi atau dipersingkat agar siswa tidak merasa bosan, tanpa mengubah isi atau tujuannya. Peneliti dan kolaborator telah berhasil menemukan metode belajar yang baik untuk mengenalkan dan memberikan cara terbaik untuk menjelaskan nilai-nilai tersebut yang sebetulnya sangat sulit disampaikan dan digambarkan jika hanya melalui penjelasan verbal/kata-kata.

Setelah dilakukan tes awal untuk mengetahui kondisi pemahaman siswa sebelum menggunakan media pembelajaran video diperoleh data sebesar  55,71 % yang pemahamannya masuk dalam kategori baik, 44,29% yang masuk dalam kategori cukup/kurang dan tidak ada siswa yang masuk dalam kategori  sangat kurang. Hal ini dijadikan acuan sebagai data guna melihat perkembangan siswa

                         Dari grafik diatas juga digambarkan bahwa pada tes siklus I, siswa yang masuk kategori pemahamannya baik sejumlah 74,29%, 25,71% yang masuk dalam kategori kelompok siswa yang pemahamannya cukup/kurang dan tidak ada siswa yang pemahamannya sangat kurang.

Pada tes siklus II, siswa yang masuk kategori pemahamannya baik meningkat sejumlah 59 orang (84,29%), siswa yang pemahamannya cukup/kurang  sejumlah 11 orang (15,71%), dan tidak ada siswa yang pemahamannya sangat kurang. Atau secara keseluruhan peningkatan pemahaman siswa  dalam penelitian ini adalah sebesar 28,58%.

Peneliti dan kolaborator telah menemukan jawaban dan telah mencapai kriteria kesuksesan penelitian yaitu bahwa dengan penggunaan media pembelajaran tentang pendidikan nilai-nilai) Olympism sebagai media dapat membantu dan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai yang ada didalam pendidikan jasmani. Menurut peneliti dan kolaborator penelitian berhenti sampai disini dan tidak dilanjutkan ke siklus berikutnya, karena permasalahannya sudah terjawab.

PEMBAHASAN

Salah satu tujuan belajar adalah pembentukan pemahaman siswa didik akan bahan ajar yang dipelajari. Menurut definisinya “pemahaman adalah suatu dasar bagi segala tindakan seseorang” (Ali Imron, 1996:26). Pemahaman adalah kemampuan anak didik didalam proses berpikirnya dalam mengungkapkan sesuatu yang telah dialami dan diamatinya. Misalnya mengungkapkan sesuatu bentuk keterampilan dan menjelaskannya secara lebih luas (WJS Poerwadarminta, 1984:694). Menurut definisi lain, pemahaman berasal dari kata paham, yang berarti “pandangan, pengertian, pikiran, haluan, mengerti benar, tahu benar, pandai dan mengerti benar tentang suatu hal”.

Ada disebutkan juga dalam Taksonomi Bloom yaitu yang terdiri dari 3 ranah atau domain besar: ranah kognitif (cognitive domain), afektif (affective domain), dan psikmotor (psychomotor domain). “pemahaman termasuk dalam ranah afektif yaitu ranah yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual seperti pengetahuan, pengertian dan keterampilan berpikir” (http://www,wordpress.com).

Menurut pengertian Pemahaman diatas, maka penulis mengartikan pemahaman didalam penelitian ini adalah suatu proses pemikiran, pembelajaran, penafsiran, dan informasi dari suatu objek yang telah dipelajari meliputi pengetahuan, pengertian dan kemampuan berpikir.

Definisi nilai yaitu “seperangkat kepercayaan yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok masyarakat yang dipandang sebagai pedoman untuk membentuk pembuatan keputusan dan perilaku. Nilai merupakan rujukan tertinggi” (Rusli Lutan, 2001:3).

Definisi lain yang dikemukakan Rokeach (1973) dalam Rusli Lutan (2001:173) menjelaskan bahwa nilai itu adalah “suatu sistem kepercayaan yang melekat dan bertahan lama mengenai cara khas suatu perbuatan atau akhir suatu keadaan dari suatu keberadaan yang menjadi rujukan pribadi atau rujukan kelompok sosial”.

Dari kedua definisi tersebut, makna yang dapat kita tangkap dan pahami adalah bahwa nilai itu mengandung makna yang lebih abstrak dan berada pada tataran abtraksi yang lebih tinggi dari pada sikap. Nilai itu merupakan rujukan perilaku, kerangka rujukan yang lebih absrak untuk mempersepsi atau mengorganisasi pengalaman dan/atau memilih diantara alternatif tindakan. Karena itu abstraksi nilai itu lebih tinggi dari pada sikap, meskipun sikap juga merupakan landasan perilaku; sikap merupakan kesiapan untuk berbuat.

Secara harfiah istilah pendidikan jasmani terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan jasmani. Pendidikan merupakan proses mengubah sikap dan  perilaku seseorang atau sekelompok orang, sebagai usaha untuk mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pendidikan (KBBI 1989), sedangkan jasmani disini bukan hanya badan atau fisik saja tetapi secara keseluruhan baik jasmani dan rohani sebagai unsur dari psiklogi, jasmani merupakan media untuk melakukan suatu proses pendidikan dan dalam kenyataannya kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang menggunakan aktivitas jasmani atau fisik, dimana terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan yang dikelola secara sistematik.

Definisi lain dari pendidikan jasmani menurut ICSPE (International Council of Sport and Physical Education) memberikan batasan pendidikan jasmani “sebagai proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai aktivitas jasmani dalam rangka  meningkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, pertumbuhan, dan pembentukan watak” (Syarifudin, 2000:8).

Empat komponen sebagai tujuan yang sangat penting dalam pengembangan program pendidikan jasmani, yaitu: 1) merangsang pertumbuhan dan perkembangan organik, 2) keterampilan neuro muskuler motorik, 3) perkembangan intelektual, 4) perkembangan emosional (Harsuki, 2003:52).

Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih  khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokus dari pendidikan jasmani terletak pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia, hal inilah yang menjadikan pendidikan jasmani menjadi unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia

Adapun nilai-nilai yang ada di dalam Pendidikan Jasmani yaitu mampu mendorong tumbuh kembangnya perilaku positif, di antaranya: gaya hidup bugar, sportif, kerjasama, kedisiplinan, tanggungjawab, toleransi dan prakarsa atau kepemimpinan. Dengan demikian siswa memahami nilai-nilai yang ada di pendidikan jasmani, siswa juga diharapkan untuk dapat mengorganisir nilai-nilai, menentukan hubungan antar nilai dan menjadikannya karakter dalam diri siswa (Depdiknas).

Sumber lain menyatakan bahwa nilai nilai yang terdapat dalam pendidikan jasmani adalah sebagai berikut: 1) Kedisiplinan, yaitu kepatuhan kepada peraturan atau tata tertib, seperti datang tepat waktu, mengikuti semua kegiatan, dan pulang tepat waktu. 2) Kejujuran, yaitu kejujuran dalam perkataan dan perbuatan, seperti tidak berbohong, dan tidak berlaku curang. 3) Tanggungjawab, yaitu kesadaran untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan, seperti menyelesaikan tugas-tugas selama kegiatan berlangsung. 4) Sopan santun, yaitu sikap hormat kepada orang lain, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan sikap, seperti berbicara, berpakaian, dan duduk yang sopan. 5) Hubungan sosial, yaitu kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain secara baik, seperti menjalin hubungan baik dengan guru dan sesama teman, menolong teman, dan mau bekerjasama dalam kegiatan yang positif (http://www.portalpendidikan.com).

Sejumlah nilai yang ada dan dapat dipelajari melalui pendidikan olahraga atau pendidikan jasmani:

/cooperation, communication, respect for the rules, problem-solving, understanding, connection with others, leadership, respect for others, value of effort, how to win, how to lose, how to manage competition, fair play, sharing, self-esteem, trust, honesty, self-respect, tolerance, resilience, teamwork, discipline, confidence/(United Nations, 2003)/ (Ali Maksum).

Nilai tersebut adalah: kerjasama, menghormati peraturan, pemecahan masalah, pengertian, bersosialisasi dengan oranglain, kepemimpinan, menghormati oranglain, nilai dari sebuah usaha, belajar bagaimana untuk menang/kalah, bagaimana bertanding, kejujuran, berbagi, harga diri, kepercayaan, menghormati diri sendiri, kegembiraan, kerjasama dalam tim, kedisiplinan, kepercayaan diri.

Pada penelitian ini peneliti hanya membahas nilai-nilai yang ada  didalam pendidikan jasmani yaitu: kejujuran (fairplay), menghormati/ menghargai (respect), keunggulan (excellence). Dengan pengertian: 1) kejujuran merupakan nilai yang tercermin dalam perkataan dan perbuatan, seperti tidak berbohong, dan tidak berlaku curang, mematuhi peraturan yang ada. 2) menghormati/ menghargai merupakan nilai yang mencerminkan sikap hormat kepada orang lain, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, dan sikap, seperti berbicara, berpakaian dan  bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat  serta terwujud juga dalam sikap menolong teman. 3) keunggulan merupakan nilai yang mencerminkan sebuah usaha melakukan yang terbaik (Ali Maksum).

Maka dengan ini peneliti merumuskan pengertian atau definisi pemahaman nilai-nilai pendidikan jasmani yaitu: suatu dasar bagi sebuah tindakan terhadap nilai-nilai yang terdapat didalam penjas tersebut yang sifatnya melekat dan bertahan lama, sehingga nantinya diharapkan menjadi rujukan/pedoman pribadi untuk membentuk pembuatan keputusan dan perilaku.

Penggunaan media dalam pembelajaran tentunya tidak bermaksud mengganti cara mengajar, melainkan untuk melengkapi dan membantu guru dalam menyampaikan materi. Istilah kata media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “medius” yang secara harafiah berarti pengantar atau perantara (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, 2006:120). Makna umumnya ”media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima atau penyalur pesan”.

Menurut Association of Education and Communication Technology (AECT) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi (Wahyu Sri A., 2007:7). Menurut Gagne dalam Azhar Arsyad (2006:4) secara umum mengatakan bahwa: media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video kamera, video rekorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer.

Media pembelajaran dapat berguna bagi seorang pengajar dalam memperjelas suatu materi pelajaran yang masih kurang jelas atau materi pelajaran yang tidak memungkinkan untuk ditujukan secara langsung didalam kelas. Selain itu media pembelajaran juga membantu para pengajar dalam menyampaikan tugas-tugas untuk dikerjakan oleh peserta didik. Pendapat yang sama juga diungkapkan Briggs (1970) dalam Yusuf Hadi Miarso (2004:457) ”bahwa media pembelajaran adalah sarana untuk memberikan perangsang bagi pembelajar supaya proses belajar terjadi”.

Secara umum manfaat media dalam proses pembelajaran adalah memperlancar interaksi guru dengan siswa sehingga kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan efisien. Menurut Sudjana dikutip oleh Azhar Arsyad (2006:24) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu: a) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, b) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran, c) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui kata-kata guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran, d) Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak  hanya mendengarkan uraian guru tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasian dan memerankan.

Penggunaan media pembelajaran atau alat-alat modern didalam proses pembelajaran menurut Eveline S. dan Dewi Salma (2004:9) manfaat media pembelajaran adalah: 1) memberikan pengetahuan tentang tujuan belajar, 2) memotivasi siswa, 3) menyajikan informasi, 4) merangsang diskusi, 5) mengarahkan kegiatan siswa, 6) melaksanakan latihan berulang-ulang, 7) menguatkan belajar, 8) memberikan pengalaman stimulus.

Dari pendapat pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu alat fisik yang digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong teorjadinya proses mengajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali.

Media video merupakan salah satu jenis media audiovisual, karena media inilah yang sudah banyak dikembangkan untuk keperluan pembelajaran. Video sebagai media audio-visual yang menampilkan gerak semakin lama semakin banyak digunakan dalam menyampaikan (kejadian/peristiwa penting, berita) maupun fiktif  (seperti cerita) dan bisa bersifat informatif, eduocatif, dan instruksional. Menurut Briggs (1970) dalam Eveline S. dan Dewi Salma (2004:97) memberikan pengertian tentang media video adalah ”suatu alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang merangsang sesuai untuk pembelajaran”.

Media video merupakan suatu sistem yang didalam penggunaannya sebagai peralatan pemutar ulang (playback) yang terdiri dari video, tape recorder, video kaset, dan layar monitor. Gambar yang ditayangkan pada layar monitor merupakan gambar dengan objek bergerak atau gambar hidup yang menggambarkan secara jelas tentang suatu cara atau kejadian serta bersuara (Amir Hamzah Sulaeman, 1985:180).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa media video merupakan media audiovisual yang menyajikan materi yang berbentuk gambar disertai dengan adanya suara, selain itu media video merupakan unsur pembawa hiburan bagi siswa sehingga dapat menarik perhatian siswa dalam belajar. Video merupakan media yang dibuat untuk memproduksi gambar yang nyata karena sifatnya dari media bergerak (video) itu mempunyai kemampuan dalam menampilkan suatu gambar yang hidup sehingga dapat membantu kegiatan belajar mengajar.

Dengan menggunakan media video dapat menunjukan contoh cara-cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan, khususnya yang menyangkut interaksi siswa. Setiap media yang digunakan dalam pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Arief S. Sadiman et al (2005:74) kelebihan media pembelajaran video adalah: 1) Dapat menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat dari rangsangan luar lainnya. 2) Dengan alat perekam video sejumlah besar penonton dapat memperolehInformasi. 3) Demonstrasi yang sulit bisa dipersiapkan dan direkam sebelumnya. 4) Menghemat waktu dan rekaman dapat diulang berkali-kali. 5) Ruangan tidak perlu digelapkan waktu saat menyajikan. 6) Keras lemah suara yang ada dapat diatur dan disesuaikan bila akan disisipi komentar yang akan didengar. 7) Gambar proyeksi bisa dibekukan  untuk diamati dengan seksama, sehingga guru bisa mengatur dimana ia akan menghentikan gerakan gambar tersebut.

Kelebihan yang telah disebutkan diatas dapat direalisasikan dengan peran aktif guru dalam mencapai proses pembelajaran yang efektif. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kelebihan yang ada dalam video sebagai gambar bergerak dapat membantu daya tarik bagi siswa dengan gambar yang menampilkan keadaan realita yang menggunakan animasi. Sehingga dapat memperkaya keterampilan belajar.

Disamping mempunyai kelebihan, media video juga memiliki kelemahan, yaitu: 1) kurang mampu menampilkan detail dari objek yang disajikan secara    sempurna, 2) memerlukan alat yang mahal dan komplek (Arief Sadiman, et.al, 2005:75).

Dengan melihat kelemahan dari media video tersebut, hendaknya guru dapat mengambil solusi yang tepat untuk menyikapinya. Salah satu yang dapat   dilakukan guru yaitu dengan memodifikasi alat pengguanaan media video seperti menggunakan komputer. Perlu diingat bahwa media video tersebut merupakan alat Bantu atau sarana dalam mencapai tujuan pembelajaran. Jadi intinya komunikasi antar guru dan siswa adalah elemen yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga umpan balik dari penggunaan media dapat tercapai.

Sebagai media audiovisual, video dapat menampilkan suara, gambar, dan gerakan sekaligus. Sehingga media ini efektif untuk menyajikan berbagai topik pelajaran yang sulit disampaikan melalui verbal. Pemanfaatan media video adalah suatu kegiatan pemanfaatan media untuk menyampaikan pesan atau informasi maka pembelajaran akan efektif dan berjalan lancar apabila didukung dengan adanya media.

Pemanfaatan video dalam proses pembelajaran disekolah bukan lagi sesuatu yang aneh atau jarang dilakukan. Saat ini banyak sekolah yang telah memiliki dan memanfaatkan program video pembelajaran disekolah. Adanya media ini akan memberikan keuntungan kepada siswa melalui indra ganda yaitu indera pandang dan dengar.

Para ahli memiliki pandangan yang searah mengenai hal ini. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Baugh (1986) dalam Azhar Arsyad (2006:10) menyatakan kurang dari 90% hasil belajar seseorang diperoleh indera  pandang, dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagian  dengan indera lainnya.

Sementara itu Dale memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera sekitar 13%, dan 12% melalui indera lainnya (Azhar Arsyad, 2006:15).

Olympism adalah dasar dan filosofi kehidupan yang mencerminkan dan mengkombinasikan keseimbangan antara jasmani (badan yang sehat) dan rohani (kemauan, moral dan kecerdasan) serta mengharmonikan antara kehidupan keolahragaan, kebudayaan dan pendidikan, sehingga dengan demikian dapat diciptakan keselarasan kehidupan yang didasarkan pada kebahagiaan dan usaha yang mulia, nilai nilai pendidikan yang baik dan penghargaan pada perinsip perinsip etika yang berlaku. Itulah yang tertulis dalam Olympic Charter pasal 11 dikatakan: Olympism is a phylosofy of life, exalting and combining in a balanced whole the qualities of body, will and mind (fundamental principles of Olympism, Olympic Charter chapter 11.

International Olympic Comitte (IOC) merumuskan 3 dasar/inti nilai olympism yang menjiwai gerakan olimpiade.

 “Recently, the International Olympic Committee (IOC) has defined three core values, that are “the heart and soul of the Olympic Movement. They are meant to inspire us an individual and at the organizational level.”

Excellence: This value stands for giving one’s best, on the field of play or in the professional arena. It is not only about winning, but also about participating, making progress against personal goals, striving to be and to do our best in our daily lives and benefiting from the healthy combination of a strong body, mind and will. The expectation that athletes should set for themselves, captured in the Olympic Motto Citius, Altius, Fortius (Faster, Higher, Stronger). The value of excellence refers to striving to be the best in all that we do, as individuals and as groups working toward common goals. In pursuing—and ultimately measuring—excellence, athletes will naturally compare their efforts to others’. But the primary barometer of excellence will be reaching one’s personal objectives.

Friendship: This value encourages us to consider sport as a tool for mutual understanding among individuals and people from all over the world. The Olympic Games inspire humanity to overcome political, economic, gender, racial or religious differences and forge friendships in spite of those differences. The Olympic Movement is, at its heart, about people.

Respect: This value incorporates respect for oneself, one’s body, for others, for the rules and regulations, for sport and the environment. Related to sport, respect stands for fair play and for the fight against doping and any other unethical behavior (http://www.olympic.org)

Dengan demikian dapat dijabarkan bahwa excellence/nilai keunggulan, merupakan nilai yang mengacu pada pemberian terbaik seseorang terhadap suatu bidang, excellence/nilai keunggulan bukan semata berbicara tentang kemenangan semata, namun tentang usaha/partisipasi itu sendiri, mengacu pada usaha keras seseorang untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan sebagai seorang individu maupun kelompok, berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik dan melakukan yang terbaik dalam keseharian hidupnya serta menggabungkan kekuatan tubuh, pikiran dan keinginan. Hal itu terlihat dalam moto Citius, Altius, Fortius (lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat). sebagai usaha untuk mencapai atau mengukur keunggulan. Atlet akan membandingkan usaha mereka dengan oranglain. Namun ukuran utama dari keunggulan terletak pada pencapaian atas tujuan pribadi seseorang itu sendiri

Nilai persahabatan atau friendship merupakan nilai yang menganjurkan kita untuk mengingat bahwa olahraga adalah alat untuk saling memahami antar individu dan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Olimpiade menginspirasi seluruh umat manusia untuk mengatasi perbedaan politik, ekonomi, jenis kelamin, ras, atau agama serta menjunjung tinggi persahabatan dari pada perbedaan-perbedaan tersebut. Sedangkan fairplay tidak hanya berarti kepatuhan untuk mentaati suatu aturan, melainkan menggambarkan sikap yang tepat dan semangat yang tepat di mana seseorang mampu mengendalikan dirinya sendiri. (International Fairplay Chapter). Selain itu fairplay juga mengandung definisi jujur yaitu sesuatu mencerminkan keadaan yang sesungguhnya yang tercermin dalam sikap, perkataan serta tindakan.

Dalam penelitian ini peneliti membatasi nilai-nilai yang akan di teliti lebih lanjut yaitu nilai excellence/nilai keunggulan, fairplay/nilai kejujuran, dan nilai respect/nilai menghargai.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan pemahaman nilai-nilai Pendidikan Jasmani siswa kelas VII SMPK BPK Penabur V Cipinang Indah Jakarta Timur. melalui pemberian video pembelajaran tentang pendidikan olympism.

Saran

Saran sebagai masukan yang dapat diberikan oleh peneliti dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1) Guru. a) Guru sebaiknya lebih menekankan dalam penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam pendidikan jasmani, guru seharusnya tidak terfokus hanya kepada ketuntasan belajar gerak saja, b) Guru sebaiknya meningkatkan metode pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar dan senang, c) Penjelasan tentang kegunaan materi dengan memanfaatkan media video pembelajaran perlu dipertahankan, d) Penghayatan nilai-nilai pendidikan jasmani saat ini seharusnya menjadi perhatian guru pendidikan jasmani ditengah-tengah kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis kharakter hal ini terlihat dari kasus-kasus amoral yang kita baca dan saksikan dalam media masa, belum lagi baying-bayang Narkoba yang siap menarik generasi penerus bangsa kejurang yang siap menenggelamkan Indonesia di masa depan. 2) Siswa. Siswa perlu mendapatkan pemahaman tentang nilai-nilai penjas dan olympism dan hal ini bukan sekedar sebuah teori saja, namun juga dapat diaplikasikan. 3) Sekolah. Sekolah perlu meningkatkan dan memotivasi guru dalam menyampaikan materi pembelajaran video guna mencapai tujuan belajar

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali Imron. 1996. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Amir Hamzah. 1985. Media Audio-Visual. Jakarta: PT. Gramedia.

Azhar Arsyad. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grasindo.

Depdiknas. 2001. Mengajar Pendidikan Jasmani Pendekatan Pendidikan Gerak di SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Eveline S dan Dewi Salma. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Harsuki. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini (Kajian Para Pakar). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

http://www.portalpendidikan.co.id

http://www.olympic.org

IOC. The Olympic Games in Ancient Greece. Athena: Ekdotike Athenon S.A, Athens.

Jurnal Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ, Mei 2004.

Kemenpora. 1991. Sejarah Olahraga Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga.

Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Rusli Lutan. 2001. Asas-asas Pendidikan Jasmani: Pendidikan Gerak di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga, Depdiknas.

Rusli Lutan. 2001. Olahraga dan Etika Fair Play. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga.

Rusli Lutan. Olahraga, Kebijakan dan Politik Sebuah Analisis. Jakarta: KONI PUSAT bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Olahraga.

Sugianto. 1993. Pertumbuhan dan Perkembangan Gerak. Jakarta: KONI Pusat.

Suharsimi Arikunto. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Suharsimi Arikunto. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Syarifudin. 2000. Kunci Sukses Pengembangan Program Pendidikan Jasmani. Jakarta: PT Ardadizya Jaya.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Wahyu Sri A. 2007. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan. Jakarta: CV Multi Karya Mulya.

Wijaya Kusuma dan Dedi Dwigatama. 2009. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks.

WJS. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Peng. Bahasa Depdikbud, Jakarta, Balai Pustaka.

Yusufhadi Miarso. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Zulkifli L. 2001. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosada Karya.

[1] Del Asri, S.Si dan Drs. Yansens H. Jutalo, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Indra Melani Naury Nababan, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN METODE BERMAIN DENGAN KOMANDO TERHADAP HASIL BELAJAR LOMPAT JAUH GAYA JONGKOK PADA SISWA KELAS V SDN KLENDER 06 PAGI DUREN SAWIT JAKARTA TIMUR

Del Asri, Mustara[1] dan Didik Agus Indratno[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 9 No 1 Mei 2010 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mana yang lebih efektif antara pembelajaran menggunakan metode bermain dan metode komando terhadap hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas V SDN klender 06 pagi Duren Sawit Jakarta Timur. Penelitian dilaksanakan di SDN Klender 06 Pagi Duren Sawit Jakarta Timur tanggal 20 Januari sampai dengan 20 Februari 2010. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dan dianalisis dengan statistik uji t. Populasi penelitian sebanyak 48 siswa, diambil 30 siswa sebagai sampel dengan menggunakan teknik simple random sampling.

Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut hasil tes akhir pada kelompok pembelajaran menggunakan metode bermain diperoleh rata-rata = 24,67 standar deviasi = 3,33 simpangan perbedaan dua mean sebesar 1,114 sehingga diperoleh thitung = 2,630, ttabel (28:0,05) adalah 2,048. Berdasarkan hasil tersebut hipotesis nol ditolak maka dapat disimpulkan behwa hasil pembelajaran  menggunakan metode bermain lebih efektif dari metode komando terhadap hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas V SDN Klender 06 pagi Duren sawit Jakarta Timur.

Kata Kunci: Metode Bermain, Metode Komando, Hasil Belajar Lompat Jauh Gaya Jongkok

PENDAHULUAN

Sistem pendidikan pada saat sekarang ini memasuki era baru, yaitu mulai tahun pelajaran 2004/2005 sebagian besar sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMU menerapkan uji coba kurikulum berbasis kompetensi. Dengan adanya penerapan uji coba kurikulum tersebut berimplikasi kepada perubahan pola penerapan proses pembelajaran di kelas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun tahapan evaluasi yang dilaksanakan oleh guru. Konsekuansinya bagi guru dalam menyajikan meteri pembelajaran tidak terlepas dari kurikulum berbasis kompetensi. Salah satu tempat untuk mewujudkan tujuan pendidikan adalah jalur pendidikan formal yaitu sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang mempunyai fungsi mendasar untuk masa depan siswa harus mendapat perhatian yang serius, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aip Syarifuddin (1998:3), tentang fungsi lembaga pendidikan sebagai berikut: “Lembaga pendidikan mempunyai fungsi meletakan dasar-dasar pengembangan terhadap aspek afektif (berkenaan dengan perasaan yang mempengaruhi kejiwaan), Psikomotor (berhubungan dengan aktifitas fisik yang berkaitan dengan proses mental) dan aspek kognitif (Proses pengenalan dan penafsiran lingkungan/bersifat pengetahuan) sebagai unsur yang mengacu pada pembinaan para siswa menjadi pribadi yang baik jasmani, rohani  maupun sosialnya.”

Pendidikan jasmani dan kesehatan diberikan dalam bentuk formal berupa kurikulum pendidikan dasar, yang harus memberikan sumbangan  yang positif dan efektif bagi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan siswa. Dalam pemeliharaan dan peningkatan kesegaran jasmani. Karena dengan tingkat kesegaran jasmani yang prima akan dapat meningkatkan kemampuan dan prestasi belajar bagi seorang siswa. Mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan dituangkan dalam kurikulum pendidikan jasmani dan kesehatan mempunyai peranan sangat penting untuk membangun dan menciptakan bangsa yang sehat, kuat, terampil dan cerdas. Kurikulum pendidikan jasmani disekolah dilakukan melalui berbagai kegiatan dapat meningkatkan kemampuan, keterampilan dan pertumbuhan baik pada bidang kognitif, afektif maupun psikomator. Hal ini tidak terlepas dari cara (metode) mengajar yang sebaik-baiknya. Untuk   mencapai  tujuan yang diinginkan yaitu  dengan  menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan tingkat usia maupun lingkungan.

Seorang guru yang sangat miskin metode dan tidak mengurangi berbagai tehnik mengajar, akan menyusahkan guru dan murid itu sendiri. Dengan demikian mutu pendidikan akan menjadi rendah. Minat anak akan berkurang, dan kesanggupan belajar tidak ada. Tetapi sebaliknya apabila cara mengajar menggunakan teknik yang beraneka ragam dan disertai dengan pengertian yang memadai dari pihak guru, sudah barang tentu akan lebih menarik bagi murid-murid yang akan mempertinggi hasil belajar mereka. Sehubungan dengan itu peneliti sangat tertarik dengan cabang atletik yaitu lompat jauh gaya jongkok.

Pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dalam kegiatan ekstrakurikuler perlu ditingkatkan untuk menjawab keraguan dan kegelisahan masyarakat sebagai orang tua terhadap relevansi meteri pendidikan jasmani bagi siswa disekolah. Namun demikian sering terjadi proses pembelajaran ekstrakurikuler pendidikan jasmani disekolah, hasilnya tetap tidak optimal. Tidak optimalnya hasil pembelajaran tersebut mungkin oleh adanya guru yang tidak menguasai materi pembelajaran serta rendahnya kemampuan gerak motorik siswa.

Guru yang tidak kompeten adalah yang tidak menerapkan langkah- langkah strategi belajar mengajar yang tepat berdasarkan materi, kemampuan siswa secara individu seperti postur tubuh dan kondisi fisik. Salah satu dampaknya dari hal tersebut di atas, dapat terlihat dari rendahnya kualitas penguasaan gerak lompat jauh berdasarkan hasil yang lompatannya sangat rendah.

Menurut Aip Syarifuddin (1998:23), lompat jauh adalah unsur gerak lokomotor yang harus diberikan kepada siswa sekolah yang didiskripsikan sebagai aktifitas gerak yang bertujuan untuk melompat sejauh-jauhnya melalui gerakan awalan, tolakan, sikap badan di udara sampai mendarat. Guna mencapai hasil lompatan sejauh-jauhnya, maka seorang pelompat harus memiliki kekuatan otot tungkai yang baik (Yusuf Adisasmita, 1985:23). Hal ini disebabkan dalam gerakan lompat jauh, terutama dalam teknik tolakan, adalah suatu proses melontarkan tubuh yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Guna melawan gaya gravitasi yang mencengkram kaki tumpu saat menolak, maka diperlukan kaki yang kuat. Agar kaki tumpu sebagai kaki yang menolak dapat melontarkan tubuh tersebut, maka kaki-kaki tumpu harus dilatih dengan berbagai pola gerak yang mempu mengembangkan kekuatan pada otot-otot tungkai. Kekuatan tersebut sangat dibutuhkan guna melontarkan tubuh kearah horizontal membentuk lintasan tersebut bekerja tenaga lontaran dan gaya tarik bumi (Dadang Masnun, 1998:93).

Permasalahan yang terjadi di SDN 06 Klender ternyata adalah hasil dari proses pembelajaran lompat jauh sangat jauh dari harapan yang dirumuskan tujuan pembelajaran baik berdasarkan penilaian kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam melakukan tolakan, lemah pada kaki tumpu sehingga tidak mampu melakukan garakan menolak yang sempurna. Hal tersebut mengakibatkan dari hasil lompatan sangat dekat. Dengan adanya hasil lompatan tersebut maka, sekolah tersebut sulit untuk menentukan siswanya untuk diikut sertakan dalam berbagai kegiatan perlombaan baik yang diadakan tingkat kecamatan sampai propinsi.

Rendahnya mutu keberhasilan pembelajaran lompat jauh tersebut baik di lihat berdasarkan penilaian kuantitatif maupun kualitatif, maka guru pendidikan jasmani di sekolah tersebut terus-menerus berupaya melakukan peningkatan hasil kemampuan lompat jauh dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai salah satu penunjang pencapaian prestasi atletik. Yaitu melakukan pengajian latihan yang sesuai dengan karakteristik siswa, atau memberikan proses gerak yang mampu meningkatkan kemampuan kekuatan otot tungkai sebagai dasar yang sangat diperlukan dalam lompat jauh.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti efektifitas pembelajaran metode bermain dengan metode komando terhadap hasil belajar lompat jauh pada siswa SDN 06 Klender Jakarta timur.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen pretest and posttest design. Penelitian ini dilaksanakan di SDN 06 Klender Duren Sawit Jakarta Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada 16 kali pertemuan termasuk tes awal dan akhir. Pembelajaran dilakukan selama 2 x 45 menit. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas V SDN 06 Klender Duren Sawit Jakarta Timur berjumlah 38 siswa. Sampel penelitian ini siswa-siswi berjumlah 30 orang menggunakan teknik simple random sample. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rangkaian tes kualitatif hasil belajar lompat jauh. Kisi-kisi penilaian hasil belajar lompat jauh terdiri dari: 1) Awalan: sikap kaki, sikap badan dan sikap tangan, 2) Tolakan: sikap kaki, sikap badan dan sikap tangan, 3) Sikap badan di udara: sikap kaki, sikap badan dan sikap tangan, 4) Sikap mendarat: sikap kaki, sikap badan dan sikap tangan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik uji t.

 

HASIL PENELITIAN

Data penelitian diperoleh melalui tes awal dan tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok, yaitu tes penguasaan tehnik gerakan. Adapun data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Data tes awal hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok strategi pembelajaran menggunakan metode bermain diperoleh skor terendah 17.50 dan skor tertinggi 25,50 dengan hasil rata-rata diperoleh (X1) = 21,87 simpangan baku (SDX1) = 2,19 dan standar kesalahan mean (SDMX1) = 0,586. Data tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok strategi pembelajaran menggunakan metode bermain diperoleh skor terendah 21,00 dan skor tertinggi 32,00 dangan hasil rata-rata diperoleh (X2) = 27.60 simpangan baku (SDX2) = 3,33 dan standar kesalahan mean (SDMX2) = 0,890.

Data penelitian yang akan dianalisis dalam pengujian hipotesis diperoleh dari pengumpulan data tes awal dan tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok strategi pembelajaran metode komando dimana data hasil penelitian yang diperoleh tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Data tes awal Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok diperoleh skor terendah 18,00 dan skor tertinggi 26,00 dengan rata-rata diperoleh (Y1) = 21,67 simpangan baku (SDY1) = 2,27 dan standar kesalahan mean (SDMY1) = 0,61. Data tes awal Hasil belajar lompat jauh gaya jongkok diperoleh skor terendah 20,00 dan skor tertinggi 29,00 dengan rata-rata diperoleh (Y2) = 24,67 simpangan baku (SDY2) = 2,50 dan standar kesalahan mean (SDMY1) = 0,669.

Analisis data penelitian tes awal hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran metode komando dan metode bermain diperoleh data sebagai berikut: Nilai rata-rata pembelajaran metode komando (mean) = 21,67 dan nilai rata-rata pembelajaran metode bermain (mean) = 21,87. Standar deviasi pembelajaran metode komando (SDY2) = 2,27 dan standar deviasi pembelajaran metode bermain (SDX2) = 2,19. Standar kesalahan mean pembelajaran metode komando (SDMY2) = 0,61 dan standar kesalahan mean pembelajaran metode bermain (SDMX2) = 0,586.

Hasil analisis data tersebut, tes awal hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran menggunakan metode komando dan metode bermain diperoleh standar perbedaan antara dua mean (SEMX2SEMY2) = 0,8456, thitung diperoleh 0,2370. Dan diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan (dk) (n1 + n2) – 2 = (15 +15) – 2 = 28 dan taraf α = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,048. Dengan demikian thitung lebih kecil dibandingkan ttabel (thitung = 0,2370 < ttabel = 2,048). Hasil analisa tersebut, H0 diterima dan Hi ditolak atau hipotesis yang menyatakan tidak dapat perbedaan antara hasil tes awal hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada pembelajaran menggunakan metode komando dan metode bermain diterima. Atau dapat diambil keputusan bahwa dua kelompok pembelajaran metode komando dan metode bermain yang akan diberikan perlakuan tersebut masing-masing memiliki kemampuan sama.

Hasil kemampuan tes awal dan tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran metode komando diperoleh standar kesalahan perbedaan mean (SEMD) = 0,346, nilai thitung diperoleh = 8,671. Kemudian diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan (dk) = (n – 1) = (15 – 1) = 14 dengan taraf  = 0,05 diperoleh nilai krisis ttabel = 2,145. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel (thitung = 8,671 > ttabel = 2,145). Berdasarkan hasil analisa data tersebut dapat diambil keputusan hipotesis nol (H0) ditolak, hipotesis kerja (H1) diterima, atau terjadi peningkatan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok setelah diberikan perlakuan dengan pembelajaran menggunakan metode komando.

Hasil analisa tes awal dan tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran menggunakan metode bermain deperoleh standar kesalahan perbedaan mean (SEMD) = 0,460, sehingga nilai thitung diperoleh = 12,457. Hasil perhitunfan tersebut, kemudian diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan (dk) = (n – 1) = (15 – 1) = 14 dengan taraf α = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,145. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel (thitung = 12,457 > ttabel = 2,145). Hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan hipotesis nol (H0) ditolak, hipotesis kerja (Hi) diterima, atau terjadi peningkatan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok setelah diberikan perlakuan dengan pembelajaran menggunakan metode bermain.

Hasil analisis tersebut, tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran menggunakan metode komando dan metode bermain diperoleh standar perbedaan dua mean (SEMX2 – SEMY2) sebesar = 1,114. Nilai thitung diperoleh = 2,630, kemudian diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan (db) = (n1 + n2) – 2 = (15 +15) – 2 = 28 dan taraf α = 0,05. Nilai kritis ttabel = 2,048, maka nilai thitung lebih besar dibandingkan dengan ttabel (thitung = 2,630 > ttabel = 2,048. Dengan demikian hipotesis nol (H0) ditolak hipotesis kerja (Hi) diterima, atau hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan tes akhir hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada kelompok pembelajaran menggunakan metode komando dan metode bermain tidak terbukti.

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan di atas, maka hasil dapat diambil keputusan bahwa pembelajaran menggunakan metode bermain lebih baik dari pada menggunakan metode komando terhadap hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas V SDN Klender 06 Pagi Duren Sawit Jakarta Timur.

 

PEMBAHASAN

Kegiatan belajar mengajar merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah, kegiatan belajar adalah kegiatan yang primer dalam kegiatan belajar mengajar. Sedang kegiatan mengajar merupakan kegiatan sekunder yang dimaksudkan untuk dapat terjadinya kegiatan belajar yang optimal.

Situasi yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar yang optimal adalah suatu situasi dimana siswa dapat berinteraksi dengan guru. Situasi tersebut dapat lebih mengoptimalkan kegiatan belajar bila menggunakan metode yang tepat. Agar dapat diketahui ke efektifan kegiatan belajar mengajar, maka setiap proses dan hasilnya harus dievaluasi.

Dalam proses belajar mengajar tidak terlepas dari kehadiran seorang guru. Dalam hal ini guru sebagai pendidik memegang peranan penting dalam pelaksanaan proses belajar mengajar disekolah. Karena guru akan berfungsi sebagai penggerak berlangsungnya proses belajar mengajar. Berkaitan dengan hal tersebut guru harus mempunyai materi yang akan disampaikan kepada siswa demikian juga dengan guru pendidikan jasmani harus menguasai pengetahuan dan metode belajar mengajar yang luas dalam bidang keolahragaan (Moedjiono, 1992/1993:18).

Belajar akan berhasil apabila seorang siswa dapat mengerti dan memahami isi pelajaran yang diterima dari seorang guru. Belajar yang efektif hasilnya merupakan pemahaman dan pengertian. Menurut Nana Sujana (1998:17) belajar adalah “suatu proses yang ditandai adanya perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan kemampuan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.”

Maka dengan belajar diharapkan terjadi perubahan -perubahan pada individu yang belajar, dari perubahan itu diharapkan tidak hanya pengetahuan tetapi juga bentuk tingkah laku, kecakapan, keterampilan, penguasaan sikap, dan kebiasaan sifat-sifat yang positif. Dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku berupa pengetahuan, keterampilan, pemahaman, dalam berbagai aspek kehidupan.

Mengajar adalah kewajiban bagi seorang guru atau pendidik untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik yaitu mengajar dengan baik. Belajar mempunyai beberapa pengertian antara lain: mengajar adalah menanamkan pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam diri anak didik dan mengajar merupakan usaha penyampaian kebudayaan kepada anak didik

Keberhasilan mengajar dapat dilihat dengan adanya perubahan tingkah laku anak menuju perbaikan. Jadi pada dasarnya guru harus mengusahakan agar isi pelajaran dapat dimengerti dan dipahami (Mansyur, 1994/1995:135). Oleh karena itu mengajar merupakan kegiatan yang di sengaja dan dilakukan olah seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dari orang yang diajarinya.

Menurut James A Whittaker, hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang berlangsung secara sadar dan melibatkan segenap aktivitas siswa adalah merupakan proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil apabila, siswa telah memahami proses belajar mengajar serta mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasil perubahan tingkah laku dari proses belajar mengajar inilah yang disebut hasil belajar.

Pada tahap kognitif, siswa dituntut untuk mengingat, menganalisa tentang apa yang terkandung dalam materi yang dipelajari. Pada tahap efektif setelah melalui proses belajar diharapkan siswa mampu menguasai tentang sikap, minat serta nilai-nilai positif lainnya. Sedangkan pada tahap psikomotor menekankan pada tujuan agar siswa disamping mengerti, memahami, tetapi juga harus mempu menguasai dan dapat melakukan kecakapan, keterampilan dari bahan yang dipelajarinya. Dalam pendidikan jasmani hasil belajar yang bersifat psikomotor merupakan bagian paling dominan meskipun demikian tujuan yang bersifat kognitif dan efektif juga ikut berperan serta. Oleh sebab itu dalam mengajar pendidikan jasmani, seorang guru selain harus menguasai bahan yang akan diajarkan juga  harus  bisa memilih metode yang tepat agar siswa lebih mudah menerima materi pelajaran.

Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datangnya dari luar diri siswa atau lingkungan. Faktor dari diri siswa yaitu kemempuan yang dimiliki siswa, faktor dari luar seperti motivasi belajar, minat, perhatian, sosial ekonomi, serta fisik siswa (Nana Sudjana, 1998:39). Jadi hasil belajar dapat dilihat melalui hasil evaluasi atau hasil tes yang maksimal sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Metode merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan hal ini berlaku  baik  bagi  guru  maupun siswa.  Makin  baik  metode   itu, makin efektif pula pencapaian tujuan. Dengan memiliki pengertian secara umum mengenai sifat berbagai metode, baik mengenai kebaikan-kebaikannya maupun mengenai kelemahan-kelemahannya. Seseorang akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai untuk situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Menurut J. Matakupan (1994/1995:7) metode adalah “Prosedur atau operasi untuk mencapai suatu tujuan.“

Tujuan disini adalah membandingkan metode bermain dengan metode komando mana yang lebih efektif terhadap hasil belajar lompat jauh pada siswa kelas V SDN 06 Klender Jakarta timur. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara terencana dan melalui proses tertentu.

Metode bermain adalah salah satu bentuk usaha yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani secara sistemetis dan terencana untuk menyampaikan bahan pengajaran kepada siswa, agar  siswa  dapat   menerima   dengan   mudah   sehingga   terjadi perubahan perilaku yang optimal. Metode bermain diartikan sebagai cara memberikan proses pembelajaran yang disesuaikan dengan sifat manusia yang paling dasar yaitu suka bermain (J. Matakupan, 1994/1995:18). Sedangkan Supandi (1992:45) menjelaskan bahwa penggunaan metode bermain didasari oleh anak-anak dilingkungan masyarakat telah terbiasa dengan bermain.

Atas dasar uraian tersebut, maka metode bermain ini adalah suatu bentuk penyampaian materi pelajaran pendidikan jasmani yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani dengan cara dengan cara bermain sebagai alat pendidikan. Hal ini sesuai dengan   pendapat   Pestalozzi  dalam Soemitro (1989:3) yang   menekankan perlunya bermain yang diyakininya mempunyai nilai-nilai untuk mengembangkan harmoni jiwa raga.

Sedangkan peranan bermain dalam pendidikan jasmani menurut Soemitro (1989:11) adalah sebagai berikut: 1) Bermain bagi anak adalah hidup dan kehidupan, 2) Bermain bagi anak untuk menemui diri, 3) Bermain bagi anak adalah kebebasan yang positif, 4) Bermain bagi anak penemu lingkungan, 5) Bermain bagi kegembiraan, 6) Bermain bagi anak hubungan interaksi dengan orang lain, 7) Bermain untuk anak belajar atau bermain untuk belajar.

Berbasarkan uraian peranan bermain dalam pendidikan jasmani diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, metode bermain adalah salah satu cara memberikan pengalaman belajar pada siswa yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan siswa.  Menurut jenisnya metode bermain atau permainan ini terdiri dari: 1) Permainan meniru, gerakan atau pokok bahan meniru perilaku hewan, manusia atau mesin yang bergerak. 2) Permainan peran, memerankan perilaku atau gerak-gerakan suatu profesi, jabatan, atau pekerjaan. 3) Permainan fantasi, gerakan atau pokok bahasan yang diambil dari dongeng atau imajinasi. 4) Permainan dramatisasi, memainkan suatu lakon berdasarkan kerangka kerja drama (Soemitro, 1989:18).

Berdasarkan uraian tersebut, maka bermain dapat dijadikan alat pendidikan dimana siswa dalam proses belajar mengajar  bermain diberikan pengalaman belajar sebagai upaya meningkatkan kemampuan intelektual, sikap dan keterampilan. Ketiga kemampuan tersebut merupakan sasaran yang harus dicapai dalam pendidikan. Menurut Soemitro (1989:1), permainan dibagi dua yaitu bermain menurut tipe dan bermain menurut pengelompokan. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Tipe bermain: aktif, pasif dan intelektual, 2) Pengelompokan bermain berdasarkan: jumlah, sifat pemain, alat yang digunakan, lapangan yang digunakan, bentuk penyajian, orang yang melakukan (Soemitro, 1989:10-11).

Didasari oleh uraian tersebut diatas maka, jelas bahwa bermain atau permainan sebagai alat pendidikan memiliki variasi yang beraneka dalam upaya meningkatkan kualitas kepribadian siswa. Selain dari itu bermain yang dijadikan sebagai metode belajar mengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan kemampuan, dan bakatnya tanpa adanya tekanan dari luar yang dapat menghambat kemampuan siswa tersebut.

Metode belajar mengajar bermain merupakan salah satu bentuk  usaha  yang  dilakukan  oleh  guru  pendidikan  jasmani dalam melaksanakan proses belajar mengajar dengan menggunakan bermain sebagai cara dalam mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan metode belajar mengajar bermain tersebut merupakan salah satu bentuk manfaat potensi yang dimiliki oleh siswa kelas V. Yaitu suatu metode dan pendekatan yang memberikan pemenuhan kebutuhan anak akan bermain. Bermain yang dijadikan alat pendidikan memiliki tiga nilai yang terkandung didalamnya yaitu, nilai mental, nilai fisik, serta sosial (Soemitro, 1989:4).

Berdasarkan hal tersebut, maka metode mengajar bermain, merupakan suatu cara memberikan proses belajar mengajar dalam pendidikan jasmani yang memberikan keuntungan bagi Siswa sebagai peserta didik. Keuntungan yang dimaksud adalah metode tersebut dapat mengembang tiga aspek sekaligus yaitu mental, fisik, dan sosial sebagai bagian dari pengembangan kualitas pribadian siswa tersebut.

Metode komando sebagai bagian dari metode belajar mengajar yang berpusat pada guru. Guru sebagai orang yang memiliki tanggung jawab keberhasilan proses belajar mengajar, sehingga guru mendominasi  dalam mengambil keputusan siswa dalam proses belajar dijadikan objek. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Supandi (1992:24) yang mengatakan bahwa “secara teoritis metode komando dapat dinyatakan bahwa siswa tidak diberikan kebebasan untuk membuat keputusan sehubungan dengan proses belajarnya, inilah yang menganggap metode komando menjadikan siswa sebagai objek. Kebebasan siswa sangat terbatas hanya mau tidaknya mengikuti atau mematuhi perintah guru.”

Berdasarkan uraian tersebut, maka jelas metode komando adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang sepenuhnya didominasi guru. Kedudukan guru dalam metode komando tersebut merupakan yang memproduksi rangsangan terhadap  siswa  yang  direspon secara berulang-ulang (Supandi, 1992:25). Selain ada prinsip ulangan tersebut dapat pula prinsip ganjaran didalamnya, prinsip ini penting di dalam memperkuat rangsangan dan tanggapan tersebut. Dan menurut Supandi (1992:24) pemberian terhadap siswa dalam metode komando dapat memperkuat stimulus respon, semakin ganjaran kuat hubungan tersebut maka akan menciptakan keberhasilan pada proses pengajaran tersebut.

Supaya dapat menciptakan hasil belajar yang optimal, maka penggunaan metode komando dalam proses belajar mengajar guru pendidikan jasmani dituntut untuk memperlihatkan prosedur metode tersebut, yaitu: a) Guru menyiapkan seperangkat kegiatan belajar mengajar yang pada umumnya berkenaan dengan bentuk, tempo, frekuensi, intensitas, penilaian dan tujuan pengajaran. b) Guru menetapkan bentuk aba-aba atau komando berupa verbal atau bentuk lambing lainnya, yang termasuk lambing antara lain bendera, tepuk tangan, peluit dan sebagainya. c) Pada saatnya, guru mendemonstrasikan kegiatan belajarnya baik berupa gerakannya maupun aba-abanya, demonstrasi ini dapat dilakukan oleh guru sendiri atau model diambil dari siswa yang pandai. d) Guru menyiapkan siswanya untuk menerima aba-aba dan melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan komando guru. Gerakan dilakukan berulang-ulang (Supandi, 1992:25).

Berdasarkan uraian tersebut, maka mengajar metode komando merupakan salah satu cara menyajikan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru secara terencana dan sistematis dalam usaha menciptakan kondisi belajar yang efektif dan efesien. Keuntungan menggunakan metode komando menurut J. Matakupan (1994/1995:16) adalah “sangat efektif bila ingin membina keseragaman dan kerataan tidak terlalu menuntut pengetahuan yang banyak dari bahan gerakan sesuai dengan bentuk yang diinginkan guru untuk   beberapa   tujuan   pengajaran  biasa  yang  efektif   dan efesiensi, serta ajarannya, pengontrolan laju informasi sepenuhnya dikuasai oleh guru.”

Walaupun demikian bukan berarti metode ini tanpa memiliki kelemahan, kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan metode komando dalam proses belajar mengajar, menurut Supandi (1992:25) dalam strategi belajar mengajar pendidikan jasmani dan kesehatan adalah “siswa sering kehilangan kemandirian, siswa sangat tergantung pada guru sehingga daya kreasinya menurun, serta dalam segi proses belajar mengajar kelemahan metode ini  adalah penggunaan alat tidak efesien karena tidak dapat bergilir, bisa menimbulkan salah ajar yang sukar diperbaiki atau bahkan tidak disadari oleh guru karena sibuk memberikan aba-aba serta dapat mematikan motivasi untuk belajar lanjutan secara ekstra.”

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa metode mengajar komando suatu bentuk pendekatan mengajar yang berpusat pada guru sehingga siswa lebih pasif dalam menemukan pengalaman belajar, dikarenakan proses pemberian pembelajaran di dominasi oleh guru. Dikarenakan terlalu aktifnya guru dalam proses belajar mengajar tersebut, maka segala potensi yang terdapat pada siswa sulit untuk bekembang secara optimal.

Kemampuan atau kesanggupan adalah kecakapan atau kekuatan seseorang untuk dapat berbuat atau melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan (Utami S. Munandar, 1987:1).

Pendapat lain tentang kemampuan, dikemukakan oleh Sri Esti W. D. (2004:123) yang menjelaskan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kemampuan adalah kecakapan atau kesanggupan melakukan sesuatu (Balai Pustaka, 1995:623) dan lompat jauh adalah salah satu bagian atletik pada nomor lompat yang dapat diartikan sebagai aktifitas gerak yang bertujuan melakukan gerakan melompat sebaik-baiknya guna mencapai jarak sejauh-jauhnya yang dimulai dari awalan, tolakan, sikap badan di udara dan mendarat (Yusuf Adisasmita, 1992:72). Sedangkan menurut Aip Syarifuddin dan Woeryanto (1985:80) lompat jauh adalah suatu bagian dari cabang atletik yang bertujuan untuk melompat sejauh-jauhnya diawali dari gerakan lari awalan, tumpuan, sikap badan diudara sampai mendarat.

Guna mencapai hasil lompatan sejauh-jauhnya, seorang pelompat perlu mengetahui dan memahami teknik gerakan lompat jauh yang baik dan benar. Hal ini disebabkan suatu aktifitas gerak dilakukan dengan cara yang benar dapat menghasilkan gerakan yang efesien dan efektif (Harsono, 1986:47). Adapun teknik gerakan lompat jauh antara lain: a). Awalan b). Tolakan c). Melayang d). Mendarat (Yusuf Adisasmita, 1992:74-75).

Awalan melakukan lompat jauh merupakan teknik gerakan yang sangat penting yang bertujuan untuk mendapatkan kecepatan pada waktu akan melompat. Yaitu untuk mendapatkan tenaga  dalam melakukan tolakan agar dapat melontarkan tubuh secara maksimal, hal ini disadari oleh Balesteros (1986:23)  bahwa lari awalan lompat jangkit tidak banyak perubahan sikap badan pada beberapa langkah terakhir dari pada lompat jauh.

Awalan dalam hal ini, lari secepat-cepatnya dalam jarak sampai 40 meter. Dilakukan dengan gerakan yang dimulai dari perlahan kemudian makin lama semakin cepat dan langkah kaki yang terkontrol guna melakukan tolakan (Depdikbud, 1988:25).

Sedangkan gerakan awalan menurut Jess Jarver (1986:34) adalah sebagai berikut: a) Maksud berlari sebelum melompat ini bertujuan meningkatkan percepatan horizontal secara maksimum tanpa menimbulkan hambatan sewaktu take off. b) Pada saat lari ini harus diusahakan sedemikian rupa sehingga menghambat kendali terhadap posisi tubuh. Dengan demikian dapat dilakukan take off dengan efektif. c) Gerakan lari harus dilakukan secara konsisten dan seragam sehingga take off dapat dilakukan secara tepat. Jarak lari 20 atau 25 meter saja, atau tergantung pada kemampuan.

Awalan adalah, proses gerakan yang dimulai lari perlahan sampai kecepatan penuh dan tidak terlepas kontinyunitas langkah kaki, serta ketepatan kaki tumpu   untuk   menolak   penurunan kecepatan lari atau merubah langkah kaki akan menghambat dalam melakukan gerakan selanjutnya yaitu gerakan menolak.

Tolakan adalah rangkaian teknik lompat jauh kedua setelah awalan, merupakan suatu proses perpindahan yang sangat cepat antara gerakan awalan dengan saat melayang. Tolakan adalah suatu gerakan dilakukan dengan kaki yang terkuat untuk mengangkat tubuh sehingga memungkinkan hasil lompatan yang lebih jauh. Menurut Jess Jarver (1986:35) teknik menolak adalah merubah gerakan lari menjadi suatu lompatan dengan melakukan   lompatan   tegak   lurus   sambil   mempertahankan kecepatan horizontal semaksimal mungkin (Jess Jarver, 1986:35), oleh karena itu guna melakukan tolakan perlu memperhatikan sebagai berikut: 1) Perubahan dari kecepatan horizontal menjadi gerakan bersudut didapatkan dengan cara memberikan tenaga maksimum pada kaki yang akan take off. 2) Pusat dari gaya berat si pelompat, harus langsung jatuh di atas papan, begitu kaki yang akan take off menyentuhnya. Dan sekali lagi pada saat kaki terlepas dari board tadi. Kaki yang akan take off diletakkan tepat diatas board dengan lutut yang sedikit di tekuk untuk mendapatkan kekuatan. 3) Gerakan ke depan dan keatas dilakukan dengan sekuat tenaga, dibantu oleh lutut dari kaki yang memimpin, dan tangan yang berlawanan dengan kaki yang digunakan untuk take off. Tujuannya adalah untuk memperkuat daya lompat. 4) Paling baik kalau sudut take off berkisar di bawah 300, tergantung kepada kemampuan si pelompat mengkombinasikan kecepatan horizontal dan gerakan membuat sudut tadi (Jess Jarver, 1986:37). Gerakan menolak lompat jauh yang perlu diperhatikan adalah kaki terkuat yang dijadikan kaki tumpu dan sudut tolakan.

Melayang adalah proses gerakan tubuh di udara yang merupakan bentuk ketiga dari rangkaian gerakan pelompat melakukan salah satu gaya dalam lompat jauh, karena semua gaya yang ada dalam lompat jauh dilakukan sewaktu melayang di udara ini. Adapun teknik melayang di udara menurut Jess Jarver (1986:38) yaitu: 1) Yang penting pada saat melayang diudara adalah melawan rotasi putaran yang timbul akibat dari take off. 2) Sekali melompat melepaskan kakinya dari tanah, pusat dari gaya beratnya akan bergerak dalam arah parabola. 3) Tidak ada suatu apapun juga yang dapat mempengaruhi atau merubah kecepatan atau arah gerakan dari pusat gaya berat tubuh si pelompat tadi. Tetapi ia dapat mengatur tungkainya sedemikian rupa sehingga dapat menghindarkan terjadinya rotasi. 4) Gerakan dari tungkai ini terutama ditujukan untuk mendapatkan posisi mendarat yang lebih efisien. 5) Pada “the sail” kecepatan menyudut akan bertambah, tidak ada dayauntuk melawan gaya rotasi.

Perlu untuk diketahui bahwa, gerakan melayang merupakan gerakan untuk mempertunjukan gaya yang dilakukan oleh seorang pelompat, dan semua gaya dan gerakan yang dilakukan di udara bukan untuk menambah jauhnya lompatan, akan tetapi hanya untuk menjaga keseimbangan tubuh dan mempertahankan saat melayang  di  udara  selama  mungkin. Dengan demikian teknik gerakan melayang di udara tidak mempengaruhi hasil lompat, hanya untuk menjaga keseimbangan badan disaat berada di atas permukaan tanah.

Mendarat adalah gerakan terakhir dalam lompat jauh yang dilakukan aleh seorang pelompat. Di dalam lompat jauh bagian pengukuran dilakukan pada bekas jatuhnya salah satu tubuh di pasir yang terdekat dengan balok tumpuan. Adapun tehnik mendarat menurut Jess Jarver (1986:42) yaitu: 1) Tubuh bagian atas tegak kedua kaki diluruskan sebelum menyentuh pasir sejauh mungkin di depan pusat dari gaya tubuh si pelompat. Untuk mencegah jangan sampai melompat jatuh kebelakang. 2) Posisi landing yang terbaik hendaknya merupakan lanjutan dari pola melayang pusat gaya berat. Tentunya harus terletak sejauh mungkin, yaitu pada jarak horizontal terbesar antara tumit dan pusat gaya berat tubuh. 3) Tangan yang terletak di belakang tubuh sebelum landing, harus segera di lempar ke muka, begitu kaki menyentuh pasir. 4) Posisi landing yang efesien tergantung pada teknik yang digunakan sewaktu melayang, yaitu dalam mengurangi atau memperlambat munculnya rotasi sewaktu take off.

Pendaratan sebagai proses gerakan terakhir lompat jauh, sebaiknya kaki ayun dan kaki yang menolak bergabung, mendarat dengan mengeper untuk mengindari cidera. Berdasarkan uraian teknik gerakan lompat jauh di atas, maka kemampuan lompat jauh adalah suatu kesanggupan seseorang untuk melakukan gerakan lompat jauh dengan hasil lompatan sejauh-jauhnya. Hasil pengukuran dengan memperhatikan hasil lompatan secara maksimal dalam penilaian lompat jauh termasuk kedalam penilaian kuantitatif (Depdikbud, 2000:23), yaitu suatu bentuk penilaian keberhasilan seorang siswa berdasarkan hasil lompatan dengan ukuran yang telah baku seperti untuk mengukur jarak mempergunakan satuan meter.

Hasil lompatan yang sejauh-jauhnya ditentukan oleh sejauh mana pelompat mengeluarkan tenaga maksimal pada kaki tumpu saat menolak, karena dalam proses tesebut kaki tumpu harus mampu melawan gaya gravitasi bumi. Jika kaki tumpu memiliki kekuatan yang baik maka hambatan yang ditimbulkan dari gaya gravitasi tersebut dapat diminimalisir yang berdampak pada mampunya kaki tumpu melontarkan tubuh secara maksimal. Hal ini disadari oleh Yusuf Adisasmita (1985:35) yang menjelaskan bahwa “Lompat jauh adalah jenis lompatan yang sangat berat, karana banyak sekali menuntut kekuatan persendian lutut dan kaki serta pergelangan kaki yang kuat, lutut yang kuat dan tungkai yang kuat agar dapat memikul badan yang berat akibat pengaruh gaya gravitasi”.

Guru pendidikan jasmani sebelum memberikan gerakan lompat jauh kepada siswanya dalam proses pembelajaran baik dalam kegiatan intra maupun ekstrakurikuler, harus mampu membangun dan mengembangkan kekuatan otot tungkai melalui berbagai cara penyajian gerakan. Kekuatan otot tungkai sangat berperan terutama dalam melakukan proses tahapan menolak oleh kaki tumpu sehingga menciptakan lompatan sejauh-jauhnya.

 

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang,hasil analisis dalam pengajuan hipotesis penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : Pembelajaran menggunakan Metode Bermain lebih baik dari pada menggunakan pembelajaran metode komando terhadap hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas V SDN Klender 06 Pagi Duren Sawit Jakarta Timur.

Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tersebut di atas, maka penulis menyampaikan saran kepada: 1) Guru pendidikan jasmani dalam upaya meningkatkan hasil belajar lompat jaug gaya jongkok, khususnya agar tidak mengabaikan pembelajaran menggunakan metode bermain, 2) Guru pendidikan jasmani yang mendapat tugas sebagai Pembina ekstrakurikuler olahraga agar mencoba menggunakan metode bermain dalam membentuk pola gerak yang sempurna, 3) Guru pendidikan jasmani dalam menyusun program perencanaan pembelajaran pendidikan jasmani agar memperhatikan pembelajaran menggunakan metode bermain sebagai salah satu alternatif pilihan untuk peningkatan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok secara optimal. 4) Kepada mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan untuk meneliti aspek lain yang tidak terungkap di penelitian dengan menggunakan populasi dan sampel yang lebih menyeluruh tentang peningkatan hasil belajar pendidikan jasmani yang efektif dan efisien.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aip Syarifuddin Aip dan Woeryanto. 1985. Dasar-dasar Atletik dan Peraturan Perlombaan. Jakarta: CV Baru.

Aip Syarifuddin. 1998. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo.

Aip Syarifuddin. 1998. Pendidikan Jasmani Kelas 6. Jakarta: PT. Grasindo.

Anas Sudijono. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Balesteros. 1986. Pedoman Dasar Melatih Atletik. Jakarta: KONI Pusat.

Dadang Masnun. 1998. Biomekanika. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Depdikbud. 1988. Petunjuk Pelaksana Kegiatan Belajar Mengajar Atletik di SLTP. Jakarta: Depdikbud.

Depdikbud. 2000. GBPP Kurikulum Pendidikan Jasmani Suplemen. Jakarta: Depdikbud.

Harsono. 1986. Prinsip-prinsip Ilmu Kepelatihan. Jakarta: KONI Pusat.

Jess Jarver. 1986. Belajar dan Berlatih Atletik untuk Coach Atlet, Guru Olahraga dan Umum. Bandung: Pionir Jaya.

Matakupan, J. 1994/1995. Strategi belajar Mengajar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Jakarta: Dinas P & P.

Moedjiono. 1992/1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Mugi Hartini. 1999. Hubungan Educability dengan Hasil Belajar Lompat Jauh Gaya Jongkok Siswa Kelas I SLTP 16 Tangerang. Jakarta: FIK Universitas Negeri Jakarta Skripsi.

Nana Sujana. 1998. CBSA dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Jemer.

Nana Sujana. 1998. Dasar dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: CV. Sinar Baru..

Soemitro. 1989. Permainan Kecil. Jakarta: Depdikbud.

Sri Esti W D. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo.

Supandi. 1992. Strategi Belajar Mengajar Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Jakarta: Depdikbud.

Utami S. Munandar. 1987. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia.

Yusuf Adisasmita. 1985. Atletik. Jakarta: Depdikbud.

Yusuf Adisasmita. 1992. Olahraga Pilihan Atletik. Jakarta: Depdikbud.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Mustara adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Didik Agus Indratno, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

EFEKTIFITAS GAYA MENGAJAR RESIPROKAL DENGAN KOMANDO TERHADAP HASIL BELAJAR PEMBALIKAN SALTO PADA MAHASISWA MATA KULIAH RENANG I TAHUN AJARAN 2008/2009 FIK UNJ

Del Asri[1], Oman Unju Subandi dan Abdurrahim[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 8 No 2 Nopember 2009 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya mengajar mana yang lebih efektif antara gaya mengajar resiprokal dengan gaya mengajar komando terhadap hasil belajar Pembalikan Salto pada mahasiswa mata kuliah renang I Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November – Desember 2008, pertemuan dua kali dalam seminggu dilakukan sebanyak 10 kali, Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen. Populasi 80 orang yang dijadikan sampel 30 orang dengan teknik simple random sampling. Teknik analisis statistik yang digunakan adalah dengan uji – t pada a = 0,05.

Hasil Penelitian diperoleh sebagai berikut: 1) kelompok gaya mengajar resiprokal mendapatkan nilai thitung = 12,37, nilai ttabel (0,05:14) adalah 2,145, sehingga dapat disimpulkan terdapat peningkatan hasil belajar pembalikan salto pada kelompok gaya mengajar resiprokal. 2) kelompok gaya mengajar komando mendapatkan nilai thitung = 21,56, nilai ttabel (0,05:14) adalah 2.145, sehingga dapat disimpulkan terdapat peningkatan hasil belajar pembalikan salto pada kelompok gaya mengajar komando. 3) perbandingan antara kelompok gaya mengajar resiprokal dengan komando diperoleh thitung = 2,76, nilai ttabel (0,05:28) adalah 2,048, dapat disimpulkan gaya mengajar resiprokal lebih efektif dibandingkan dengan gaya mengajar komando.

Kata Kunci: Gaya Mengajar Resiprokal, Gaya Mengajar Komando, Pembalikan Salto dalam Renang, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

            Pada awal lahirnya olahraga renang banyak terilhami dari kebutuhan manusia akan situasi dan kondisi yang mereka hadapi saat itu, mereka membutuhkan berjalan jauh untuk menuju suatu tempat, berlari untuk mengejar buruan, melempar tombak untuk melawan musuh, dan berenang untuk menyebrangi sungai. Olahraga renang saat ini merupakan cabang olahraga yang diminati, dan olahraga ini dilaksanakan di semua instansi-instansi pendidikan baik dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi dengan berbagai macam kebutuhan yang berbeda, diantaranya menjaga kebugaran tubuh, bersenang-senang, sampai tujuan berprestasi.

Dalam ruang lingkup perguruan tinggi olahraga ini masuk dalam kurikulum pendidikan, khususnya Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta. Di Fakultas ini memiliki beberapa mata kuliah yang harus diambil oleh Mahasiswa, salah satunya adalah mata kuliah renang. Renang adalah salah satu mata kuliah wajib yang harus diberikan kepada mahasiswa bertujuan untuk memberi pengalaman belajar melalui keterampilan gerak agar dapat melakukan gerakan renang dengan baik. Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan mendapatkan materi kuliah renang I, II, dan III, dimana di renang I diajarkan gaya bebas dan punggung, di renang II gaya kupu – kupu dan dada, di renang III, renang pertolongan, terapan, juga lompat paku dari papan loncat indah.

Menurut Dumadi dan Kasiyodwijowinoto (1992:1) mengungkapkan bahwa mata kuliah renang memiliki dua tujuan, yaitu: 1) Tujuan Umum mata kuliah renang adalah agar para mahasiswa mengerti dan memahami pentingnya mempelajari teori dan keterampilan renang sebagai bekal untuk menjadi guru pendidikan jasmani dan kesehatan, karena renang merupakan pelajaran wajib yang harus diberikan disekolah. 2) Tujuan khusus mata kuliah renang adalah agar para mahasiswa menguasai teori dan keterampilan renang, memberi pertolongan, dan loncat indah, serta dapat menerapkannya kepada murid disekolah.

Melihat tujuan umum dan tujuan khusus diatas secara garis besar mata kuliah renang menitikberatkan kepada kemampuan melakukan gerakan renang yang baik dan benar, sehingga keterampilan tersebut dapat diaplikasikan kepada anak didik dan juga kalangan yang membutuhkannya. Karena sangat pentingnya keterampilan renang tersebut, peneliti melakukan penelitian gerakan pembalikan salto dengan tujuan agar bertambahnya keterampilan renang mahasiswa yang nantinya dapat diaplikasikan pada siswa atau peserta didiknya.

Dalam renang ada gerakan berguling kedepan seperti gerakan roll depan dalam senam, dalam renang gerakan itu dinamakan pembalikan salto, gerakan pembalikan salto diawali dengan renangan gaya bebas, pembalikan salto dilakukan apabila renangan melebihi jarak 50 meter (standar panjang kolam), jika melebihi 50 meter maka para perenang melakukan pembalikan salto tersebut. Dalam belajar pembalikan salto ini tidak menggunakan jarak 50 meter, cukup dengan jarak 5 – 10 meter mahasiswa sudah dapat melakukan pembelajaran pembalikan salto tersebut, pembalikan salto diajarkan pada mahasiswa yang sudah mendapatkan pembelajaran renang gaya bebas, karena dalam proses gerakannya diawali dengan berenang gaya bebas. Pembelajaran pembalikan salto ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diimbangi dengan pemilihan gaya mengajar yang tepat.

Gaya mengajar yang ada diantaranya gaya mengajar resiprokal dan gaya mengajar komando, diantara gaya mengajar tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Untuk itu penulis bermaksud mengadakan penelitian dua gaya mengajar ini untuk mengetahui manakah yang dalam proses belajar pembalikan salto mendekati hasil belajar yang lebih baik. Maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Efektifitas Gaya Mengajar Resiprokal dan Komando Terhadap Hasil Belajar Pembalikan Salto pada Mahasiswa Mata Kuliah Renang I Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ”.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Eksperimen. Tempat Penelitian di Rawamangun Jakarta Timur dan Tempat Pengambilan Data di Kolam Renang Bujana Tirta dan Kolam Renang GOR Rawamangun Jakarta Timur. Waktu Penelitian dimulai pada bulan April – Desember 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa mata kuliah renang I berjumlah 80 orang Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009. Sampel yang digunakan sebanyak 30 mahasiswa, pemilihan sampel menggunakan simple random sampling.

Instrumen penelitian ini adalah kemampuan melakukan gerakan pembalikan salto dengan baik dan benar, terlebih dahulu instrumen diuji validitas dengan face validity. Kisi-kisi instrumen penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi – kisi Instrumen Pembalikan Salto dalam Renang

No Unsur Gerakan Indikator Penilaian
1

2

3

Gerakan Awalan

Gerakan Saat Melakukan Putaran

Gerakan Akhir

A. Posisi Kepala

B. Posisi Badan

C. Gerakan Tangan

D. Gerakan Kaki

A. Sikap Kepala

B. Sikap Badan

C. Gerakan Tangan

D. Gerakan Kaki

A. Posisi Kepala

B. Sikap Badan

C. Gerakan Kaki

D. Gerakan Tangan

1 2 3 4

Teknik pengolahan data hasil penelitian menggunakan statistik uji t (Anas Sudjiono, 2000:289).

HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data yang digunakan sebagai data penelitian diperoleh dari tes awal dan akhir hasil Pembalikan Salto Renang. Data tes awal hasil pembalikan salto renang pada kelompok gaya mengajar resiprokal diperoleh skor terendah 9 dan skor tertinggi 21 dengan rata-rata diperoleh (MX1) = 15,60, simpangan baku (Sx1) = 3,37 dan standar kesalahan mean (SEmx1) = 0,90. Data tes akhir h  asil pembalikan salto renang pada kelompok gaya mengajar resiprokal diperoleh skor terendah 28 dan skor tertinggi 36 dengan rata – rata diperoleh (MX2) = 32,93, simpangan baku (Sx2) = 2,78 dan standar kesalahan mean (SEmx2) = 0,74.

Data tes awal hasil pembalikan salto renang pada kelompok gaya mengajar komando diperoleh skor terendah 11 dan skor tertinggi 20 dengan rata- rata diperoleh (MY1) = 14,66, simpangan baku (SY1) = 2,91 dan standar kesalahan mean (SEmy1) = 0,77. Data tes akhir hasil pembalikan salto renang pada kelompok gaya mengajar komando diperoleh skor terendah 25 dan skor tertinggi 34 dengan rata – rata diperoleh (MY2) = 29,86, simpangan baku (SY2) = 3,13 dan standar kesalahan mean (SEmy2) = 0,84.

Data tes awal hasil pembalikan salto pada kelompok gaya mengajar resiprokal dan gaya mengajar komando diperoleh standar kesalahan perbedaan antara dua mean (SEmx1-my1) = 1,18, nilai tersebut menjadikan thitung diperoleh  0,79. kemudian hasil perhitungan tersebut diujikan dengan tabel pada derajat kebebasan (dk) = (N1+N2) – 2 = (15 + 15) – 2 = 28 dan taraf a = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,048. Dengan demikian thitung lebih kecil dibandingkan ttabel (0,79 < 2,048). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka H0 diterima dan H1 ditolak atau hipotesis yang menyatakan tidak terdapat perbedaan antara hasil tes awal hasil pembalikan salto renang pada kelompok gaya mengajar Resiprokal dan Komando diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan dua kelompok yang akan diberikan perlakuan pembalikan salto renang baik yang menggunakan gaya mengajar resiprokal dan komando tersebut, masing-masing memiliki kemampuan dasar melakukan pembalikan salto yang sama.

Hasil analisis tes awal dan akhir hasil pembalikan salto renang menggunakan gaya resiprokal diperoleh nilai rata-rata deviasi (MD) = 16,33, simpangan baku (SD) = 4,95 standar kesalahan mean (SEmD) = 1,32. Hasil tersebut menghasilkan nilai thitung  = 12,37. Hasil perhitungan tersebut kemudian diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan (dk) =   n – 1 = 15 – 1 = 14 dengan taraf a = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,145. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel (12,37 > 2,145).

Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan Hipotesis nol (H0) ditolak, Hipotesis Kerja (H1) diterima, atau terjadi peningkatan hasil pembalikan salto renang secara signifikan pada kelompok gaya resiprokal.

Hasil analisis tes awal dan akhir hasil pembalikan salto renang menggunakan gaya komando diperoleh nilai rata-rata deviasi (MD) = 15,53, simpangan baku (SD) = 2,72, standar kesalahan mean (SEmD) = 0,72. Hasil tersebut menghasilkan nilai thitung = 21,56. Hasil perhitungan tersebut kemudian diujikan dengan ttabel pada derajat kebebasan  (dk) = n – 1 = 15 – 1 = 14 dengan taraf a = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,145. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel (21,56 > 2,145).

Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat disimpulkan Hipotesis nol (H0) ditolak, Hipotesis Kerja (H1) diterima, atau terjadi peningkatan hasil pembalikan salto renang secara signifikan pada kelompok gaya komando.

Data tes akhir hasil pembalikan salto pada kelompok gaya resiprokal dan gaya komando diperoleh standar kesalahan perbedaan antara dua mean  (Semx2-my2) = 1,11, nilai tersebut menjadikan thitung diperoleh = 2,76. kemudian hasil perhitungan tersebut diujikan dengan tabel pada derajat kebebasan (dk) = (N1+N2) – 2 = (15 + 15) – 2 = 28 dan taraf a = 0,05 diperoleh nilai kritis ttabel = 2,048. Dengan demikian thitung lebih besar dibandingkan ttabel (2,76 > 2,048). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka H0 ditolak atau hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan antara hasil tes akhir hasil pembalikan salto renang pada kelompok gaya Resiprokal dan Komando, terbukti.

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat dibuat keputusan bahwa gaya mengajar resiprokal lebih efektif dari komando terhadap hasil belajar pembalikan salto pada mahasiswa mata kuliah renang I semester 089 tahun ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ.

 

PEMBAHASAN

Gaya mengajar dapat menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan anak secara lebih optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mahasiswa. Namun bagaimana langkah-langkah dalam upaya tersebut harus jelas dan terarah, hal ini tentunya berkaitan dengan apa yang akan dilakukan baik sebelum dan pada saat proses belajar mengajar. Dalam hal ini seorang guru/tenaga pengajar dituntut untuk berperan bagaimana mengaktifkan siswa dalam belajar dan mengidentifikasikan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam proses belajar. Lebih jauh dikemukakan tentang gaya mengajar oleh Srijono Brotosuroyo (1994:18), bahwa gaya mengajar adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh guru dan siswa didalam peristiwa belajar yang menentukan proses dan hasil belajar dari peristiwa belajar itu sendiri.

Dalam pembelajaran dengan gaya mengajar ini siswa yang berpasangan saling memberikan umpan balik secara bergantian mengoreksi pasangannya. Dimana didalam gaya mengajar resiprokal tanggung jawab memberikan umpan balik bergeser dari guru kepada siswa atau teman sebaya. Umpan balik yang diberikan oleh teman atau hanya balikan informative saja. Gaya mengajar ini dapat dilakukan dengan kelompok kecil 2 orang dan juga lebih dari dua orang. Untuk kelompok yang kecil yang hanya dua orang disini hanya ada dua peran yaitu pelaku (a) dan pengamat (p) yang berperan sebagai pemberi umpan balik untuk kelompok yang lebih dari dua orang, beberapa peran harus dilakukan misalnya sebagai pelaku, dan juga pengamat.

Dalam gaya mengajar resiprokal umpan balik yang ada dan terjadi adalah umpan balik yang berasal dari luar atau disebut umpan balik eksternal. Umpan Balik Eksternal adalah umpan balik yang diperoleh melalui informasi yang didengar atau dilihat (Sugianto, dkk., 1992:27).

Pembelajaran dengan gaya resiprokal menggunakan lembar tugas yang menjadi penyampaian materi. Dimana yang dimaksud dengan media adalah segala benda yang dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut (Anon, 1987:137). Dengan penggunaan media kemungkinan keberhasilan belajar akan lebih baik.

Langkah-langkah pelaksanaan dalam pembelajaran dengan gaya mengajar resiprokal menurut Muska Moston (1994:55) adalah sebagai berikut:

  1. a) Sebelum Pertemuan
  • Guru harus membuat keputusan untuk menentukan gaya mengajar resiprokal dan membuat lembar kriteria / sesuai dengan jumlah siswa.
  • Menyediakan alat pembelajaran yang cukup
  1. b) Selama pertemuan
  • Guru menjelaskan peranan pelaku (p) dan pengamat (a)
  • Pelaku hanya boleh berkomunikasi dengan pengamat bukan dengan pelaku
  • Peranan pengamat untuk menyampaikan umpan balik sesuai dengan kriteria yang tersedia
  • Setelah satu kali perlakuan maka berganti peran
  1. c) Sesudah pertemuan
  • Guru menerima kriteria kembali
  • Guru mengamati penampilan pelaku
  • Siswa menerima umpan balik dari guru
  • Guru menyimpulkan mengenai penampilan siswa.

Adapun peranan guru dan siswa dalam gaya mengajar resiprokal menurut Muska Moston (1994:57) adalah sebagai berikut:

  1. a) Peranan Guru
  • Guru membuat lembar kriteria / tugas gerak yang akan dilakukan
  • Guru mengatur siswa berpasangan dengan peranan khusus untuk setiap teman
  • Guru menjelaskan peranan siswa sebagai pelaku (p) dan pengamat (a)
  • Guru menjelaskan fungsi lembar kriteria dalam kegiatan pembelajaran
  • Selama kegiatan berlangsung guru hanya berkomunikasi dengan pengamat (a) dan mengamati pelakunya
  • Menjawab pertanyaan dari pengamat
  • Guru menerima kriteria, membandingkan dengan penampilan gerakan dari pelaku
  • Guru menyimpulkan mengenai salah dan benar
  1. b) Peranan Siswa
  • Menerima Lembar Kriteria
  • Melakukan Gerakan sesuai kriteria yang ada
  • Membuat keputusan sementara selama pertemuan
  • Menerima umpan balik dari pengamat (a)
  1. c) Peranan Pengamat (a)
  • Menerima Lembar kriteria
  • Mengamati pelaku (p) dan membandingkannya dengan kriteria
  • Memberikan umpan balik yang positif
  • Berkomunikasi dengan guru jika perlu bertanya.

Setelah selesai dengan satu rangkaian/kegiatan gerakan, maka berganti peran pelaku jadi pengamat dan pengamat jadi pelaku. Hasil belajar dengan gaya mengajar ini guru harus benar-benar mengamati peranan siswa baik sebagai pelaku ataupun siswa sebagai pengamat. Selain mengamati setiap pasangan gaya mengajar ini juga dapat dilakukan dengan cara satu persatu dari yang sebagai penilai, pencatat, dan pengawas/pengamat. Untuk gaya mengajar ini memerlukan penalaran yang cukup baik dan ruangan yang cukup luas tanpa terpengaruh oleh umpan balik dari pengamat yang lain.

Dalam gaya mengajar ini terdapat saluran pengembangan dari para siswa yaitu: pengembangan fisik, sosial, emosional dan kognitif (Muska Moston, 1994:31). Hal ini dapat kita lihat dibawah ini :

KEMANDIRIAN

Minimum ←——-→ Maksimum

Pengembangan fisik      ——–X————————————–

Pengembangan sosial   ————————————X———-

Pengembangan emosi   ——————————–X————–

Pengembangan kognitif ——————–X————————–

Penjabaran dari tiap-tiap saluran pengembangan antara lain:

  1. a) Perkembangan fisik

Pada perkembangan ini posisi siswa saat berperan sebagai pelaku pada pelaksanaan pengajaran gaya resiprokal melakukan sesuai dengan lembar petunjuk pelaksanaan dengan adanya umpan balik antara pelaku dan pengamat. Sehingga saluran pengembangan berada pada titik minimum.

  1. b) Perkembangan sosial

Pada fase sosial ini terdapat pelaksanaan dari peran – peran yang harus dilakukan oleh siswa yang sedang mengikuti pengajaran dengan gaya resiprokal menuntut adanya interaksi dan suatu perubahan sosial. Perkembangan sosial siswa bergerak ke titik maksimum.

  1. c) Perkembangan emosi

Pada saat dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan sosial maka melibatkan unsur perasaan seseorang. Jadi dalam hal ini saluran pengembangan emosi mendekati titik maksimum.

  1. d) Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif ini dapat terlihat jelas saat siswa berperan sebagai pengamat, maka ia harus mampu melakukan berbagai kegiatan yang membutuhkan kognitifnya, misalnya saja dengan membandingkan kriteria serta membuat keputusan tertentu. Sehingga perkembangannya bergerak cepat dari titik minimum ke maksimum. Dengan gaya mengajar ini siswa tidak selalu bergantung kepada guru dengan adanya kebebasan bagi siswa untuk mengambil keputusan sendiri.

 

Tabel 2. Keunggulan dan Kelemahan Gaya Mengajar Resiprokal (Muska Moston, 1994:44)

Keunggulan Kelemahan
1)  Memberikan umpan balik langsung tanpa ditunda-tunda yang mempunyai pengaruh nyata terhadap proses belajar mengajar.

2)  Dapat mengembangkan cara kerja dalam tim kecil sehingga aspek sosialnya berkembang.

3)  Meningkatkan proses mengajar dengan cara mengamati secara sistematik gerakan dari teman.

1)    Menimbulkan situasi yang emosional antara pelaku dan pengamat yang disebabkan pengamat berlebihan dalam menilai hasil belajar temannya.

2)    Pelaku tidak tahan terhadap kritik pengamat sehubungan dengan hasil belajar yang pernah dilakukan sebelumnya sehingga tidak mau menerima umpan balik dari temannya.

3)    Sering terjadi pasangan ini justru memantapkan perilaku yang salah disebabkan mereka salah mendefinisikan gerakan yang ada dilembar kriteria.

 

Sumber : Teaching Physichal Education, (Jakarta : PSPO IKIP, 1994)

                 h.44

Pembelajaran dengan gaya komando ini menerapkan teori belajar stimulus respon yaitu stimulus (perangsang) akan menghasilkan respon (reaksi dari pelaku), yang mana apabila para mahasiswa melakukan serangkaian stimulus respon yang telah direncanakan. Stimulus itu direncanakan dan diberikan sepenuhnya oleh guru/tenaga pengajar sendiri dan para mahasiswa mengikutinya. Pendekatan gaya mengajar ini adalah guru mendemonstrasikan dan memberikan perintah kemudian siswa mengikuti, mematuhi, semua perintah serta petunjuk yang diberikan oleh guru.

Pendekatan gaya mengajar komando yang dikemukakan oleh J. Matakupan (1992:9) adalah pendekatan dalam gaya mengajar komando sepenuhnya didominasi oleh guru yang membuat keputusan untuk setiap tahap proses belajar mengajar. Kebebasan siswa sangat terbatas hanya kepada mau atau tidaknya mengikuti atau mematuhi perintah guru.

Sasaran yang akan dicapai dari gaya mengajar ini adalah: a) respon yang secepatnya, b) kepastian dan ketepatan dari respon, c) adanya keseragaman gerak, d) pengawasan terhadap penampilan, e) pengawasan terhadap pemain, f) tingkat keamanannya, g) kesiapan dari standart penilaian yang akan dipergunakan, h) tersedianya alternatif dan pilihan-pilihan, i) efisien dalam penggunaan waktu, j) kelanggengan dari nilai-nilai serta tradisi budaya yang telah disepakati (Muska Moston, 1994:38).

Dalam penyampaian materi diberikan secara bagian perbagian dari urutan gerak yang sederhana sampai urutan gerak yang sulit. Oleh karena itu segala hal yang berhubungan dengan proses belajar mengajar harus selalu dikaitkan dengan guru.

  1. Matakupan (1992:10) mengemukakan keunggulan dari pembelajaran dengan gaya mengajar komando ini antara lain: a) sangat efektif bila ingin membina keseragaman gerakan, b) sangat efektif bila ingin membina keserentakkan gerakan, c) tujuan pengajaran bisa efektif dan efisien, d) tidak terlalu menuntut pengetahuan yang banyak dari bahan ajarannya, e) pengontrolan laju informasi sepenuhnya dikuasai oleh guru.

Bila melihat pendapat di atas, maka banyak terdapat manfaat baik buat guru ataupun siswa tersebut, sehingga kita dapat menjadikan sebuah tolak ukur terhadap siswa ataupun guru tersebut. Dalam gaya komando juga memiliki anatomi dalam gaya mengajar (Muska Moston, 1994:26). Adapun anatomi dari gaya mengajar komando, seperti dibawah ini:

Tabel 3. Anatomi Gaya Mengajar Komando (J. Matakupan, 1992:12)

Proses Belajar Nominasi
Pra pertemuan

Selama pertemuan

Pasca pertemuan

Guru

Guru

Guru

Anatomi dari gaya mengajar komando ini bahwa menggambarkan peranan guru pada tiap tahapan, dalam membuat seluruh keputusan yang diperlukan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang dilakukan. Sehingga para siswa harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh guru. Jadi, pembelajaran dengan gaya komando adalah gaya mengajar yang pendekatannya didominasi oleh guru dalam setiap keputusan melakukan suatu gerakan dari tiap-tiap urutan gerakan. Sedangkan siswa hanya mentaati dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pengajar.

Muska Moston (1994:41) menyatakan langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran dengan gaya mengajar komando ini adalah sebagai berikut:

1)  Sebelum Pertemuan (pre impact)

Semua keputusan dibuat oleh guru yang terdiri dari: a) pokok bahasan tentang pembalikan salto, b) tugas, c) organisasi

2)  Selama pertemuan (impact)

Selama pertemuan berlangsung guru terlibat dalam membuat keputusan- keputusan yang diambil dengan perintah yang tepat. Guru dan siswa mengalami langsung stimulus serta respon secara serentak. Adapun keputusan-keputusannya mencakup: a) penjelasan mengenai peranan guru dan siswa, b) penyampaian pokok bahasan, c) penjelasan prosedur, organisasi tentang pembagian regu, kelompok, penempatan dalam wilayah kegiatan dan perintah yang harus diikuti, urutan kegiatannya meliputi peragaan, penjelasan, pelaksanaan dan penilaian.

3)  Setelah Pertemuan (post impact)

Pada saat proses stimulus respon sedang berlangsung, guru mengamati penampilan siswa serta memberikan umpan balik pada mereka lalu memeriksa kembali pada tahapan ini dan mengamati gerakan tersebut secara lisan baik berupa pernyataan perbaikan, maupun pernyataan netral untuk mencapai tujuan.

Menurut Supandi (1986:33) kelemahan yang terdapat dalam gaya mengajar komando adalah: 1) tidak peka terhadap keperluan dan perbedaan individu, 2) menghambat perkembangan kreatifitas, 3) tidak membangkitkan gairah untuk berlatih atau belajar diluar jam  pelajaran.

Dalam gaya mengajar komando ini terdapat saluran pengembangan dari para siswa yaitu: perkembangan fisik, sosial, emosional, kognitif (Muska Moston, 1994:15). Saluran pengembangannya dapat kita lihat di bawah ini :

KEMANDIRIAN

Minimum ←——-→ Maksimum

Pengembangan fisik      ——–X————————————–

Pengembangan sosial   ——–X—————————————

Pengembangan emosi   ——–X—————————————

Pengembangan kognitif ——–X—————————————

Penjelasan lebih lanjut dari tiap perkembangan sebagai berikut:

  1. a) Perkembangan Fisik

Pada saat guru berperan sebagai seseorang yang harus dipatuhi, maka posisi kemandirian siswa ada pada titik minimum. Siswa tidak diberi wewenang untuk membuat keputusan-keputusan sendiri mengenai pengembangan fisiknya, gurulah yang memutuskannya, akan tetapi terjadi keseragaman gerak.

  1. b) Perkembangan Sosial

Pengembangan sosial membutuhkan adanya interaksi dan perubahan sosial. Pada pengajaran dengan gaya ini semua keputusan dibuat oleh guru maka siswa hanya punya sedikit kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial. Oleh karena itu pengembangan sosialnya berada pada posisi minimum, tetapi hal ini dapat membuat para siswa dalam pengawasan terhadap penampilan serta dalam hal tingkat keamanan.

  1. c) Perkembangan emosi

Perkembangan emosi berkaitan dengan tingkat kemantapan emosi siswa dalam konteks pembelajaran hal ini melibatkan konsep fisik siswa serta kemampuan mereka menerima pada saat melakukan tugas – tugasnya dalam gaya mengajar ini ada beberapa siswa yang tidak senang menerima keputusan hal ini dikarenakan selalu terfokus pada aba – aba dan harus selalu mengikuti perintah, sehingga keinginan siswa untuk melakukan gerakan lain tidak diperkenankan. Dalam hal ini maka saluran pengembangan sosialnya berada pada titik minimum.

  1. d) Perkembangan kognitif

Faktor kognitif yang sangat diperlukan adalah memori atau ingatannya. Dalam hal ini siswa tidak diberikan waktu untuk berfikir dan mengembangkan pemikirannya karena adanya aba – aba tersebut. Maka pada perkembangan ini siswa ditempatkan pada titik minimum.

Tabel 4. Keunggulan dan Kelemahan Gaya Mengajar Komando (Muska Moston, 1994:49)

Keunggulan Kelemahan
1)  Sangat efektif bila ingin membina keseragaman gerakan

2)  Sangat efektif bila ingin membina keserentakan gerakan

3)  Gaya Mengajar ini tidak menuntut pengetahuan yang banyak dari bahan ajarannya

4)  Pengontrolan informasi dikuasai oleh guru

1)   Siswa sering kehilangan kemandiriannya

2)   Sangat bergantung pada guru

3)   Menurunkan daya kreasi siswa

4)   Tidak adanya motivasi untuk belajar

Menurut Dumadi dan Kasiyo (1992:63) renang merupakan gaya yang lengkap di samping ketangkasan renangnya itu sendiri, perlu dilengkapi dengan start (memulai/ berangkat), turn (pembalikan) dan finish (penyelesaian). Dalam olahraga renang terdapat 4 (empat) gaya yang sering digunakan yaitu: 1) gaya bebas, 2) gaya dada, 3) gaya punggung, 4) gaya kupu-kupu (Dumadi dan Kasiyo, 1992:63).

Dalam penelitian kali ini menggunakan renang gaya bebas. Menurut David Haller (1982:32) mengemukakan bahwa Gaya yang paling cepat dari segala jenis gaya adalah gaya bebas. Bahasa asing dari gaya bebas adalah “crawl”, tetapi dengan demikian harus dibedakan antara front crawl dan back crawl, sedangkan dalam bahasa Indonesia kedua gaya itu dikenal dengan gaya bebas dan gaya punggung atau backstroke (David Haller, 1982:32).

Pada penelitian ini peneliti memfokuskan kepada pembalikan salto dalam gaya bebas. David Haller (1982:83) mengungkapkan bahwa pembalikan/ putaran gaya bebas setiap bagian dari tubuh boleh menyentuh dinding, dan tak perlu digunakan tangan, ini menjadikan putaran ini putaran yang tercepat dari semua jenis putaran karena hampir semua perenang akan mempergunakan kakinya untuk menyentuh sisi kolam. Putaran ini yang dikenal dengan sebutan “tumble turn”. Putaran tumble ini menggunakan kaki perenang untuk menyentuh dinding, sehingga dengan demikian putaran sudah dapat dilakukan sebelum perenang mencapai dinding itu sendiri.

Menurut Dadeng Kurnia (1988:55) berpendapat bahwa dalam renang gaya bebas ada 3 (tiga) model pembalikan salto, diantaranya adalah: 1) langsung salto, 2) ambil nafas dahulu, selanjutnya salto, 3) salto dengan sikap gaya punggung (Kiefer Method). Dumadi dan Kasiyo (1992:63) mengatakan dalam bukunya bahwa pembalikan dalam renang gaya bebas ada 3 (tiga) macam yaitu: 1) Pembalikan biasa (General Turn), 2) Pembalikan dengan salto kedepan (Kiphuth Method), 3) Pembalikan dengan salto kebelakang (kiefer Method).

Sedangkan pendapat lain dari Sumarno (1993:105-106) mengatakan bahwa peraturan mengenai pembalikan gaya bebas adalah sebagian dari badan menyentuh dinding pembalikan. Tekhnik pembalikan gaya bebas yang terakhir adalah kaki yang menyentuh dinding pembalikan (bukan tangan) yang sekaligus dipakai untuk mendorong badan dalam meluncur. Pembalikan gaya bebas dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: 1) pembalikan biasa, 2) pembalikan dengan salto.

Dalam penelitian kali ini memfokuskan pada pembalikan dengan salto dalam renang gaya bebas, adapun tahapan dalam melakukan gerakan pembalikan salto menurut Sumarno (1993:105-106) adalah: 1) Pada saat salah satu tangan berada lurus didepan, salah satu tangan lagi akan  melakukan dorongan. 2) Serentak tangan kanan melakukan tarikan maka tangan kiri juga melakukan dorongan, saat itu kaki berada lurus di belakang. 3) Saat tangan kiri berada disamping paha, kedua belah kaki lurus dibelakang, tangan siap melakukan dorongan. 4) Tundukan kepala, serentak dengan dorongan tangan kanan, kemudian lutut ditekuk untuk mendapatkan dorongan yang kuat. 5) Ayunkan kepala dan kedua tangan disamping paha serentak dengan pukulan  kedua kaki. 6­) Dengan ayunan kepala, sikap tubuh yang membungkuk, kedua belah lengan yang berada disamping paha kemudian dalam sikap ini melakukan tarikan serentak, sehingga terjadi perputaran. 7) Badan berputar dalam bidang vertical, dengan sikap badan yang bulat. 8) Akhir dari tarikan kedua belah lengan, kaki ditekuk pada kedua belah lutut secara berdampingan. 9) Setelah kedua belah telapak kaki menyentuh dinding kolam dalam sikap menyampingnya, kedua belah lengan diluruskan kedepan. 10) Serentak dengan menolakan kedua kaki, tangan kedua-duanya diluruskan didepan. 11) Sikap tubuh setelah melakukan tolakan dari dinding kolam. 12) Setelah tubuh meluncur lurus kedepan, dimana telapak kaki telah lepas landas, lakukanlah gerakan kaki dengan naik turun sesuai dengan ketentuan dalam gaya bebas, pandangan tetap lurus kedepan dimana kedua belah lengan di samping telinga. 13) Setibanya diatas permukaan air, mulailah dengan gerakan tangan sebagaimana mestinya.

 

 

 

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1) Gaya mengajar komando efektif meningkatkan hasil belajar pembalikan salto pada mahasiswa mata kuliah renang I Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ. 2) Gaya mengajar resiprokal efektif meningkatkan hasil belajar pembalikan salto pada mahasiswa mata kuliah renang I Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ. 3) Gaya mengajar resiprokal lebih efektif dari pada gaya mengajar komando meningkatkan hasil belajar pembalikan salto pada mahasiswa mata kuliah renang I Semester 089 Tahun Ajaran 2008 – 2009 FIK UNJ.

Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini penulis menyarankan: 1) Banyak faktor-faktor penting yang menunjang pembelajaran diantaranya gaya mengajar. Oleh karena itu, sebaiknya para tenaga pendidik lebih jeli dalam memilih gaya mengajar. 2) Para tenaga pendidik lebih mengerti dalam memberikan tahapan pembelajaran dan gaya mengajar yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik tersebut. 3) Dengan adanya penelitian yang peneliti lakukan diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan dalam segi pemilihan gaya mengajar dan juga tahapan pembelajaran.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anon. 1987. Metodologi Pengajaran. Jakarta: IKIP Jakarta.

Anas Sujiono. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Dumadi dan Kasiyo Dwijowinoto. 1992. Renang: Materi Metode Penilaian.       Jakarta: Depdikbud.

David Haller. 1982. Belajar Berenang. Bandung: CV Pionir Jaya.

Dadeng Kurnia. 1988. Pedoman Melatih Renang Prestasi. Jakarta: Prakarsa Belia.

  1. Matakupan. 1992. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Pengajaran DKI Jakarta.

Moston, Muska, Alih Bahasa oleh A.M Bandi Utama dkk. 1994. Teaching Physichal  Education. Jakarta: Program Pascasarjana IKIP Jakarta.

Sumarno, dkk. 1993. Olahraga Pilihan. Jakarta: Depdikbud Proyek Penataran Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan SD setara D-II.

Sugianto, Moch Moeslim, Dadang Masnun. 1992. Belajar Gerak. Jakarta: KONI Pusat.

Srijono Brotosuroyo. 1994. Perencanaan Pengajaran Pendidikan Jasmani dan          Kesehatan. Jakarta: Depdikbud.

Supandi et.al. 1986. Pengelolaan Interaksi Belajar Mengajar Intrakurikuler dan            Kokurikuler. Jakarta: Depdikbud, Universitas Terbuka.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Oman Unju Subandi, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Abdurrahim, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

KONTRIBUSI FAKTOR ARTISTIC, EXECUTION DAN DIFFICULTY AEROBIC GYMNASTICS TERHADAP PRESTASI ATLET PADA PON XVII TAHUN 2008 KALIMANTAN TIMUR

Del Asri, Fahmy Fachrezzy[1] dan Arif Mufid[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 8 No 1 Mei 2009 ISSN1693-0517

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty aerobic gymnastics terhadap prestasi atau nilai akhir yang dicapai atlet aerobic gymnastics pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur.

Data merupakan hasil perlombaan aerobic gymnastics PON XVII Tahun 2008 di GOR II Senam Palaran Samarinda, Kalimantan Timur pada tanggal 15-16 Juli 2008. Penelitian ini menggunakan metode ex post facto dengan teknik analisis dokumenter dari data sekunder hasil penilaian Dewan Juri perlombaan aerobic gymnastics pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur.

Populasi penelitian ini adalah seluruh atlet peserta lomba aerobic gymnastics pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur sebanyak 46 atlet dari 7 kategori lomba yang terdiri atas 32 atlet putera dan 14 atlet puteri. Seluruh anggota populasi diambil sebagai sampel, teknik ini dikenal dengan sensus.

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui prosentase kontribusi  faktor artistic adalah 44,43%, execution 43,43%, dan difficulty 12,97%. Maka faktor artistic, execution dan difficulty aerobic gymnastics memberikan kontribusi yang signifikan terhadap prestasi atau nilai akhir yang dicapai oleh atlet pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur.

Kata Kunci: Faktor Artistic, Execution, Difficulty, Prestasi Atlet

PENDAHULUAN

Senam erat hubungannya dengan kesempurnaan dalam melakukan setiap gerakan. Selain itu aspek yang dikembangkan bukan hanya dari segi fisik saja, tetapi segi mental pun sangat diperhatikan. Sesuai dengan pernyataan Aip Syarifuddin (1992:4) yaitu:

Senam adalah suatu bentuk gerakan-gerakan tubuh yang direntangkan disusun secara teratur dengan tujuan untuk memperbaiki sikap dan bentuk badan, membina dan meningkatkan kesegaran jasmani serta membentuk dan mengembangkan keterampilan serta kepribadian yang selaras.

Senam aerobic gymnastics sudah tiga kali dilombakan pada ajang Pekan Olahraga Nasional. Pertama, pada PON XV Tahun 2000 di Surabaya dilombakan empat kategori yaitu perorangan putera, perorangan puteri, berpasangan campuran, dan trio, begitupun pada PON XVI 2004 di Palembang yang memperlombakan empat kategori, dan yang baru-baru ini dilaksanakan yaitu pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur ditambahkan menjadi tujuh kategori yaitu perorangan putera dan puteri, berpasangan putera, puteri, dan campuran, trio, serta kuartet.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian prestasi optimal atlet dilihat dari aspek pesenam yaitu faktor fisik, teknik, mental, dan anatomi tubuh. Faktor-faktor ini saling terkait dan tidak terpisahkan satu sama lain. Dan faktor fisiklah yang menjadi dasar dalam melatih dan mengembangkan keterampilan atau teknik para atlet sehingga benar-benar siap menghadapi setiap perlombaan. Sama halnya dengan faktor fisik, faktor teknik pun sangatlah penting, terutama berhubungan dengan kesempurnaan penampilan di lapangan. Semakin sempurna teknik yang ditampilkan, maka semakin sempurna pula nilai yang diperoleh.

Secara garis besar terdapat tiga faktor penilaian dalam aerobic gymnastics yaitu faktor artistic, execution, dan difficulty. Ketiga aspek inilah yang dinilai dalam setiap perlombaan dan saling berhubungan satu sama lain, tetapi mempunyai komponen dan penilaian yang berbeda. Masing-masing memilki kontribusi tersendiri terhadap gerakan yang ditampilkan, sehingga berpengaruh pada pencapaian prestasi dari atlet yang menampilkannya. Faktor artistic berhubungan dengan aspek keindahan gerak, keserasian antara gerak dan musik pengiring, penguasaan lapangan, showmanship, dan partnership. Faktor difficulty berhubungan dengan tingkat kesulitan yang ditampilkan, dari mulai yang mudah sampai tingkat kesulitan tinggi dan memiliki nilai antara 0,1 – 1,0. Serta faktor execution yang berhubungan dengan kesempurnaan dalam menampilkan setiap gerakan.

Ada suatu kecenderungan yang terjadi pada sebuah pembuatan koreografi aerobic gymnastics, yaitu terlalu memperhatikan salah satu faktor saja, misalkan hanya pada faktor difficulty (tingkat kesulitan), sedangkan faktor artistic dan execution dikesampingkan. Hal itu biasanya akan menimbulkan stress yang berlebihan pada atlet, karena dibebani dengan tingkat kesulitan yang tinggi sehingga berdampak negatif pada atlet tersebut. Seorang atlet yang menampilkan difficulty dengan nilai tinggi belum tentu mempunyai nilai akhir lebih tinggi daripada atlet yang menampilkan difficulty dengan nilai rendah. Dengan tingkat kesulitan yang tinggi, apabila melakukan banyak kesalahan maka berpengaruh juga terhadap tingkat pemotongan atau execution yang tinggi pula. Sedangkan dengan tingkat kesulitan rendah, tetapi dapat dilakukan secara sempurna dan rapih, maka akan sedikit mendapatkan pemotongan nilai. Ingat, masih ada dua faktor lain yang juga sangat berperan. Kuncinya adalah atlet yang menampilkan difficulty dengan nilai rendah dapat menampilkan faktor artistic dan execution yang sempurna, sehingga bisa mendapatkan nilai akhir atau prestasi lebih tinggi. Banyak kasus seperti itu terjadi dalam setiap perlombaan senam aerobic gymnastics. Tetapi tetap disarankan agar para atlet mampu menampilkan koreografi yang unik, menarik dengan tingkat execution dan faktor kesulitan (difficulty) yang tinggi agar meraih nilai optimal sehingga peluang menjadi yang terbaik tetap terbuka lebar.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengamati kontribusi faktor-faktor dalam penilaian senam aerobic gymnastics yang merupakan komponen utama dalam pencapaian prestasi setinggi-tingginya bagi atlet pada perlombaan aerobic gymnastics pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur.

 

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kontribusi: 1) faktor artistic aerobic gymnastics terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur, 2) faktor execution aerobic gymnastics terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur, 3) faktor difficulty aerobic gymnastics terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan di sekretariat PB. PERSANI, Gedung latihan senam Gelora Bung Karno Jl. Pintu I, Stadion  Tennis Senayan Jakarta pada Tanggal 14 Januari 2009. Perlombaan aerobic gymnastics PON XVII/2008 dilaksanakan pada tanggal 15-16 Juli Tahun 2008 di GOR II Senam Palaran Samarinda, Kalimantan Timur.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode ex post facto dengan teknik analisis dokumenter. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh atlet senam aerobic gymnastics peserta PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur berjumlah 46 atlet (32 putera dan 14 puteri) dari 10 provinsi. Semua unit populasi diambil sebagai sampel penelitian, teknik ini dikenal dengan sensus. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistika deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Perlombaan aerobic gymnastics pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur diikuti oleh 46 atlet (32 putera dan 14 puteri) dari 10 provinsi. Data diolah untuk mencari seberapa besar prosentase kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty elements aerobic gymnastics terhadap prestasi atlet. Berikut adalah deskripsi data dari setiap kategori lomba:

Kategori Perorangan

Pada kategori perorangan, terdiri atas perorangan putera dan puteri yang berasal dari 7 (tujuh) daerah dan berhasil lolos menjadi finalis. Untuk perorangan putera diikuti oleh 6 (enam) atlet dan puteri 5 (lima) atlet. Pada perorangan putera ini daerah yang menjadi peserta adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Berikut adalah hasil penghitungan datanya:

Tabel 1. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty  terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur Kategori Perorangan Putera

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 DKI 8,700 8,400 3,350 20,450 42,54% 41,70% 16,38%
2 KALTIM 8,150 8,000 2,500 18,650 43,69% 42,89% 13,40%
3 SULSEL 7,900 7,900 2,550 18,350 43,05% 43,05% 13,89%
4 SUMBAR 8,150 8,000 2,150 18,300 44,53% 43,71% 11,75%
5 JAMBI 7,750 7,300 2,800 17,850 43,41% 40,89% 15,68%
6 RIAU 7,850 7,850 1,200 16,300 48,15% 48,15% 07,36%
Rata-rata 8,083 7,908 2,245 18,316 44,23% 43,40% 13,07%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 8,700, dan nilai terendah 7,750 dengan rata-rata 8,083. Untuk execution nilai tertinggi 8,400, dan terendah 7,300 dengan rata-rata 7,908. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 3,350, dan terendah 1,200 dengan rata-rata 2,245. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 20,450 dan terendah 16,300 dengan rata-rata 18,316.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 48,15 % dan terendah 42,54% dengan rata-rata 44,23%. Execution tertinggi adalah 48,15%, terendah 40,89% dengan rata-rata 43,50%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 16,38%, terendah 7,36% dengan rata-rata 13,07 %.

Kategori perorangan puteri diikuti oleh lima kontingen yaitu DKI, Riau, Kaltim, Sulsel, dan DIY. Berikut hasil penghitungan datanya:

 

Tabel 2. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur Kategori Perorangan Puteri

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 DKI 8,300 8,050 3,200 19,550 42,45% 41,17% 16,36%
2 RIAU 7,600 7,750 2,650 18,000 42,22% 43,05% 14,27%
3 KALTIM 7,500 7,350 1,850 16,700 44,91% 44,01% 11,07%
4 SULSEL 7,200 7,150 2,050 16,400 43,90% 43,59% 12,05%
5 DIY 7,250 6,850 1,700 15,800 45,88% 43,35% 10,75%
Rata-rata 7,570 7,430 2,290 17,290 43,87% 43,03% 12,90%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 8,300, dan nilai terendah 7,200 dengan rata-rata 7,570. Untuk execution nilai tertinggi 8,050, dan terendah 6,900 dengan rata-rata 7,430. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 3,200, dan terendah 1,700 dengan rata-rata 2,290. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 19,550 dan terendah 15,800 dengan rata-rata 17,290.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 45,88 % dan terendah 42,22% dengan rata-rata 43,87%. Execution tertinggi adalah 44,01%, terendah 41,17% dengan rata-rata 43,03%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 16,36%, terendah 10,75% dengan rata-rata 12,90%.

Kategori Berpasangan

Untuk kategori berpasangan pada PON XVII Tahun 2008 diperlombakan 3 (tiga) kategori yaitu berpasangan putera, puteri, dan campuran yang diikuti oleh tujuh provinsi yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, Jambi, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Banten. Berikut adalah hasil penghitungan datanya:

Tabel 3. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur kategori  Berpasangan Putera

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 DKI 8,150 8,050 3,500 19,700 41,37% 40,86% 17,76%
2 KALTIM 7,900 8,000 3,050 18,950 41,68% 42,21% 16,09%
3 SULSEL 7,650 7,800 2,250 17,700 43,22% 44,06% 12,71%
4 JABAR 7,750 7,650 2,350 17,050 45,45% 44,86% 13,78%
5 RIAU 7,600 7,350 2,050 17,000 45,00% 43,23% 12,05%
Rata-rata 7,810 7,770 2,640 18,080 43,34% 43,04% 14,48%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 8,150, dan nilai terendah 7,600 dengan rata-rata 7,810. Untuk execution nilai tertinggi 8,050, dan terendah 7,350 dengan rata-rata 7,770. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 3,500, dan terendah 2,050 dengan rata-rata 2,640. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 19,700 dan terendah 17,000 dengan rata-rata 18,080.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 45,45 % dan terendah 41,37% dengan rata-rata 43,34%. Execution tertinggi adalah 44,86%, terendah 40,86% dengan rata-rata 43,04%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 17,76%, terendah 12,05% dengan rata-rata 14,48%.

Kategori berpasangan puteri diikuti oleh 4 (empat) peserta dari empat provinsi yaitu DKI Jakarta, Kaltim, Riau, dan Sumbar.

 

 

 

 

 

Tabel 4. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur Kategori Berpasangan Puteri

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 DKI 7,900 7,500 2,800 18,200 43,40% 41,20% 15,38%
2 KALTIM 7,500 7,300 2,450 17,250 43,47% 42,31% 14,20%
3 RIAU 7,000 6,700 1,200 14,900 46,97% 44,96% 08,05%
4 SUMBAR 6,900 6,800 0,800 14,000 49,28% 48,57% 05,71%
Rata-rata 7,325 7,075 1,812 16,087 45,78% 44,26% 10,83%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 7,900, dan nilai terendah 6,900 dengan rata-rata 7,325. Untuk execution nilai tertinggi 7,500, dan terendah 6,800 dengan rata-rata 7,075. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 2,800, dan terendah 0,800 dengan rata-rata 1,812. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 18,200 dan terendah 14,000 dengan rata-rata 16,087.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 49,28% dan terendah 43,40% dengan rata-rata 45,78%. Execution tertinggi adalah 48,57%, terendah 41,20% dengan rata-rata 44,26%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 15,38%, terendah 5,71% dengan rata-rata 10,83%.

Kategori berpasangan campuran diikuti oleh 5 (lima) peserta dari lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Kaltim, Riau, DIY, dan Banten.

 

Tabel 5. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur kategori mixed pairs

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 DKI 8,350 8,150 3,350 19,850 42,06% 41,05% 16,87%
2 KALTIM 7,800 7,850 2,400 18,050 43,21% 43,49% 13,29%
3 RIAU 7,650 7,350 2,200 17,200 44,47% 42,73% 12,79%
4 DIY 7,150 7,000 1,950 16,100 44,40% 43,47% 12,11%
5 BANTEN 7,000 6,950 0,800 14,750 47,45% 47,11% 05,42%
Rata-rata 7,590 7,460 2,140 17,190 44,32% 43,57% 12,70%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 8,350, dan nilai terendah 7,000 dengan rata-rata 7,590. Untuk execution nilai tertinggi 8,150, dan terendah 6,950 dengan rata-rata 7,460. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 3,350, dan terendah 0,800 dengan rata-rata 2,140. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 19,850 dan terendah 14,750 dengan rata-rata 17,190.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 47,45 % dan terendah 42,06% dengan rata-rata 44,32%. Execution tertinggi adalah 47,11%, terendah 41,05% dengan rata-rata 43,57%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 16,87%, terendah 5,42% dengan rata-rata 12,70%.

 

Kategori Trio

Kategori Trio diikuti oleh empat peserta dari empat provinsi yaitu, DKI Jakarta, Kaltim, Jambi, dan Jabar.

 

Tabel 6. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur kategori trio

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 JAKARTA 8,250 8,000 3,400 19,650 41,98% 40,71% 17,30%
2 KALTIM 7,650 7,400 2,750 17,800 42,97% 41,57% 15,44%
3 JAMBI 7,400 7,150 2,500 17,050 43,40% 41,93% 14,66%
4 JABAR 7,500 6,950 1,550 15,500 48,38% 44,83% 10,00%
Rata-rata 7,700 7,375 2,550 17,500 44,18% 42,26% 14,28%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 8,250, dan nilai terendah 7,400 dengan rata-rata 7,700. Untuk execution nilai tertinggi 8,000, dan terendah 6,950 dengan rata-rata 7,375. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 3,400, dan terendah 1,550 dengan rata-rata 2,550. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 19,650 dan terendah 15,500 dengan rata-rata 17,500.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 48,38 % dan terendah 41,98% dengan rata-rata 44,18%. Execution tertinggi adalah 47,11%, terendah 41,05% dengan rata-rata 42,26%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 16,87%, terendah 15,42% dengan rata-rata 14,28%.

 

Kategori Kuartet

Kuartet merupakan salah satu kategori baru dalam PON XVII Tahun 2008. Kategori ini diikuti oleh empat peserta dari empat provinsi yaitu Kalimantan Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sumatera Barat.

 

Tabel 7. Prosentase kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur kategori kuartet

Rank Kontingen Nilai Nilai

Akhir

Kontribusi
Artistic Execution Difficulty Artistic Execution Difficulty
1 KALTIM 7,850 7,500 2,750 18,100 43,37% 41,43% 15,19%
2 JATENG 7,600 7,400 2,100 17,100 44,44% 43,27% 12,28%
3 DKI 7,600 7,200 1,900 16,700 45,50% 43,11% 11,37%
4 SUMBAR 7,100 7,200 1,400 14,200 50,00% 50,70% 09,85%
Rata-rata 7,537 7,325 2,037 16,525 45,83% 44,63% 12,17%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tertinggi untuk  faktor artistic adalah 7,850, dan nilai terendah 7,100 dengan rata-rata 7,537. Untuk execution nilai tertinggi 7,500, dan terendah 7,200 dengan rata-rata 7,325. Sedangkan difficulty nilai tertinggi 2,750, dan terendah 1,400 dengan rata-rata 2,037. Sementara untuk skor total, nilai tertinggi 18,100 dan terendah 14,200 dengan rata-rata 16,525.

Berdasarkan kontribusinya maka untuk faktor artistic yang paling tinggi adalah 50,00% dan terendah 43,37% dengan rata-rata 45,83%. Execution tertinggi adalah 50,70%, terendah 41,43% dengan rata-rata 44,63%. Untuk difficulty yang tertinggi adalah 15,19%, terendah 9,85% dengan rata-rata 12,17%.

Berikut adalah rata-rata kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty pada seluruh kategori perlombaan:

 

Tabel 8. Rata-rata kontribusi faktor artistic, execution dan difficulty terhadap prestasi atlet pada PON XVII Tahun 2008 Kalimantan Timur

No Kategori Rata-Rata Kontribusi
Artistic Execution Difficulty
Nilai % Nilai % Nilai %
1 Perorangan Putera 8,083 44,23 7,908 43,40 3,350 13,07
2 Perorangan Puteri 7,570 43,87 7,430 43,03 2,290 12,90
3 Berpasangan Putera 7,810 43,34 7,770 43,04 2,640 14,48
4 Berpasangan Puteri 7,325 45,78 7,705 44,26 1,812 10,83
5 Berpasangan Campuran 7,590 44,32 7,460 43,57 2,140 12,70
6 Trio 7,700 44,18 7,375 42,26 2,550 14,28
7 Kuartet 7,537 45,83 7,325 44,63 2,037 12,17
Rata-rata 7,684 44,33 7,587 43,43 2,456 12,97

Secara umum dapat diketahui berdasarkan tabel di atas bahwa atlet yang mendapatkan peringkat semakin tinggi maka kontribusi faktor artistic dan execution-nya semakin rendah, artinya juara I memiliki kontribusi faktor artistic dan execution lebih rendah daripada juara II. Sama halnya antara juara II dan III, begitu seterusnya sampai pada peringkat terakhir. Hal tersebut berbanding terbalik pada faktor difficulty, dimana semakin tinggi peringkatnya maka semakin besar pula kontribusi difficulty-nya terhadap nilai akhir yang diperoleh. Terdapat beberapa kejadian khusus mengenai hal di atas yaitu pada perorangan putera, dimana peringkat ke-V  memiliki kontribusi faktor difficulty lebih besar daripada peringkat-peringkat di atasnya tetapi atlet  tersebut tidak mendapatkan juara karena ternyata kontribusi faktor artistic dan execution yang didapatkan lebih kecil.

Apabila dilihat dari nilai yang didapatkan, maka dapat diketahui bahwa juara I, II, dan III memiliki nilai faktor artistic, execution, dan difficulty yang lebih unggul daripada peringkat-peringkat di bawahnya. Dalam hal ini juga terdapat beberapa kejadian khusus, yaitu pada kategori perorangan puteri dimana nilai difficulty dari juara III lebih kecil dari peringkat IV, tetapi karena nilai artistic dan execution yang didapatkan juara III lebih besar maka atlet tersebutlah yang akhirnya mendapatkan juara III.

Kemudian apabila dilihat secara bersamaan dari nilai dan kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty, maka dapat diketahui bahwa faktor difficulty menjadi indikator atlet mendapatkan nilai akhir yang tinggi dan menjadi juara. Dengan kata lain, secara umum juara I, II, dan III mempunyai nilai dan kontribusi faktor difficulty lebih besar dibandingkan dengan peringkat-peringkat di bawahnya. Hal itu menunjukkan bahwa faktor difficulty mempunyai peran sangat penting dalam pencapaian prestasi atlet disamping faktor artistic dan execution.

PEMBAHASAN

Secara harfiah kata aerobik berarti dengan oksigen atau mengandung oksigen. Jadi dapat diartikan bahwa senam aerobik adalah olahraga yang dalam pelaksanaannya menggunakan udara yaitu oksigen untuk menghasilkan energi (http://www.fig-gymnastics.com/aerogym/rules diakses 19 Oktober 2008). Latihan senam aerobik biasa dilakukan selama kurang lebih 20 – 45 menit dengan tujuan untuk mencapai suatu tingkat latihan yang ditentukan, dengan kata lain hanya bertujuan untuk latihan kebugaran. Berbeda halnya dengan latihan senam aerobik, pada Aerobic gymnastics yang termasuk dalam olahraga prestasi, pelaksanaannya dilakukan dalam waktu antara 1 menit 40 detik – 1 menit 50 detik secara continue, penuh tenaga, explosive power, dengan tujuan untuk menampilkan keseluruhan koreografi (routine) dan tingkat kesulitan yang kompleks.

Secara jelas pengertian aerobic gymnastics dijelaskan dalam code of points aerobic gymnastics (FIG) sebagai berikut:

Aerobic gymnastics adalah suatu keahlian untuk menampilkan gerakan yang kompleks dan dengan intensitas tinggi disesuaikan dengan musik, yang berasal dari latihan aerobik tradisional. Penampilan  harus menunjukkan gerakan yang berkelanjutan (continue), kelenturan, kekuatan, dan penggunaan tujuh gerakan dasar, dengan kesempurnaan potongan tingkat kesulitan (Federation International of Gymnastics, 2005:10).

Dijelaskan pula dalam Common Rules 2000, Aerobic Gymnastics, Rules and Regulation (IAF, 2000:1) sebagai berikut:

Aerobic gymnstics adalah olahraga yang kompetitif dan artistic berasal dari aerobik tradisional atau kelas latihan aerobik berkelompok yang dikoreografikan dengan gerakan aerobik kreatif, sangat dinamis, dengan intensitas cardiovascular tinggi, dan elemen-elemen “difficulty” yang sudah ditentukan.

Berdasarkan uraian di atas, aerobic gymnastics berasal dari suatu latihan  aerobik tradisional dengan gerakan-gerakan yang  dibuat sedemikian rupa yaitu dengan adanya tingkat kesulitan, tujuh gerakan dasar dengan intensitas tinggi serta sangat mengutamakan kesempurnaan dari gerakan-gerakan yang ditunjukkan.

Semua hal yang berhubungan dengan Aerobic Gymnastics tertuang dalam Code of Points Aerobic Gymnastics dari FIG (Federation International of Gymnastics). Code of points ini berfungsi sebagai pedoman yang memuat peraturan-peraturan dalam segala hal tentang aerobic gymnastics termasuk pelaksanaan perlombaan. Komisi teknik aerobic gymnastics selalu mengevaluasi dan merevisi Code of Points ini setiap empat tahun sekali. Code of Points ini berlaku untuk seluruh kategori, baik putera ataupun puteri. Tidak terdapat perbedaan regulasi dalam pelaksanaan gerak atau dalam hal tingkat kesulitan, dengan kata lain bahwa untuk putera dan puteri mempunyai kesamaan peraturan perlombaan, kecuali dalam hal khusus misalnya dress code.

Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam suatu perlombaan aerobic gymnastics diantaranya adalah kategori (nomor perlombaan), usia, arena lomba, dress code, musik, koreografi, dan penjurian:

Kategori (nomor perlombaan)

Senam aerobic gymnastics diperlombakan lima kategori yaitu: perorangan puteri (individual women), perorangan putera (individual man), berpasangan campuran putera dan puteri (mixed pairs), trio (3 orang) merupakan gabungan antara putera saja, puteri saja, atau campuran antara putera dan puteri, dan groups (6 orang) terdiri atas putera saja, puteri saja, atau campuran antara putera dan puteri.

Pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur yang dilaksanakan nomor untuk aerobic gymnastics adalah: perorangan putera, perorangan puteri, berpasangan puteri (2 orang puteri), berpasangan putera (2 orang putera), trio (3 orang putera saja, puteri saja, atau campuran putera dan puteri) dan kuartet (4 orang putera saja, puteri saja, atau campuran putera dan puteri).

Usia

Event internasional (world championship) diatur batasan usia minimal dari peserta untuk kategori senior adalah 18 Tahun, dan kategori kelompok umur 12 – 17 Tahun. Pada tingkat nasional dalam hal ini PON, hanya diperlombakan kategori senior saja.

Dress Code

Kostum dari atlet harus menunjukkan ciri khas dari cabang senam. Pakaian teatrikal, musikal, dan sirkus tidak diperbolehkan, rambut harus tertata rapih. Menggunakan sepatu aerobik dan kaos kaki warna putih polos sehingga dapat terlihat oleh semua juri. Penggunaan tato, perhiasan, dan make-up yang mencolok bagi wanita tidak diperbolehkan. Untuk pakaian senam (biasa disebut leotard), digunakan bahan yang sesuai, nyaman untuk bergerak, tidak transparan, tidak bercorak kekerasan, agama, dan peperangan.

Musik

Durasi atau lamanya musik antara 1 menit 40 detik – 1 menit 50 detik dengan kecepatan antara 150-160 bpm. Terdiri dari gabungan beberapa jenis lagu, dan boleh menggunakan sound effect atau suara tambahan untuk mempertegas gerakan serta direkam dalam kaset atau CD (compact disk).

Arena lomba

Berbentuk sebuah panggung dengan ukuran 12m x 12m. Panggung ini harus diberi tanda garis sebagai berikut; 7m x 7m untuk kategori perorangan, berpasangan, dan trio. Serta 12m x 12m untuk kategori grup. List atau tanda garis harus berwarna hitam dengan lebar 5cm. Panggung atau lantai terbuat dari wooden floor, yaitu sejenis lantai kayu yang lapisannya tidak terlalu keras sehingga mengurangi resiko cedera pada atlet. Posisi podium berada tepat  di depan panggung dengan tinggi 80cm-140cm dan panjang minimal 14 meter. Podium ini berfungsi sebagai tempat duduk para juri dan superior jury.

Komposisi Koreografi 

Terdapat persyaratan khusus dalam penyusunan sebuah koreografi aerobic gymnastics. Persyaratan tersebut meliputi unsur: 1) Artistic; untuk memenuhi persyaratan artistic, koreografi harus menunjukkan kreatifitas dan unsur olahraga (sport specific content). Selain itu juga harus menunjukkan variasi gerakan dan  keserasian antara musik, gerakan, dan ekspresi atletnya. Tema yang yang menunjukkan kekerasan, ras, agama, dan seks tidak diperbolehkan oleh peraturan Olympiade dan kode etik FIG. Untuk kategori berpasangan, trio, dan grup dapat menggunakan tiga kali angkatan (lift) dalam setiap penampilan, sudah termasuk pembukaan dan penutup; 2) Pemotongan (execution); setiap gerakan harus ditampilkan dengan kesempurnaan pemotongan (execution); 3) Tingkat Kesulitan (Difficulty); Sebuah penampilan harus menunjukkan keseimbangan antara gerakan elemen tingkat kesulitan pada saat di udara, berdiri dan elemen bawah (floor-work). Setiap penampilan harus mengandung minimal satu buah elemen dari masing-masing grup pada element pool: Grup A Dynamic Strength; Grup B Static Strength; Grup C Jumps dan Leaps; Grup D Balance dan Flexibility. Jumlah maksimal yang ditetapkan adalah 12 elemen (http://www.fig-gymnastics.com/aerogym/rules diakses 19 Oktober 2008).

Komposisi gerak dalam koreografi harus menunjukkan keserasian antara unsur-unsur yang disebutkan di atas. Termasuk didalamnya yaitu gerakan dasar aerobik (kombinasi dari tinggi atau rendahnya intensitas gerakan) dan elemen kesulitan (difficulty elements). Gerakan lengan dan tungkai pun harus kuat serta dengan kombinasi yang sesuai. Kemudian hal paling perlu yaitu menunjukkan keseimbangan dalam penggunaan keseluruhan bidang gerak, gerakan melantai (bawah), dan gerakan di udara. Terdapat tujuh langkah dasar kaki (basic steps) meliputi; march, jog, knee lift, skip, kick, jumping jack, dan lunge. Sedangkan untuk gerakan lengan harus terkontrol, rapih dan smooth tanpa jurking motions pada lengan, siku dan persendian bahu. Beberapa pola gerak persendian pada lengan antara lain; flexion extension, abduction, adduction, rotation, circumduction, supination, pronation, horizontal flexion, outward rotation, inward rotation, elevation and depression (Federation International of Gymnastics, 2005:6).

Penjurian

Penjurian dalam perlombaan aerobic gymnastics merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan mempunyai peran vital dalam menentukan sukses atau tidaknya pelaksanaan lomba. Semua hal yang ditampilkan oleh seorang atlet pasti akan mendapatkan penilaian dari para juri. Berikut adalah komposisi dari penjurian  perlombaan aerobic gymnastics: 1) Superior Jury; 3 anggota yang ditunjuk oleh Komite Aerobic Gymnastics, 2) Jugdes Panels  yang terdiri dari: Juri Artistic (Artistic Jugdes) 4 orang, Juri Execution (Execution Jugdes) 4 orang, Juri Tingkat Kesulitan (Difficulty) 2 orang, Juri Garis (Line Judges) 2 orang, Juri Waktu (Time Judges) 1 orang, dan Chair of Judges Panel 1 orang (http://www.fig-gymnastics.com/aerogym diakses 23 Oktober 2008).

Faktor artistic merupakan salah satu aspek penilaian dalam cabang senam aerobic gymnastics selain faktor kesulitan (difficulty) dan execution. Ketiga faktor tersebut harus ada dalam komposisi koreografi (routine), tidak boleh kurang atau lebih. Dibutuhkan kreatifitas tinggi dari para atlet untuk menggabungkannya dalam komposisi koreografi yang unik, menarik, indah, dan serasi antara gerakan dengan musik. Hal tersebut tentu saja sangat erat hubungannya dengan faktor artistic.

Pada aerobic gymnastics, faktor artistic berarti kemampuan atlet untuk manampilkan koreografi yang kreatif dan menunjukkan unsur khusus olahraga (sport specific content). Selain itu juga harus menampilkan variasi gerakan, keserasian antara musik, gerakan dan ekspresi (Federation International of Gymnastics, 2005:17). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faktor artistic aerobic gymnastics menekankan pada unsur koreografi dalam setiap penampilan.

Komponen utama faktor artistic aerobic gymnastics:

Komposisi dari pola gerakan aerobik, elemen-elemen (difficulty), transisi (linking), dan angkatan (partnership)

Gerakan-gerakan yang ditampilkan harus mempunyai komposisi yang seimbang, lancar (fluent), rapih antara gerakan dasar aerobik, elemen, transisi, dan angkatan (lifts). Dengan kata lain yang dimaksud seimbang adalah pemilihan dan penempatan elemen, fluent pada saat melakukan perpindahan, dan rapih saat melakukan transisi, formasi, dan perubahan posisi. Dalam hal ini sangat ditekankan untuk menampilkan berbagai variasi dan keaslian dari gerakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai kriteria tersebut, antara lain: 1) Pemilihan dan penempatan elemen harus seimbang dalam keseluruhan koregrafi, 2) Pada saat transisi harus dilakukan dengan dinamis dan rapih untuk menggabungkan tiga urutan gerak yaitu gerakan bawahan, saat berdiri, dan saat di udara, 3) Setiap gerakan harus bervariasi, 4) Dari atau menuju elemen harus dihubungkan dengan gerakan yang kreatif dan fluently, 5) Keseluruhan koreografi bisa dikatakan menjadi “world class” dengan syarat harus mempunyai keunikan dan karakteristik tersendiri (Federation International of Gymnastics, 2005:17);

Penggunaan Musik

Sebuah koreografi tentu saja berpatokan pada musik. Keserasian antara gerak dan musik merupakan kriteria mutlak dalam menampilkan koreografi yang menarik dan indah dilihat. Ide atau konsep dari musik yang ditampilkan yaitu apakah musik tersebut menakjubkan (exciting), bertenaga (powerful), bersemangat (cheerful), atau lembut. Dengan konsep tersebut, pemilihan gerakan harus sesuai, misalnya saat musik berirama semangat, gerakan yang dilakukan adalah gerakan aerobik di atas lantai. Sedangkan pada saat irama musik rendah atau lembut gerakan yang dilakukan adalah gerakan melantai atau bawahan. Hal-hal yang diperhatikan dalam penggunaan musik adalah: 1) Musik yang dipilih harus memberikan keuntungan pada karakteristik dan gaya dari penampil, 2) Gaya dari koreografi harus harmonis dengan ide utama dari musik, 3) Komposisi dari gerakan yang ditampilkan harus sesuai dengan musik, 4) Apabila musik merupakan gabungan dari satu lagu, maka musik tersebut harus terdengar natural dan mengalir, 5) Jika dimasukkan sound effect, maka harus menjadi bagian dari musik, berkualitas baik dan volume yang sesuai. Sound effect harus sesuai dengan gerakan sehingga kesluruhan penampilan akan lebih efektif (Federation International of Gymnastics, 2005:7).

Kombinasi dari gerakan dasar aerobik ( gerakan kaki dan tangan)

Gerakan dasar aerobik merupakan unsur utama dalam koreografi aerobic gymnastics, dengan demikian termasuk dalam penjurian artistic. Gerakan dasar tersebut meliputi gerakan dasar kaki dan tangan dengan kombinasi dari keduanya. Dengan tetap berpatokan pada ketukan atau irama musik yaitu 8 (delapan) ketukan, oleh karena itu diperlukan kreatifitas tinggi untuk menampilkan kombinasi yang sesuai, apakah kombinasi tersebut kompleks atau simpel, simetris atau asimetris, panjang atau pendek, intensitas tinggi atau rendah. Hal tersebut menjadi patokan apabila dalam membuat sebuah koreografi aerobic gymnastics. Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat  menampilkan gerakan dasar aerobik adalah sebagai berikut: 1) Gerakan dasar aerobik harus mengandung berbagai variasi dari gerakan dasar kaki dan gerakan tangan, 2) Dalam keseluruhan koreografi, gerakan dasar aerobik wajib ditampilkan, 3) Gerakan dasar aerobik harus menunjukkan koordinasi tubuh yang sangat baik (Federation International of Gymnastics, 2005:11).

Penggunaan Area Kompetisi (lapangan)

Pada saat menampilkan routine, setiap atlet harus mampu menjelajahi setiap titik dari keseluruhan area kompetisi. Apabila ada satu titik yang tidak dapat dijangkau maka akan mengurangi nilai artistic dari koreografi yang ditampilkan. Titik-titik yang harus dijangkau atau dilalui yaitu pojok, tengah, daerah kiri, kanan, depan, belakang, dan diagonal dari keseluruhan area kompetisi. Gerakan yang ditampilkan pada saat melewati titik tersebut dapat berupa gerakan bawahan (on floor), berdiri (surface), atau di udara (on the air). Tentunya harus ada keseimbangan pembagian gerakan pada setiap titik, dengan kata lain harus merata.

Presentasi dan Partnership

Bagian inilah yang menjadi ciri khas dari aerobic gymnastics. Hal itu bisa dilihat dari penjelasan berikut ini, yaitu: 1) Atlet harus memberikan kesan seorang olahragawan dengan gerakan berkualitas tinggi, 2) Atlet harus menunjukkan tubuh yang berenergi dan dinamis tanpa gerakan mulut atau sambil bernyanyi, 3) Atlet harus menunjukkan kepercayaan diri dengan mimik wajah yang natural (tanpa ekspresi yang mencolok atau teatrikal) (Federation International of Gymnastics, 2005:16).

Berdasarkan poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa setiap atlet dalam menampilkan koreografi harus penuh percaya diri, menunjukkan gerakan tubuh yang berenergi, dinamis, tapi tanpa ekspresi wajah yang berlebihan, dan semua itu harus dilakukan dari awal sampai akhir.

Untuk kategori berpasangan, trio, dan grup harus menunjukkan bahwa mereka adalah satu kesatuan, kemudian memperlihatkan kelebihan-kelebihan tersebut lebih dari satu kali dengan cara mampu bekerjasama antara satu dengan lainnya. Hal itu bisa terlihat pada saat melakukan angkatan atau partnership. Keharmonisan juga harus ditunjukkan pada kategori berpasangan. Semua hal tersebut bukan hanya ditunjukkan pada saat melakukan koreografi tetapi harus juga pada setiap gerakan dan ekspresi seluruh tubuh.

Lima komponen yang merupakan unsur-unsur dalam faktor artistic dan kriteria-kriteria yang menjadi patokan juri dalam mengambil nilai adalah: 1) Komposisi dari gerakan dasar aerobik, elemen-elemen, transisi (linking), dan angkatan (partnership); maksimal 2 poin, 2) Penggunaan Musik; maksimal 2 poin, 3) Kombinasi dari gerakan dasar aerobik ( gerakan kaki dan tangan); maksimal 2 poin, 4) Penggunaan Area Kompetisi (lapangan); maksimal 2 poin, dan 5) Presentasi dan Partnership; maksimal 2 poin. Kemudian dari hasil penjumlahan lima unsur diatas akan didapat nilai total dari satu juri faktor artistic dengan jumlah maksimal adalah 10 (sepuluh).

Execution berarti kesempurnaan dalam melakukan setiap gerakan, dengan kata lain semakin sempurna gerakan maka semakin sempurna pula nilai execution-nya. Kesempurnaan gerakan tersebut terletak pada kecakapan teknik, pengaturan tempo dan sinkronisasi (Federation International of Gymnastics, 2005:20). Untuk mendapatkan persyaratan dalam penilaian execution harus memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:

Kecakapan Teknik

Kecakapan teknik adalah kemampuan untuk mendemonstrasikan gerakan dengan ketepatan maksimal. Sebuah routine dikatakan sempurna apabila menunjukkan kesempurnaan postur dan alignment (kesejajaran tubuh), kelentukan aktif dan pasif, kekuatan, power dan daya tahan otot. Berikut adalah ketentuan-ketentuan khusus yang berhubungan dengan kecakapan teknik: a) Bentuk, Postur dan Alignment; Kecakapan untuk menjaga postur yang benar dan kesejajaran tubuh atau sikap natural tulang belakang pada saat melakukan faktor kesulitan (di bawah, di permukaan, dan di udara serta saat mendarat). Sama halnya pada saat melakukan pola gerakan aerobik (aerobic movement patterns) dan transisi. Posisi-posisi yang diharuskan yaitu posisi dan stabilisasi dari torso, pinggang, panggul, dan kontraksi otot perut. Posisi dari tubuh bagian atas, pembawaan leher, bahu dan kepala relatif sejajar dengan tulang belakang. Penempatan kaki relatif dengan ankles, lutut, dan persendian paha, dan kesejajaran (alignment) yang tepat dari setaip persendian, b) Ketelitian; Berarti setiap gerakan harus dilakukan dengan posisi awal dan akhir yang bersih, setiap fase gerakan menunjukkan kontrol yang sempurna, dan keseimbangan yang tepat pada saat melakukan difficulty elements, transisi, awalan, akhiran, dan pola gerakan aerobik yang sulit, c) Kecakapan dalam menunjukkan kekuatan, explosive power, dan intensitas yang terus menerus pada keseluruhan routine.

Pengaturan Tempo dan Sinkronisasi

Pengaturan tempo adalah kemampuan untuk bergerak tepat dengan ketukan musik dan mengikuti irama musik tersebut. Sedangkan sinkronisasi  (pada kategori berpasangan, trio, dan grup) yaitu kemampuan untuk melakukan semua gerakan seperti satu kesatuan. Keterampilan yang ditampilkan harus mempunyai jarak yang jelas dari gerakan, awalan dan akhiran pada waktu yang bersamaan dan mempunyai kualitas yang sama.

Menunjukkan Kekuatan

Kekuatan dimaksud dalam execution yang ditunjukkan oleh atlet adalah kemampuan untuk melaksanakan push up, atau gerakan mendarat dari udara ke posisi push up dengan dada tanpa menyentuh lantai. Kondisi yang menunjukkan tidak kuatnya atlet pada saat push up yaitu, jika kedua bahu tidak membentuk persegi dengan lantai maka itu menunjukkan kelemahan dari satu atau kedua lengannya. Kemudian jika dada tidak berjarak 10 cm dari lantai, ini juga menunjukkan kelemahan. Kekuatan statis juga harus ditunjukkan oleh atlet, yaitu kemampuan untuk mampu melakukan semua gerakan menahan dalam dua detik atau lebih.

Terdapat beberapa istilah dari gerakan-gerakan yang biasa dilakukan dalam melakukan routine dan masih dalam wilayah penilaian execution, yaitu: (1) Turn adalah beberapa putaran yang dilakukan, baik saat bersentuhan dengan lantai maupun saat berada pada garis vertikal di udara, (2) Twist adalah beberapa putaran yang dilakukan keluar dari garis vertikal, (3) Jump adalah melompat vertikal dengan awalan (take off) dan mendarat pada satu tempat (titik), (4) Leap adalah lintasan lanjutan dari awalan dan mendarat (Federation International of Gymnastics, 2005:5). Beberapa gerakan tersebut harus dilakukan sesempurna mungkin dengan kestabilan tubuh, kesejajaran, dan tanpa sudut gerakan salah dari persendian. Kemudian terdapat tujuh gerakan dasar langkah kaki (basic steps) juga harus dilakukan dengan sempurna sesuai dengan kiteria-kriteria yang dalam penilaian execution. Selain kesempurnaan pada gerakan kaki, dituntut juga pada gerakan lengan. Semua gerakan lengan harus terkontrol, tepat, lancar, dan tanpa sudut tidak jelas pada persendian siku dan bahu.

Mengenai penilain dalam execution, setiap atlet mempunyai nilai awal execution 10 (sepuluh) yang bisa juga disebut sebagai modal. Kemudian apabila dalam pelaksanaan routine atlet tersebut melakukan kesalahan-kesalahan, maka nilai yang berjumlah sepuluh tersebut akan berkurang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Berikut adalah kriteria pengurangan atau pemotongan (deductions) nilai dari kesalahan-kesalahan (errors) antara lain: 1) Minor error (0,1): Sedikit penyimpangan dari execution sempurna, kesalahan tempo dan sinkronisasi, 2) Small error (0,2): Penyimpangan kecil dari execution sempurna, 3) Medium error (0,3): Penyimpangan signifikan dari execution sempurna, 4) Large error (0,4): Penyimpangan besar dari execution sempurna, 5) Unacceptable error (0,5): ketika sama sekali tidak memenuhi syarat execution, atau posisi badan sama sekali tidak dianjurkan, 6) A Fall (0,5): ketika satu atau lebih bagian tubuh menyentuh lantai tanpa kontrol.

Faktor ketiga dari komponen utama dalam penilaian aerobic gymnastics adalah faktor kesulitan (difficulty) atau biasa disebut difficulty atau elemen. Faktor Kesulitan adalah tingkat kesulitan gerak yang dilakukan atlet pada saat penampilan. Dalam hal ini rangkaian gerak harus menunjukkan keseimbangan antara elemen-elemen dan koreografi di udara (airborne), di permukaan (surface), dan di lantai (floor work) (Fahmy Fachrezzy, 2003:17). Setiap atlet wajib menampilkan 12 elemen pilihan yang sudah ditetapkan dalam code of points. Dalam waktu 1 menit 40 detik – 1 menit 50 detik penampilan, kedua belas elemen tersebut harus dilakukan dengan baik sehingga memerlukan kondisi fisik yang prima.

Elemen pilihan yang ditampilkan dibagi ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut: (1) Grup A Dynamic Strength terdiri dari push up, freefalls, leg circle, dan cuts, (2) Grup B Static Strength terdiri dari supports dan levers, (3) Grup C Jumps dan Leaps, (4) Grup D Balance dan Flexibility. Elemen-elemen tersebut mempunyai nilai dari 0,1 – 1,0, dari mulai yang termudah sampai tersukar. Semakin sukar elemen yang ditampilkan, maka semakin besar pula nilai yang didapat. Bahkan jika dapat menggabungkan 2 atau lebih elemen dalam satu rangkaian maka akan mendapatkan tambahan poin 0,1 dari tiap-tiap elemen.

Prestasi dalam olahraga tidak akan diperoleh dengan begitu saja tanpa adanya perjuangan dan pengorbanan yang besar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah (1994:19) Prestasi adalah yang dicapai dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.

Menurut H. M. Tahir Djide dalam Harsuki (2003:366), kata kunci untuk berprestasi dalam olahraga adalah melalui rangkaian proses kerja “PELATIH dan ATLET” yang sistematis. Pelatih harus membuat model-model latihan yang berbobot, sesuai tuntutan dan kriteria ilmiah, dan cocok untuk kebutuhan individu atlet, yang kelak dapat menghasilkan perubahan dan perkembangan yang signifikan pada penampilan atlet. Sehingga atlet dapat terpacu secara psikologi yang pada akhirnya memberikan pengaruh dan perbaikan terhadap penampilan serta pencapaian prestasi yang membanggakan. Kiat-kiat pelatihan harus terus dikembangkan untuk memacu peningkatan efesiensi kemampuan dan keterampilan gerak atlet (Tahir Djide dalam Harsuki, 2003:364).

Salah satu faktor dominan pada atlet untuk meraih prestasi adalah kondisi fisik. Kondisi fisik atlet memegang peran sangat penting dalam program latihannya. Program latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh atlet (Harsono, 1988:153). Dalam cabang olahraga senam kondisi fisik yang harus dikembangkan adalah kekuatan, daya tahan, kelincahan, kelentukan, keseimbangan, kecepatan, dan power (Tom De Carlo, 1963:7). Hal itu tentu juga berlaku pada atlet aerobic gymnastics. Selain faktor fisik, terdapat faktor psikologis yang harus dikembangkan diantaranya adalah percaya diri, disiplin, keuletan, ketekunan, kekompakan, inisiatif, ketenangan, pantang menyerah, dan kesadaran (presence of mind) (Tom De Carlo, 1963:7).

Sebagai cabang olahraga dengan sistem lomba, faktor psikologis mempunyai peran besar terutama pada saat atlet melakukan suatu penampilan di lapangan perlombaan. Seorang atlet yang sudah terlatih menghadapi suasana tegang saat lomba, biasanya dapat tampil dengan bersih, rapih, dan tanpa melakukan banyak kesalahan. Berbeda dengan atlet yang kurang terlatih aspek psikologisnya, cenderung akan terlihat grogi atau malah takut untuk melakukan lomba. Sering terjadi pada saat lomba, beberapa atlet melakukan kesalahan karena lupa gerakan koreografi saat menampilkan keseluruhan gerakan sehingga mengurangi penilaian para juri. Disini akan terlihat bahwa pada saat bersamaan kedua faktor fisik dan psikologis menjalankan perannya. Oleh karena itu dibutuhkan metode dan program latihan yang sesuai untuk mengembangkan kualitas mental dan keterampilan gerak atlet guna menyempurnakan penampilan pada saat perlombaan sehingga prestasi tinggi akan tercapai.

Dalam aerobic gymnastics, yang dimaksud dengan prestasi setinggi-tingginya adalah nilai akhir penilaian dari dewan juri hasil sebuah penampilan seorang atlet dari kategori lomba yang ada. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan utama seorang atlet menampilkan sebuah koreografi selama 1 menit 40 detik – 1 menit 50 detik dengan susunan yang rapih, kreatif, menarik, pemilihan difficulty element yang tepat, dan tingkat execution sempurna adalah untuk mendapatkan nilai akhir setinggi mungkin.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat tiga faktor penilaian dalam aerobic gymnastics, yaitu faktor artistic, execution, dan difficulty, masing-masing mempunyai nilai tersendiri. Pada faktor artistic , tiap juri memberikan nilai maksimal 10, Kemudian nilai akhir akan didapat dari rata-rata nilai tengah 4 (empat) orang juri. Begitu pula dengan execution, mempunyai cara pengambilan nilai yang sama dengan faktor artistic. Sedangkan pada difficulty, nilai yang didapat merupakan gabungan dari 2 orang juri kemudian dibagi dua. Setelah itu dijumlahkan semua nilai dari tiga faktor tersebut dikurangi dengan deduction (pemotongan nilai) apabila ada. Deduction diberikan oleh juri difficulty, juri garis, dan chairs of judged panel (Federation International of Gymnastics, 2005:27). Barulah bisa didapatkan nilai keseluruhan atau nilai akhir dari sebuah penampilan (routine) aerobic gymnastics.

Nilai akhir yang didapatkan oleh atlet aerobic gymnastics dalam setiap penampilannya merupakan gambaran dan hasil dari latihan yang sudah dilakukan selama kurun waktu tertentu. Hal itu merupakan tugas pelatih dan atlet untuk membuat sebuah susunan koreografi aerobic gymnastics dengan komposisi yang sempurna dari setiap faktor yang ada. Tentu saja bukanlah hal mudah untuk melakukannya, tetapi tidak ada kata mustahil untuk mencapai nilai tinggi tersebut. Sudah pasti setiap atlet menginginkan sebuah prestasi yang tinggi dari setiap penampilan, oleh karena itu seorang atlet juga pasti akan berusaha keras untuk mencapai prestasi yang diinginkannya.

Aerobic gymnastics merupakan sebuah aktifitas olahraga dengan menggabungkan gerakan-gerakan latihan aerobik sebagai dasar, didalamnya terdapat elemen tingkat kesulitan yang dilakukan dengan intensitas tinggi, explosive power, menarik,  dan disesuaikan dengan musik serta dilakukan dengan sesempurna mungkin. Terdapat tiga faktor utama dalam aerobic gymnastics, yaitu faktor artistic, execution, dan difficulty. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan, ketiganya merupakan nyawa dari sebuah penampilan (routine) aerobic gymnastics. Hal itu bisa terlihat dari penilain yang ada, misalnya seorang atlet melakukan difficulty element push up akan dinilai oleh juri difficulty, secara bersamaan juri artistic akan menilai linking dari atau ke elemen dan dimana penempatan elemen tersebut dilakukan, sedangkan juri execution menilai apakah elemen tersebut dilakukan tanpa menyentuh lantai atau tidak. Apabila berhasil maka ketiga juri akan memberikan nilai tambah, tapi apabila gagal maka juri artistic dan execution akan mengurangi nilainya. Oleh karena itu, dibutuhkan tingkat kreatifitas dan keterampilan yang tinggi untuk menggabungkannya, dalam hal ini pula terkait dengan kondisi fisik, teknik, dan psikis yang mendukung penampilan atlet di atas panggung.

Kondisi fisik dengan kualitas yang baik merupakan syarat mutlak bagi seorang atlet apabila ingin melakukan koreografi dengan intensitas tinggi, menarik, dan kompleks. Hal itu dapat dilihat pada saat atlet dengan mudah melakukan gerakan-gerakan kombinasi yang sulit dan kompleks seperti pada saat melakukan transisi, perpindahan dari gerakan berdiri ke gerakan bawahan, dan pada saat melakukan lift atau partnership. Kemudian pada saat melakukan faktor kesulitan, akan dapat dengan mudah melakukan tingkat kesulitan tinggi yang mempunyai nilai tinggi pula. Apabila semua gerakan tersebut dilakukan dengan bersih, rapih, menarik, penuh tenaga, dan unik, maka akan mendongkrak nilai akhir dari penampilannya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kualitas dari faktor artistic, execution, dan difficulty mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan nilai akhir dari atlet pada suatu perlombaan aerobic gymnastics.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pengolahan data, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) Secara keseluruhan rata-rata kontribusi faktor artistic adalah 44,33%, execution 43,33%, dan difficulty 12,97%, 2) Apabila dibandingkan dengan atlet yang tidak memperoleh medali, maka atlet peraih medali untuk semua kategori perlombaan memiliki nilai faktor artistic, execution, dan difficulty yang lebih tinggi, 3) Apabila dilihat dari kontribusi faktor artistic, execution, dan difficulty, maka atlet peraih medali memiliki kontribusi faktor difficulty lebih tinggi daripada atlet yang tidak berhasil memperoleh medali. Hal itu menunjukkan bahwa faktor artistic, execution, dan difficulty aerobic gymnastics mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap prestasi atau nilai akhir atlet pada PON XVII Tahun 2008 di Kalimantan Timur.

Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan kepada: 1) Atlet aerobic gymnastics untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam melakukan faktor difficulty, tanpa melupakan peran penting dari faktor artistic dan execution, 2) Pelatih dan atlet pada saat pembuatan atau penyusunan koreografi agar tidak berpatokan pada satu faktor saja, tetapi ketiga faktor yaitu artistic, execution, dan difficulty harus sama-sama diutamakan untuk mencapai nilai tinggi dalam setiap perlombaan, 3) Kepada para pelatih agar lebih profesional dalam menangani dan melatih atletnya, terutama dalam mengenal karakteristik setiap atlet, baik dalam melakukan koreografi maupun dari segi psikologisnya, 4) Kepada para pelatih dan atlet agar lebih memahami betul peraturan-peratuaran yang ada dalam Code of Points Aerobic Gymnastics apabila akan menyusun sebuah routine, 5) Kepada para calon peneliti disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain, misalnya faktor fisik dan mental yang memberikan kontribusi terhadap prestasi aerobic gymnastics. Sehingga bermuara pada perkembangan prestasi aerobic gymnastics di tingkat nasional dan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

 

Aip Syarifuddin. 1992. Belajar Aktif Senam Ketangkasan Untuk SD Kelas 1-6.  Jakarta: Grasindo.

Common Rules. 2000. Aerobic Gymnastics Rules and Regulation. Japan: IAF.

De Carlo, Tom. 1963. Handbook of Progressive Gymnastics. Englewood Cliffs, N. J: Prentice Hall Inc..

Fahmy Fachrezzy. 2003. Studi Korelasional antara Kekuatan Otot Lengan dan Keseimbangan dengan Keterampilan Push Up Sport Aerobics pada Mahasiswa FIK universitas Negeri Jakarta 2002. Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana UNJ.

Federation International of Gymnastics. 2005. Code of Points Aerobic Gymnastics 2005-2008. Paris: FIG.

Federation International of Gymnastics. 2005. Code of Points Aerobic Gymnastics 2005-2008 Appendix I, Paris: FIG.

Federation International of Gymnastics. 2005. Code of Points Aerobic Gymnastics Appendix II. Paris: FIG.

Harsono. 1988. Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: Tambak Kusuma.

Harsuki. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar, Jakarta: PT. Rajawali.

http://www.fig-gymnastics.com/aerogym/rules diakses 19 Oktober 2008

http://www.fig-gymnastics.com/aerogym/rules diakses 23 Oktober 2008

Loken, Newton C., dan Willoughby, Robert J. 1963. The Complete Book of Gymnastics. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Syaiful Bahri Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.

[1] Del Asri, S.Si dan Drs. Fahmy Fachrezzy, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta.

[2] Slamet Sukriadi, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

Kompetensi Guru Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar dalam Pelaksanaan Pembelajaran di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur

Del Asri, Samsudin[1], Yunita Lasma[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani, Volume 5 No 2 November 2006 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan sebagai parameter kompetensi guru pendidikan jasmani sekolah dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di Jakarta Timur. Populasi penelitian sebanyak 192 guru pendidikan jasmani Kecamatan Duren Sawit. Sampel penelitian diambil sebanyak 30 guru secara acak sederhana.

Hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru pendidikan jasmani sekolah dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di Kecamatan Duren sawit Jakarta Timur adalah cukup baik.

 

Kata Kunci: Kompetensi Guru Pendidikan Jasmani, Sekolah Dasar

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting dalam masyarakat modern, baik dari segi ekonomi maupun politik. Pembangunan masyarakat bebas amat bergantung pada individu-individu yang bebas, rasional dan bertanggung jawab. Dalam hal ini pendidikan bukan saja hal yang penting bagi individu tetapi juga sangat penting bagi kehidupan nasional.

Peranan pendidikan masyarakat harus dilihat dalam konteks pembangunan secara menyeluruh yang bertujuan membentuk manusia sesuai dengan cita-cita bangsa. Made Pidarta (1997:11) di dalam bukunya mengelompokkan indikator-indikator tujuan pendidikan menjadi empat, yaitu: 1) Hubungan dengan Tuhan, ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) Pembentukan pribadi, mencakup berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas dan kreatif, 3) Bidang usaha, mencakup terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif, 4) Kesehatan, yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.

Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya. Karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswa secara utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan profesi yang dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang dimilikinya.

Disisi lain, guru harus memahami dan menghayati para siswa yang dibinanya karena wujud siswa pada setiap saat tidak akan sama sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan dampak serta nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi gambaran para lulusan suatu sekolah yang diharapkan. Oleh sebab itu, gambaran perilaku guru yang diharapkan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan itu sehingga dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang selanjutnya dikenal juga sebagai pembelajaran, guru diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakat pada masa yang akan datang.

Demikian juga guru dalam pembelajaran harus memiliki kemampuan tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran pada khususnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut guru perlu membina diri secara baik, karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan kemampuan siswa secara profesional didalam pembelajaran.

Dalam membina kemampuan para siswa sudah barang tentu guru harus memiliki kemampuan tersendiri. Adapun kemampuan yang harus dimiliki guru meliputi kemampuan mengawasi, membina dan mengembangkan kemampuan siswa baik personal, profesional maupun sosial.

Namun sampai saat ini guru belum melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan harapan karena berbagai faktor penghambat yang menghalanginya. Salah satu faktor penghambat tersebut adalah kemampuan guru itu sendiri belum menunjang pelaksanaan tugasnya.

Guru dituntut untuk dapat bekerja dengan teratur dan konsisten, tetapi kreatif dalam menghadapi pekerjaannya. Kemantapan dalam bekerja hendaknya merupakan karakteristik sehingga pola kerja seperti ini terhayati pula oleh siswa sebagai pendidikan. Kemantapan dan integritas pribadi ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui proses belajar mengajar dan proses pendidikan yang sengaja diciptakan. Untuk itu, sebelum membina dan mengembangkan kemampuan siswa, guru itu sendiri perlu memiliki kemampuan yang sering disebut dengan kompetensi guru.

Pendidikan jasmani merupakan salah satu sarana pendidikan yang membantu pencapaian tujuan nasional, karena pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan melalui aktifitas fisik yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara organik, neuromoskuler, intelektual, sosial, emosional dan spiritual. Dari definisi tersebut tampak bahwa pendidikan jasmani memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam mengembangkan subjek didik secara totalitas.

Untuk dapat merealisasikan definisi tersebut dibutuhkan kompetensi profesional, kompetensi profesional tersebut harus menjadi bagian dari profil guru pendidikan jasmani. Sebagai kompetensi profesional tersebut adalah memahami secara mendalam tentang karakteristik subjek didik, termasuk pertumbuhan dan perkembangannya. Toto Subroto (2000:3) di dalam bukunya menyatakan bahwa: pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan bahwa melalui proses pendidikan jasmani yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun wujud pendidikan jasmani berupa aktifitas fisik dan olahraga, namun tidak ada salah satu aspek prilaku manusia yang dianggap paling penting dan diprioritaskan untuk dicapai oleh proses pendidikan jasmani di sekolah, semuanya diharapkan tercapai secara selaras, serasi, seimbang. Melihat hal tersebut, guru pendidikan jasmani selayaknya memahami prinsip-prinsip pertumbuhan dan perkembangan dan berupaya untuk mengaktualisasikan berbagai program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan serta perkembangan subjek didik.

Agar dapat merealisasikan tujuan pendidikan dan pendidikan jasmani, maka diupayakan perbaikan mutu guru pendidikan jasmani sebagai salah satu pemecahan masalah tersebut. Hal demikian dikenal sebagai kompetensi guru pendidikan jasmani. Berkaitan dengan hal tersebut, maka tugas dan peran guru jasmani antara lain sebagai: informator, organisator, motivator, perancang dan pengatur irama proses belajar mengajar, initiator, pemberi arah, fasilitatator, katalisator, evaluator.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kompetensi yang harus dilakukan, guru pendidikan jasmani. Terutama terhadap pelaksanaan guru penjas dalam pembelajaran. Sebab didalam pembelajaran pendidikan jasmanilah guru dapat berinteraksi langsung terhadap siswa, baik didalam kelas ataupun di lingkungan luar kelas. Serta lewat pembelajaran pendidikan jasmani, guru dapat memantau perkembangan siswa melalui unsur fisik, mental, intelektual, emosi, sosial agar terwujudnya tujuan pendidikan jasmani.

Berdasarkan uraian masalah, maka rumusan masalah yang dijadikan titik sentral penelitian adalah: Bagaimanakah kompetensi guru pendidikan jasmani sekolah dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur?

 

DESKRIPSI TEORETIS

 

Hakikat Kompetensi Guru

Kompetensi guru merupakan dua kata yang mempunyai arti yang berbeda. Menurut Rusli Ibrahim (2000:1) di dalam bukunya: Kompetensi adalah seperangkat kemampuan/keahlian yang harus dimiliki seorang sebagai profesional yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan pelatihan dalam kurun waktu tertentu.

Dilihat dari uraian tersebut, kompetensi berkaitan erat dengan profesionalisme. Profesi menuntut kemampuan dalam membuat keputusan yang tepat dan kemampuan membuat kebijaksanaan. Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya, sebab mempunyai fungsi sosial, yakni pengabdian kepada masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan definisi kompetensi menurut Oemar Hamalik (1998:12), yakni : Tingkah laku yang memiliki tujuan guna memberikan hasil untuk kondisi yang diharapkan. Kompetensi profesional secara umum diperlukan dalam membuat kebijaksanaan, pembuatan keputusan, perencanaan dan penanganan dalam bidang tertentu.

Kompetensi menurut Uzer Usman (2001:14-15) berdasarkan kutipan dari beberapa ahli ialah: pengertian dasar kompetensi (Competency) yakni kemampuan atau kecakapan. Mc Leod (1989) kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sedangkan didalam dunia pendidikan kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Hal tersebut menurut Charles E. Jhonson (1974) juga didalam buku Uzer Usman (2001:14-15) menyatakan bahwa: kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.

Bertolak dari beberapa pendapat diatas, kompetensi mengacu kepada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan. Kompetensi menunjukkan kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi verifikasi tertentu didalam pelaksanaan tugas-tugas kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah atau tujuan. Sedangkan reformance perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat diamati, tetapi meliputi yang lebih jauh dari itu. Kompetensi guru merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dalam jenjang pendidikan apapun karena kompetensi memiliki kepentingan tersendiri dan sangat penting untuk dimiliki oleh guru.

Jenis-Jenis Kompetensi Guru

Masalah kompetensi profesional guru merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apapun. Kompetensi-kompetensi lainnya adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi kemasyarakatan (Oemar Hamalik, 2003:34).

Kompetensi Personal/Kepribadian adalah kemampuan yang ada pada diri guru yang dapat mengembangkan kondisi menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dicapai dengan lebih efekif. Termasuk dalam kategori kompetensi personal adalah ciri-ciri tingkah laku guru atau kepribadian guru itu sendiri yang dapat dijadikan anutan anak didik dalam proses belajarnya.

Kompetensi Pribadi meliputi: 1) Mengembangkan Kepribadian, 2) Berinteraksi dan berkomunikasi, dan 3) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan (Moh. Uzer Usman, 2001:16).

Kompetensi kemasyarakatan biasa juga dikenal sebagi kompetensi sosial. Merupakan kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperlukan masyarakat. Guru turut bertanggung jawab memajukan kesatuan dan persatuan bangsa, menyukseskan pembangunan nasional serta menyukseskan pembangunan daerah, khususnya yang dimulai dari daerah dimana ia tinggal.

Kompetensi kemasyarakatan menurut Oemar Hamalik (2003:41), adalah Untuk melaksanakan tanggung jawab turut serta memajukan persatuan dan kesatuan bangsa, guru harus menguasai atau memahami semua hal yang bertalian dengan kehidupan nasional misalnya tentang guru, adat istiadat, kebiasaan, norma-norma, kebutuhan, kondisi lingkungan dan sebagainya.

Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru untuk mentransfer atau mentransformasikan ilmu dan pengetahuan yang diajarkan. Kompetensi profesional meliputi: 1) Mengenal tujuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, 2) Menguasai bahan pengajaran, 3) Menyusun program pengajaran, 4) Melaksanakan program pengajaran, dan 5) Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan (Moh. Uzer Usman, 2001:19).

Tugas guru adalah mengembangkan potensi yang terdapat pada diri anak didiknya, maka disamping pengetahuan metodologis, guru juga harus memiliki kemampuan menguasai berbagai prinsip dan teori psikologi perkembangan anak didik. Dalam hal ini menyangkut tentang penguasaan proses atau metodologis, didaktis dan psikologis, serta pengetahuan tentang keterampilan pengelolaan, perencanaan belajar mengajar dan evaluasi hasil belajar mengajar.

Penjelasan lebih lanjut tentang jenis-jenis kompetensi guru menurut Rusli Ibrahim (2000:19-20) meliputi: 1) Kemampuan membantu siswa belajar secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal. Kelompok kemampuan ini meliputi kemampuan: Mengelola kegiatan belajar mengajar dan melaksanakan bimbingan siswa, 2) Kemampuan menjadi penghubung kebudayaan masyarakat secara aktif, kreatif dan fungsional. Kelompok kemampuan ini terdiri atas kemampuan menjadi mediator kebudayaan, baik sebagian pembawa, pemelihara, maupun sebagai pengembang kebudayaan, dan kemampuan menjadi komunikator antara sekolah dengan masyarakat, dan 3) Kemampuan menjadi pendukung pengelolaan program kegiatan sekolah dan profesi. Kelompok ini mencakup kemampuan menjadi anggota staf sekolah yang produktif, dan menjadi anggota organisasi profesional yang bersifat fungsional.

Berdasarkan pertimbangan di atas dapat diperoleh gambaran secara fundamental tentang pentingnya kompetensi profesional guru tanpa mengesampingkan pentingnya dua kompetensi lainnya.

Hakikat Kompetensi Dalam Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan salah satu bagian dari kompetensi profesional guru. Pembelajaran bertujuan mengembangkan potensi siswa secara optimal, yang memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, banyak faktor yang harus dipenuhi serta diperhatikan oleh guru, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi proses belajar siswa.

Diantara faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembelajaran adalah faktor kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan adanya interaksi antara guru dan siswa.

Salah satu taxonomy for teachers competencies menurut Norman Dodl dalam Rusli Ibrahim (2000:30-35) berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai kompetensi guru untuk menunjang profesionalnya, adalah: a) Kompetensi guru dalam memahami dan menilai prilaku siswa (assesing and evaluing students behavior), b) Kompetensi guru dalam perencanaan pembelajaran (planing instruction), c) Kompetensi guru untuk melaksanakan atau menyelenggarakan proses pembelajaran (conducting or implementing instruction), d) Melaksanakan kegiatan individual (conducting in dividual activities), e) Memberikan umpan balik (Providing for feed back), f) Memberikan berbagai informasi (presenting informations), g) Menggunakan cara berpikir induktif dan pemecahan masalah (utilizing inductive or problem solving), h) Kompetensi guru dalam bertanya dan menjawab (Quistioning and responding), i) Kompetensi guru untuk mengoperasikan hardware, j) Kompetensi guru melaksanakan tugas administratif (performing administrative duties), k) Kompetensi guru dalam berkomunikasi (communicating), l) Kompetensi gur dalam mengembangkan keterampilan pribadi (developing personal skill), m) Kompetensi guru dalam pengembangan diri siswa (developing pupil self).

Masing-masing indikator tersebut memang saling berkaitan satu sama lain dan sama-sama memiliki peranan yang penting guna mencapai pembelajaran efektif. Namun, kompetensi guru untuk melaksanakan pembelajaran memegang peranan yang begitu penting dalam profesi keguruan.

Hal ini dapat dimengerti karena pada pelaksanaan pembelajaran, guru benar-benar berinteraksi dengan siswa. Maka keterampilan guru benar-benar dituntut guna pelaksanaan pembelajaran berjalan efektif dan mencapai tujuan.

Begitu pentingnya kompetensi tersebut sehingga diuraikan lagi menjadi sub kompetensi, yaitu: a) Menstrukturkan pertemuan (structuring), b) Memotivasi siswa dan memberikan penguatan (motivating and reinforcing), dan c) Melaksanakan diskusi dalam kelompok kecil (conducting discussions/ small groups activities) (Rusli Ibrahim, 2000:31-32).

Faktor tersebut harus dimiliki guru didalam melaksanakan pembelajaran, sebab didalam pembelajaran terdapat bermacam-macam perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh kemampuan guru dalam mengajar, pengetahuan yang dimilikinya, dan latar belakang pendidikannya. Seperti diungkapkan Moh. Surya dalam Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1994:4) bahwa pengetahuan guru, baik tentang subjek materi, mengenai siswa maupun mengenai proses belajar mengajar secara keseluruhan, menentukan hasil belajar siswa. Juga para siswa yang mengikuti pelajaran belum tentu dapat menangkap apa yang disampaikan oleh guru. Sering kali guru tidak dapat memberikan respon terhadap tingkah laku siswa didalam kelas. Hal ini seperti dijelaskan oleh S. Nasution dalam Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan (1994:4) sebagai berikut “kalau murid tidak memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh guru, atau apabila guru tidak dapat berkomunikasi dengan murid, maka besar kemungkinan murid tidak dapat menguasai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru”.

Hal diatas menunjukkan keberhasilan guru melaksanakan peranannya dalam bidang pendidikan sebagian besar terletak pada kemampuannya melaksanakan berbagai peranan yang bersifat khusus dalam situasi mengajar dan belajar. Inti dari keterampilan mengajar guru didalam pelaksanaan proses pembelajaran ialah: a) Guru sebagai supervisor, perlu memiliki keterampilan mengevaluasi kegiatan anak dan ketertiban kelas, b) Guru sebagai motivator, perlu memiliki keterampilan mendorong motivasi belajar kelas, c) Guru sebagai penanya, perlu memiliki keterampilan cara bertanya yang merangsang kelas, berpikir dan cara memecahkan masalah, dan d) Guru sebagai pengganjar, perlu memiliki keterampilan cara memberikan penghargaan terhadap anak-anak yang berprestasi (Omar Hamalik, 2003:49).

Sehubungan dengan persyaratan di dalam melaksanakan proses belajar mengajar, maka Aip Syarifuddin (1994:21-22) di dalam bukunya mengemukakan adanya 9 (sembilan) urutan di dalam kegiatan instruksional, yaitu: a) memberikan motivasi, b) menjelaskan tujuan instruksional yang ingin dicapai kepada anak, c) mengingatkan kemampuan/kompetensi prasyarat, d) memberikan rangsangan/stimulus (masalah topik, konsep), e) memberikan petunjuk cara-cara belajar atau cara untuk mempelajari, f) menimbulkan penampilan anak, g) memberikan umpan balik, h) menilai prestasi atau hasil belajar keterampilan yang telah dicapai oleh anak, dan i) membuat kesimpulan. Diharapkan agar yang dilakukan oleh guru seperti langkah diatas dapat membantu siswa mengikuti proses belajar dengan baik.

Sehubungan dengan fungsinya sebagai pengajar pendidik dan pembimbing, maka diperlukan adanya berbagai peranan dalam diri guru sebab baik disadari atau tidak sebagian waktu dan perhatian guru banyak dicurahkan untuk memaksimalkan pelaksanaan pembelajaran antara guru dan sisiwa.

Berdasarkan kutipan dari James. W Brown dalam Sardiman (1990:141) bahwa tugas dan peranan guru antara lain, menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencana dan mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan anak.

Kutipan diatas dapat terlihat bahwa dalam melaksanakan pembelajaran guru mesti berkonsentrasi penuh terhadap kompetensi guru, terutama kompetensi dalam pelaksanaan pembelajaran. Teori-teori yang menguatkan peranan guru terhadap pelaksanaan pembelajaran adalah pendapat dari Prey Katz dalam Sardiman (1990:141) bahwa peranan guru sebagai komunikator. Sahabat yang dapat memberikan nasihat, motivator, sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkahlaku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang diajarkan.

Dari beberapa pendapat diatas, secara rinci peranan guru dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran secara singkat adalah: Informator, yaitu sebagai pelaksana cara mengajar informatif, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum. Organisator, yaitu guru sebagai pengelola kegiatan akademik, pembuat jadwal pelajaran. Komponen yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar, semua diorganisasikan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam belajar pada diri siswa.

Semakin jelas bahwa faktor kompetensi sangat penting dimiliki oleh setiap guru dalam proses belajar mengajar atau pembelajaran. Semakin tinggi kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran, maka diharapkan semakin tinggi pula prestasi belajar yang dicapai oleh siswa.

Hakikat Guru

Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru (Moh. Uzer Usman, 2001:5). Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus apalagi sebagai guru profesional yang harus menguasai betul tentang pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan.

Menurut Toto Subroto (2000:27) dalam bukunya menyatakan bahwa guru adalah seorang dewasa yang selalu mengusahakan dan mengerahkan segala sumber belajar termasuk dirinya digunakan oleh siswa untuk belajar. Ciri belajar adalah berubahnya perilaku siswa secara menetap sebagai hasil pengalaman dan latihan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa menjadi guru merupakan jenis profesi yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang kependidikan. Tugas guru sebagai profesi meliputi pendidik, mengajar dan melatih. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada siswa.

Seorang guru yang sekaligus juga berperan sebagai pendidik bukan hanya dicirikan oleh tingkat usia yang lebih tua dari pada siswa. Atau tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang studinya yang lebih tinggi dari pada siswa, namun lebih jauh dari itu guru harus memiliki perilaku dan pribadi yang mencerminkan seorang dewasa. Seperti yang dikemukakan oleh Toto Subroto (2000:29), yaitu guru adalah orang dewasa yang karena jabatannya secara formal selalu mengusahakan terciptanya situasi mengajar yang tepat, termasuk mengerahkan segala sumber belajar dan menggunakan strategi belajar mengajar yang tepat, sehingga memungkinkan terjadinya proses belajar pada diri siswa.

Guru tidak hanya mengetahui dan memahami perilaku dan pribadi yang baik, namun juga didalam kesehariannya harus dapat menunjukkan perilaku yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain tanpa merusak aturan dan tata nilai yang berlaku dilingkungan sekitar. Oleh sebab itu bagi seorang guru selain harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, juga dalam kehidupan kesehariannya harus selalu berusaha mengendalikan diri agar pribadi dan perilakunya tidak menyimpang dari tatanan etika dan moral yang berlaku di masyarakat.

Menurut Siendentop (1990) didalam buku Toto Subroto (2000:30) bahwa titik sentral dari guru adalah agar siswa belajar. Belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap diakibatkan oleh pengalaman dan latihan. Yang dimaksud dengan perilaku adalah seluruh pribadi siswa seperti pengetahuan, pemahaman, sikap, perluasan minat, penghargaan terhadap norma-norma, kecakapan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan adalah terdapatnya perbedaan perilaku dan pribadi antara sebelum pembelajaran dengan setelah pembelajaran dilaksanakan. Arah perubahan (positif, negatif atau meragukan) dan kualifikasinya (tinggi, sedang, rendah dan sebagainya) bergantung dari stimulus yang diberikan oleh lingkungan termasuk oleh gurunya. Oleh sebab itu untuk membentuk pribadi siswa yang utuh peran guru sebagai pengajar dan pendidik dalam pelaksanaan pembelajaran adalah penting.

Hakikat Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan artinya bahwa melalui proses pendidikan jasmani yang kondusif siswa dibantu untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal sehingga siswa mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu. Taraf kedewasaan tersebut mengandung arti bukan hanya ditandai oleh tumbuhnya aspek fisik yang optimal dan proposional. Namun bersamaan dengan itu berkembang pula aspek mental, emosional dan sosial yang serasi sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Seperti kutipan dari CA Bucher (1960) didalam buku Sukintaka (2004:16) bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan total yang mencoba mencapai tujuan untuk mengembangkan kebugaran jasmani, mental, sosial, serta emosional bagi masyarakat, dengan wahana aktivitas jasmani. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang memberi kontribusi kepada perkembangan individu melalui media alamiah yaitu aktivitas fisik dan gerak termasuk olahraga. Tujuan pendidikan jasmani adalah untuk memperkembangkan individu secara keseluruhan. Maksudnya bukan hanya memperkembangkan aspek jasmani, namun memperkembangkan pula aspek mental, intelektual, sosial, emosional, serta moral, spiritual dan estetika.

Rusli Lutan (2001:1) menyatakan yakni: pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui aktivitas jasmani untuk mencapai tujuan pendidikan. Aneka aktivitas jasmani itu dimanfaatkan untuk mengembangkan kepribadian anak secara menyeluruh.

Pernyataan tersebut selaras dengan pernyataan Toto Subroto (2000:6) bahwa: Meskipun pendidikan jasmani itu merupakan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani dan olahraga, namun tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan jasmani bukan hanya aspek fisik, tapi lebih bersifat pedagogis, proposional. Artinya nilai-nilai pendidikan yang terkait dengan aspek intelektual, moral, sikap, keterampilan fisik dan kebugaran jasmani, serta estetika dikembangkan secara selaras, seimbang dan serasi.

Terbukti bahwa pendidikan jasmani tidak dapat dipisahkan dari semua komponen hidup untuk mengembangkan kepribadian anak didik secara menyeluru, fisik maupun mental.

Hakikat Guru Pendidikan Jasmani

Pendidikan dapat dikatakan baik bila pendidikan itu dapat memberi kesempatan berkembangnya semua aspek pribadi manusia, atau dengan kata lain rumusan tujuan berisikan pengembangan aspek pribadi manusia. Sukintaka (2004:27) mengutip Winarno Surachmad (1980) menyatakan bahwa: mengajar merupakan peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah oleh tujuan, dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan.

Oleh sebab itu termasuk guru pendidikan jasmani, harus benar-benar memahami tujuan pendidikan sehingga guru tersebut akan mampu menentukan langkah-langkah yang tepat sehingga pencapaian tujuan akan lebih terjamin. Ciri guru pendidikan jasmani yang efektif adalah: pertama: mampu mengelola lingkungan belajar siswa secara efektif, efesien, dan menimbulkan rasa aman bagi siswa. Kedua: mampu mengelola lingkungan belajar siswa yang dilandasi oleh raga cinta kasih, keterbukaan, semangat dan antusias, sabar dan ikhlas, serta penuh rasa empati. Ketiga: menguasai bahan pelajaran, terampil dalam menggunakan berbagai metode dan gaya mengajar yang bervariasi, dan menggunakan pendekatan individual. Keempat: selalu tampil rapih, bersih, semangat, serta riang dan gembira (Toto Subroto, 2000:57).

Selanjutnya menurut Toto Subroto (2000:31) tentang tugas guru pendidikan jasmani: 1) Membimbing aktivitas siswa. Siswa hanya dapat berenang jika ia melakukan berenang sendiri. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi jika siswa dapat berenang hanya dengan membaca buku tentang berenang. Guru jangan memonopoli aktivitas belajar siswa, tapi harus berfikir aktivitas apa yang dapat diberikan kepada siswa, apa yang dapat dilakukan oleh siswa, 2) Membimbing pengalaman siswa. Berkat pengalaman siswa memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, keterampilan dan lain sebagainya, 3) Membantu siswa tumbuh dan berkembang. Melalui pendidikan dan pengajaran pendidikan jasmani yang kondusif diharapkan siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pembelajaran tidak semata-mata ditujukan kepada ujian, namun lebih dari itu hasil belajar tersebut harus berfungsi positif bagi kehidupan anak dikemudian hari.

Melihat bahwa tugas dan peran guru pendidikan jasmani komplek dan sukar untuk melaksanakannya dengan efektif, maka yang dibutuhkan adalah profil serta karakteristik personal guru pendidikan jasmani. Profil guru pada umumnya setidaknya memenuhi persyaratan: berjiwa Pancasila dan UUD 1945 dan melaksanakan kompetensi guru.

Disamping itu ada persyaratan utama bagi guru yakni mempunyai kelebihan dalam ilmu pengetahuan dan norma yang berlaku. Bagi guru pendidikan jasmani, disamping profil dan persyaratan utama, sebaiknya guru mempunyai persyaratan kompetensi pendidikan jasmani agar ia mampu melaksanakan tugas dengan baik. Persyaratan dimaksud adalah: a) Memahami pengetahuan pendidikan jasmani sebagai bidang studi, b) Memahami karakteristik anak didiknya, c) Mampu membangkitkan dan memberi kesempatan anak didik untuk aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani dan mampu menumbuhkembangkan potensi kemampuan motorik dan keterampilan motorik, d) Mampu memberikan bimbingan dan mengembangkan potensi anak didik dalam proses pembelajaran untuk pencapaian tujuan pendidikan jasmani, e) Mampu merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan menilai serta mengoreksi dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, f) Memiliki pemahaman dan penguasaan kemampuan keterampilan motorik, g) Memiliki pemahaman tentang unsur-unsur kondisi fisik, h) Memiliki kemampuan untuk menciptakan, mengembangkan dan memanfaatkan lingkungan yang sehat dalam upaya mencapai tujuan pendidikan jasmani, i) Memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi anak didik dalam berolahraga, dan j) Mempunyai kemampuan untuk menyalurkan hobinya dalam berolahraga (Sukintaka, 2004:72).

Syarat tersebut harus dimiliki dan mampu dijalankan oleh guru pendidikan jasmani, sebab profesi tersebut banyak diharapkan masyarakat dapat memberi pengaruh besar terhadap lahirnya generasi baru yang sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional seutuhnya.

Kerangka Berpikir

Sesuai dengan tujuan pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi mempunyai arah yang sama, yaitu: mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Ciri-ciri perkembangan seutuhnya ialah semua aspek kejiwaan dan juga jasmani dikembangkan secara berimbang, harmonis dan terintegrasi. Berimbang artinya semua potensi dilayani sesuai dengan proporsi besarnya potensi masing-masing. Sementara harmonis berarti pelayanan terhadap potensi-potensi tersebut tidak pilih kasih. Afeksi, kognisi dan psikomotor juga jasmani diberi layanan yang sama. Terintegrasi berarti dalam mengembangkan potensi-potensi tersebut dikaitkan satu dengan yang lain secara wajar.

Tidak ada pendidikan yang mempunyai sasaran pedagogis, dan tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani. Karena gerak sebagai aktifitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya yang secara alamiah berkembang searah dengan perkembangan zaman.

Tugas dan peran guru pendidikan jasmani adalah bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan gerak siswa, namun berperan juga untuk membantu siswa agar tumbuh dan berkembang sebagai individu yang utuh. Oleh sebab itu tugas dan peran guru pendidikan jasmani bukan hanya sebagai guru, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang membantu siswa untuk menjadi manusia yang berguna.

Terkait dengan tuntutan perkembangan anak, pada dasarnya setiap anak memerlukan tuntutan perkembangan potensi-potensi dasar manusia meliputi potensi berpikir, kreatifitas, keterampilan dan potensi sosial yang mampu membangun kedewasaan emosional, sikap dan jatidiri sebagai manusia terdidik, berilmu dan berpengetahuan.

Pada usia anak sekolah dasar merupakan periode pertumbuhan yang cepat untuk perkembangan pola gerak dasar. Kualitas perkembangan keterampilan dasar pada anak usia sekolah dasar merupakan suatu proses yang berangsur dari perbaikan keterampilan, siswa melakukan secara mekanis dan lebih efesien. Proses ini meliputi perubahan kualitatif dalam keterampilan.

Komponen fisik seperti kekuatan, kelenturan, power dan lainnya belum optimal karena masih dapat terus meningkat pada usia remaja dan dewasa. Karena itu, perkembangan keterampilan gerak masih melalui tahap-tahap secara kualitatif.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa dalam mewujudkan kompetensi yang baik dalam pelaksanaan pembelajaran, guru pendidikan jasmani sekolah dasar mampu mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar sesuai perkembangan usia sekolah dasar, memberikan teknik dan strategi permainan olahraga, internalisasi nilai-nilai sportifitas, jujur, kerjasama, serta pembiasaan pola hidup sehat.

Guru pendidikan jasmani sekolah dasar pada pelaksanaan pembelajaran bukan hanya melalui pengajaran konvensional didalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik, mental, intelektual, emosi, sosial. Aktifitas yang diberikan dalam pengajaran harus mendapatkan sentuhan didaktik-metodik sehingga aktifitas yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.

METODOLOGI PENELITIAN

 

Penelitian ini dilaksanakan di 46 sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Observasi dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2005. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pengamatan/observasi. Populasi terjangkau guru pendidikan jasmani sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur sebanyak 192 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan acak sederhana dan diambil 30 guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. Kisi-kisi instrumen penilaian pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani sebagai berikut: Guru Penjas sebagai: 1) Pengajar, 2) Pemimpin Kelas, 3) Pembimbing, 4) Pengatur Lingkungan, 5) Partisipan, 6) Expeditur, 7) Perencana, 8) Supervisor, 9) Motivator, 10) Penanya, 11) Pengganjar, 12) Evaluator, dan 13) Konselor.

Ujicoba dilakukan pada guru penjas sekolah dasar yang berlokasi dekat dengan wilayah Kampus B, FIK–UNJ dengan mengambil sampel sebanyak 10 orang. Berdasarkan perhitungan hasil pengujian validitas tiap item soal, dari 46 item yang diuji, terdapat 3 item soal yang tidak valid/drop. Berarti 43 soal dapat digunakan dalam penelitian. Teknik analisis data dilakukan dengan statistika deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Jenis Kelamin

Guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang diteliti berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin f (%)
1 Laki-Laki 27 90
2 Perempuan 3 10
Total 30 100 %

Data diatas menunjukkan adanya perbandingan yang mencolok antara guru berjenis kelamin laki-laki dengan guru berjenis kelamin perempuan pada guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur, perbandingan yang didapat adalah 9:1.

Usia

Guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang diteliti berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut.

 

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Rentang Usia Responden

No Rentang Usia Laki-Laki Perempuan
f % f %
1

2

3

4

5

24 – 29

30 – 35

36 – 41

42 – 47

48 – 53

1

1

8

15

2

3,33

3,33

26,64

49,95

6,66

1

2

3,33

6,66

Total 27 90 3 10

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pada jenis kelamin laki-laki usia 42-47 tahun (49,5%) merupakan rentang usia yang paling banyak menjadi guru Penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Rentang usia 24-29 tahun (3,33%) merupakan persentasi terendah untuk guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Untuk guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur yang berjenis kelamin perempuan, rentang usia yang menjadi persentase terbesar adalah 36-41 tahun yaitu 6,66%. Sedangkan persentase terendah adalah rentang usia 30-35 tahun, yaitu 3,33%.

 

Tingkat Pendidikan

Guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang diteliti berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden

No Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan
f % f %
1

2

3

S1

D3

D2

6

7

14

19,98

23,31

46,62

1

1

1

3,33

3,33

3,33

Total 27 90,00 3 10

Berdasarkan data diatas, dapat diketahui tingkat pendidikan yang memiliki persentase terbanyak adalah D2 (46,62%), pada guru berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan S1 (19,98%) merupakan persentase terendah pada tingkat pendidikan guru penjas sekolah dasar di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.

Pada guru Penjas sekolah dasar berjenis kelamin perempuan memiliki persentase yang seimbang antara tingkat pendidikan S1, D3 maupun D2, meski jumlahnya cenderung lebih sedikit.

Pembahasan

Interpretasi hasil analisis data setiap butir pertanyaan diperoleh sebagai berikut: Sebagai Pengajar: a) dalam memberikan petunjuk belajar, 40% guru Penjas sekolah dasar di Jakarta Timur mendapatkan nilai baik, 26,7% cukup baik, 23,3% sangat baik, dan 10% kurang baik, b) dalam memberikan petunjuk cara-cara mempelajari, guru sekolah dasar di Jakarta Timur mendapatkan nilai baik 36,7%, cukup baik dan sangat baik masing-masing 26,7%, kurang baik 10%, serta 0% yang buruk, dan c) sebanyak 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur baik dalam menginformasikan aturan-aturan yang harus di patuhi pada awalnya pembelajaran. 26,7% cukup baik, 16,7% sangat baik, 16,7% kurang baik, serta 3,3% buruk.

Sebagai Pemimpin Kelas: a) sebanyak 46,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur buruk dalam memberikan tugas terstruktur kelompok untuk dikelas. 20% sangat baik, 13,3% cukup baik, 10% baik dan 10% lagi kurang baik, b) dalam memberikan tugas terstruktur kelompok untuk dirumah 46,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur buruk 16,7% Cukup baik, 16,7% kurang baik dan 6,7% sangat baik serta 13,3% yang baik, c) dalam mendorong terjadinya tanya jawab, dialog atau diskusi kelas, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 30% cukup baik, 30% kurang baik, 16,7% buruk serta 20% baik, serta 3,3% sangat baik, d) dalam mendorong terjadinya diskusi kelompok, sesama peserta didik, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 30% kurang baik, 23,3% cukup baik, 23,3% buruk, 20,0% baik, serta 3,3% sangat baik, dan d) dalam memberi kesempatan peserta didik untuk mengkomunikasikan ide, temuan dan hasil karya di hadapan teman-temannya, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 40,0% kurang baik, 26,7% cukup baik, 13,3% baik, 13,3% buruk, serta 6,7% sangat baik.

Sebagai Pembimbing: a) dalam menjelaskan kompetensi akan dicapai guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 36,7% cukup baik, 33,3% baik, 16,7% sangat baik, dan 13,3% kurang baik, b) dalam mendeskripsikan materi yang akan dipelajari, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 50% cukup baik, 20% baik, 13,3% sangat baik, 13,3% kurang baik, serta 3,3% buruk, dan c) dalam menjelaskan relevansi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 33,3% kurang baik, 26,7% cukup baik, 26,7% buruk, serta 13,3% baik.

Sebagai Pengatur Lingkungan: a) dalam menyediakan alat bantu secara cukup, sesuai dengan jumlah siswa, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur, 30% kurang baik, 26,7% baik, 26,7% cukup baik, 10,0% sangat baik, serta 6,7% buruk, b) dalam mendemonstrasikan alat bantu secara cukup sesuai dengan jumlah siswa, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur, 26,7% baik, 26,7% cukup baik, 26,7% kurang baik, 13,3% buruk, serta 6,7% sangat baik, c) dalam menggunakan alat bantu yang memudahkan pemahaman konsep, guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur 36,7% baik, 36,7% kurang baik, 16,7% cukup baik, 6,7% sangat baik, dan 3,3% buruk, d) dalam menggunakan alat bantu yang mengembangkan keterampilan 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur kurang baik, 33,3% baik, 20,0% cukup baik, 6,7% sangat baik, dan 3,3% buruk, dan e) dalam menggunakan alat bantu yang mengembangkan sikap dan kepribadian, 53,3% guru penjas sekolah dasar di jakarta Timur buruk, 26,7% cukup baik, 16,7% kurang baik, dan 3,3% baik.

Sebagai Partisipan: a) dalam keterampilan memberikan saran, 46,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur kurang baik, 36,7% cukup baik, 13,3% baik, dan 3,3% kurang baik, b) dalam mengarahkan pemikiran kepada kelas, 53,3% guru penjas ekolah dasar di Jakarta Timur kurang baik, 33,3% cukup baik, 6,7% baik, dan 6,7% buruk, dan c) dalam memberikan penjelasan kepada kelas, 53,3 % guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur Cukup baik 20,0% kurang baik, 16,7% baik, 6,7% buruk, serta 3,3% sangat baik.

Sebagai Expeditur: a) dalam membawa alat bantu pembelajaran yang ada di rumah tangga/masyarakat, 36,7% guru penjas sekolah di Jakarta Timur kurang baik 23,3% cukup baik 16,7% baik, 13,3% buruk, serta 10,0% sangat baik, dan b) dalam memanfaatkan lingkungan dalam / diluar sekolah sebagai sumber belajar, 53,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 23,3% baik, 20,0% sangat baik, dan 3,3% kurang baik.

Sebagai Rencana: a) dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan urutan yang sistematik. 43,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik, 20% baik, 20% kurang baik, 10% sangat baik, serta 6,7% buruk, b) dalam melaksanakan pengalaman pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode yang tepat, 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 30% baik, 20% sangat baik, 10% kurang baik, serta 3,3% buruk, c) dalam memanfaatkan warna, joke, musik, lagu, gerak atau permainan dalam pembelajaran, 63,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup 20,0% kurang baik, 10,0% baik, dan 6,7% buruk. dan d) dalam melakukan perubahan letak meja dan kursi di kelas sesuai dengan keperluan, 76,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur buruk, 13,3% kurang baik, dan 10% baik.

Sebagai Supervisor: a) dalam mendeteksi hal-hal yang berpeluan menggaggu suasana belajar, 53,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 23% baik, 20,0% sangat baik, dan 3,3% kurang baik, b) dalam mengamati situasi kelas secara menyeluruh dan periodik 53,3% guru penjas sekolah dasar Jakarta Timur cukup baik, 23,3% kurang baik, 13,3% baik, 10,0% sangat baik, serta 3,3% buruk, dan c) dalam menghentikan pembelajaran sejenak untuk memberikan solusi terhadap gangguan kelas, 43,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik, 23,3% baik, 20,0% kurang baik, 10,0% sangat baik, serta 3,3% buruk.

Sebagai Motivator: a) dalam menimbulkan penampilan anak, 46,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik,16,7% baik 16,7% sangat baik, 16,7% kurang baik, serta 3,3% buruk, b) dalam memberikan pengakuan kepada peserta didik yang berhasil, 60,0% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 26,7% baik, dan 13,3% sangat baik, dan c) dalam mencatat berbagai bentuk prestasi belajar, 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur baik, 20% sangat baik, 20,0% cukup baik, 13,3% buruk, serta 10,0% kurang baik.

Sebagai Penanya: a) dalam merangsang peserta didik bertanya, 40,0% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur kurang baik, 36,7% kurang baik, dan 23,3% baik, b) dalam merangsang peserta didik berpikir, 40,0% guru penjas sekolah di Jakarta Timur kurang baik 23,3% baik, 20,0% cukup baik, 13,3% buruk, serta 3,3% sangat baik, dan c) dalam merangsang peserta didik memecahkan masalah, 40,0% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur buruk 23,3% baik, 20,0% kurang baik, 13,3% cukup baik, serta 3,3% buruk.

Sebagai Pengganjar: a) dalam memberikan penghargaan terhadap anak-anak yang berprestasi. 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 33,3% sangat baik, 20,2% baik 6,7% kurang baik, serta 3,3% buruk, dan b) dalam memberikan hukuman yang mendidik bagi peserta didik yang melanggar, 30% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik, 30,0% kurang baik, 20,0% baik, 16,7% sangat baik, serta 3,3% buruk.

Sebagai Evaluator: a) dalam menilai hasil belajar ketermpilan yang telah di capai, 33,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur masing-masing sangat baik dan cukup, 20% kurang baik, dan 13,3% baik, b) dalam mengevaluasi hasil belajar yang telah di capai anak. 40,0% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik, 36,7% baik, 20,0% sangat baik, dan 3,3% kurang baik, c) dalam memberikan umpan balik. 53,3% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik, 20,0% kurang baik, 13,3% baik, 10,0% sangat baik, serta 3,3% buruk, dan d) dalam membuat kesimpulan hasil belajar kelas, 36,7% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur baik, 23,3% cukup baik, sangat baik serta kurang baik masing-masing 16,7% dan buruk 6,7%.

Sebagai Konselor: a) dalam bertanya tentang pengalaman peserta didik, 40% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik dan kurang baik 16,7% buruk, dan 3,3% baik, b) dalam bertanya tentang minat peserta didik. 50,0% guru penjas di Jakarta Timur cukup baik, 23,3% kurang baik. 13,3% buruk, 10,0% baik serta 3,3% sangat baik, dan c) dalam bertanya tentang kemampuan peserta didik. 40,0% guru penjas sekolah dasar di Jakarta Timur cukup baik 30% kurang baik, 16,7% baik, dan 13,3% buruk.

Secara keseluruhan kompetensi guru pendidikan jasmani Sekolah Dasar di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur dalam pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut: ada 18 orang (59,94%) termasuk kategori cukup baik, 7 orang (23,31%) termasuk kategori kurang baik, dan hanya 5 orang (16,65%) termasuk dalam kategori baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil tentang kompetensi guru pendidikan jasmani sekolah dasar dalam pelaksanaan pembelajaran di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur termasuk dalam kategori cukup baik.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis oleh peneliti serta memperhatikan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: 1) Mahasiswa Fakultas Olahraga: Dibutuhkan lagi wawasan serta pengetahuan tentang kompetensi guru, terutama pelaksanaan pembelajaran karena pada saat itulah interaksi antara guru dan murid benar-benar terjadi, sehingga guru harus lebih sensitif terhadap tingkah laku murid maupun dirinya sendiri, 2) Guru Olahraga: Agar lebih mengembangkan ilmu tentang kompetensi guru, khususnya pelaksanaan pembelajaran dan penerapannya di lapangan. Tentu saja diharapkan agar guru lebih menyadari kompetensinya sebagai guru untuk itu, berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada selayaknya para guru meningkatkan kompetensi professional.

DAFTAR RUJUKAN

Abin Syamsudin, Nandang Budiman, Profesi Keguruan 2, Jakarta: Universitas Terbuka, 2003.

Aip Syarifuddin. 1994. Dasar-Dasar di Dalam Proses Belajar Mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta: IKIP Jakarta.

Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan. 1994. Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Djohar. 2003. Pendidikan Strategik. Yogyakarta: LESFI.

Made Pidarta. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi. 1981. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Moh. Uzer Usman. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Oemar Hamalik. 1998. Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Mandar Maju.

Oemar Hamalik. 2003. Pendidikan Guru. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Rusli Ibrahim. 2000. Profesi Kependidikan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Rusli Lutan. 2001. Mengajar Pendidikan Jasmani. Jakarta: Depdiknas.

Sardiman. 1990. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Nuansa.

Toto Subroto. 2000. Pemantapan Kemampuan Belajar. Jakarta: Depdikbud.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Samsudin, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta

[2] Yunita Lasma, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta

Kesetaraan Gender dalam Pemberitaan Foto Artikel Olahraga pada Koran Di Jakarta

Del Asri, Sukiri[1], Sri Setioningrum[2]

Jurnal Pendidikan Jasmani Volume 5 No 1 Mei 2006 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan frekuensi foto artikel olahraga antara atlet laki-laki dengan atlet perempuan pada koran terbitan Jakarta. Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Populasi penelitian ini adalah koran terbitan Jakarta. Sampel dalam penelitian adalah 6 koran yaitu: Koran Tempo, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Berdasarkan sampel tersebut, didapat 504 edisi.

Pengujian hipotesis dari penelitian ini adalah Uji Chi Kuadrat (c2). Uji Chi Kuadrat diperoleh harga c2 sebesar 31,94 lebih besar daripada c2 tabel sebesar 3,84, maka terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi foto artikel olahraga atlet putera dengan atlet puteri. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan frekuensi foto artikel olahraga atlet laki-laki dengan atlet perempuan, terdapat perbedaan gender dalam pemberitaan olahraga pada koran terbitan Jakarta.

 

Kata Kunci: Gender, Koran Harian, Foto Artikel Olahraga

PENDAHULUAN

Gender sejak dua dasawarsa terakhir telah menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, organisasi-organisasi internasional dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan sudah mulai menyuarakan dan bahkan memasukkan banyak usulan bagi pemerintah tentang perlunya pembangunan berwawasan gender yang dimasukkan ke dalam rencana pembangunan pemerintah. Pada pelaksanaannya, pembangunan berwawasan gender ini akan mencakup banyak aspek. Mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, penerangan, dan banyak lagi, termasuk pembangunan sarana fisik. Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial, yang disosialisasikan secara turun temurun dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat, ternyata mengembangkan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan (Miranti Hidajati, 2000:7). Sebagai contoh kaum laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional sedangkan kaum perempuan selalu dianggap mendahulukan perasaan, sehingga anggapan yang muncul di masyarakat tersebut akan lebih menguntungkan kaum lelaki dan mendeskritkan kaum perempuan.

Dalam masyarakat terdapat mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki. Hal itu semata-mata karena perempuan hanya dipandang dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan, dan aspek-aspek manusiawi secara universal yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan.

Kesadaran bahwa gender sebagai pembatas keterlibatan dua kaum yang berbeda menjadi semakin tipis dan nyaris tanpa batas, menjelang habisnya abad 21. Bila melihat masa lampau, betapa kaum perempuan berusaha agar eksistensinya diakui, bukan hanya dalam olahraga saja tetapi kaum perempuan juga harus berkutat dengan beragam hambatan di bidang lainnya.

Gagasan bahwa kaum perempuan memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki mendorong kaum perempuan dari segala tingkat dan kalangan untuk lebih berpartisipasi dan menunjukkan kemampuannya dalam kegiatan olahraga (Harsuki dan Soewatini Elias, 2003:257). Diharapkan dengan timbulnya gagasan tersebut, maka akan terjadi perubahan tatanan budaya dalam masyarakat, dan olahraga dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk pemberian nilai yang sama antara laki-laki dan perempuan karena dengan meningkatnya kesadaran akan perlunya kesehatan dan kebugaran jasmani mendorong kaum perempuan untuk mengambil bagian dari aktivitas fisik, termasuk olahraga.

Semua orang mempunyai hak untuk melaksanakan olahraga, hal ini dapat dilihat dalam Deklarasi Olahraga, sebagai berikut: Hak asasi setiap orang untuk melaksanakan olahraga, yaitu: 1) Olahraga harus menjadi bagian dalam setiap pendidikan, yang diperlukan untuk mengimbangi dan melengkapi pendidikan serta menyiapkan anak supaya sehat sampai dewasa, 2) Setiap usaha untuk   membatasi kesempatan melaksanakan olahraga dengan alasan apapun, adalah bertentangan dengan semangat olahraga, 3) Setiap olahragawan mempunyai hak   untuk mengembangkan potensinya dalam olahraga, tanpa melihat latar belakangnya, dan 4) Harus tersedia cukup fasilitas agar setiap orang dapat   melaksanakan olahraga sesuai dengan cabang masing-masing (Moch Soebroto, 1973:16).

Di dalam masyarakat, hubungan antara laki-laki dan perempuan telah terbentuk suatu hubungan sosial yang sangat timpang yang terjadi karena dalam setiap aspek kehidupan, laki-laki lebih dihargai bila dibandingkan dengan perempuan. Salah satu ketimpangan yang terjadi tersebut dapat dilihat pada pemberitaan-pemberitaan serta penempatan-penempatan foto artikel di rubrik olahraga pada koran harian-koran harian yang ada di Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, menyadari bahwa keberadaan media massa pada saat ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena media massa mempunyai peran yang cukup besar dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat yaitu melalui pemberian informasi yang tidak sekedarnya, supaya masyarakat tahu atau sadar akan suatu peristiwa namun secara tidak langsung meningkatkan juga pengetahuan mereka yang selanjutnya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam kegiatan olahraga.

Media massa di Indonesia seperti juga di kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang, diharapkan untuk memainkan peranan penting dalam peningkatan pembangunan nasional, karena sudah selama sekitar dua dasa warsa terakhir ini dapat dilihat peningkatan perhatian dari media terhadap olahraga. Semua koran harian menyediakan rubrik olahraga dalam liputan yang cukup banyak meskipun pemberitaannya masih terpusat pada cabang-cabang tertentu yang populer di kalangan masyarakat, misalnya bulutangkis dan sepak bola. Hal tersebut sebenarnya dapat dimaklumi karena daya tarik dari olahraga terletak pada unsur kejutannya yaitu hasil yang sukar direka, serta terletak pada unsur ketegangannya karena ada kesan bahwa olahraga secara efektif mampu membangkitkan ketegangan yang menjadi sumber daya tarik

Koran harian mempunyai peran yang cukup kuat untuk dapat mempengaruhi sikap, norma, dan perilaku seseorang. Oleh karenanya diharapkan koran harian jangan terjebak pada pemberitaan yang sifatnya bias gender. Kebanyakan koran harian memberitakan olahraga secara tidak seimbang antara atlet laki-laki dan atlet perempuan. Apakah itu dari panjang artikel, banyaknya jumlah artikel, dan frekuensi foto untuk menjadi headline sampai frekuensi pemasangan foto pada artikel-artikel olahraga. Jika pemberitaan antara atlet laki-laki dan atlet perempuan pada artikel olahraga di koran harian tidak seimbang, maka banyak yang akan beranggapan bahwa kegiatan olahraga yang mempunyai ciri kompetitif hanya cocok untuk laki-laki, tidak untuk perempuan.

Selain pemberitaan dengan artikel, koran harian juga sering memberitakan suatu peristiwa dengan menggunakan foto karena terkadang hanya dengan melihat foto walaupun tanpa ada artikel, pembaca sudah dapat menangkap pemberitaan yang dimaksud. Foto merupakan bahasa universal dan dengan adanya foto maka halaman-halaman koran harian akan terlihat lebih menarik dan tidak membosankan bagi mata pembaca. Diharapkan dengan adanya foto artikel yang menarik maka banyak orang yang akan membeli koran yang kemudian akan meningkatkan oplah penjualan karena ada sebagian pembaca koran harian yang lebih senang melihat foto daripada membaca artikel berita.

Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan frekuensi foto artikel atlet laki-laki dibandingkan dengan atlet perempuan yang ditampilkan pada koran harian Indonesia?

DESKRIPSI TEORETIS

 

Hakikat Gender

Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis kelamin (Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2001:4). Seks sendiri dapat mengandung arti yaitu perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan secara biologis, misalnya laki-laki memiliki fisik dan otot yang kuat, suara yang berat, memiliki jakun dan alat reproduksinya yang terdiri dari penis, tetis serta sperma, sedangkan perempuan mempunyai hormon yang berbeda dengan laki-laki sehingga terjadi menstruasi. Dari bentuk fisik juga berbeda karena perempuan memiliki pinggul yang lebih besar daripada laki-laki dan juga memiliki perasaan yang lebih sensitif.

Gender sebagai suatu keyakinan yang disosialisasikan secara turun temurun ternyata mengembangkan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami kaum perempuan, yang akhirnya membentuk suatu hubungan sosial yang sangat timpang yang terjadi karena dalam setiap aspek kehidupan, male value lebih dihargai dibandingkan dengan female value (Miranti Hidajati, 2000:7).

Hubungan sosial yang sangat timpang, antara laki-laki dan perempuan, yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan karena masyarakat lebih menghargai laki-laki yang mereka anggap lebih kuat dan dapat bersikap tegas, dibandingkan dengan perempuan yang dianggap hanya sebagai makhluk yang lemah, yang tidak dapat bertindak tegas, dan yang memerlukan laki-laki sebagai pelindungnya.

Gender dapat juga diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Yang mana perbedaan tersebut tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2001:4). Meskipun laki-laki dan perempuan jelas berbeda dalam bentuk fisik dan biologis, sebaiknya perempuan jangan hanya dipandang dari segi seks saja tetapi dilihat juga dari segi kemampuan, kesempatan, dan aspek-aspek manusiawi secara universal yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan.

Walaupun partisipasi perempuan dalam olahraga masih kurang, tetapi dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada partisipasi antara atlet putera dengan atlet puteri pada Olimpiade (1908-1996), dimana pada Olimpiade 1908, pesertanya hanya atlet laki-laki tanpa atlet perempuan, dan mulai Olimpiade 1932 mulai terlihat keikutsertaan atlet perempuan dalam Olimpiade, yang kemudian terjadi peningkatan di tiap Olimpiade berikutnya (Jay J. Coackley, 1998:223).

Penyebab meningkatnya partisipasi olahraga perempuan di Amerika dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: 1) Peluang baru; 2) Tekanan dari pemerintah dalam bentuk title IX; 3) Gerakan kaum perempuan; 4) Gerakan kesehatan dan kebugaran; 5) Adanya tokoh atlet teladan perempuan (Komar Hidayat, 2004:1).

Olahraga memberikan peluang/kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk berprestasi dan mengetahui kemampuan diri sendiri dalam hal kegiatan jasmani/gerak badan. Tekanan dari pemerintah dalam bentuk title IX, Title IX dari Amandemen Pendidikan tahun 1972 melarang diskriminasi jenis kelamin pada setiap organisasi yang menerima dana bantuan dari pemerintah Amerika.

Gerakan kaum perempuan, jika perempuan diberikan kesempatan dalam olahraga dan mampu mengerjakannya maka keikutsertaan perempuan dapat dianggap sebagai simbol perubahan terhadap suatu organisasi yang penuh dengan diskriminasi. Gerakan kesehatan dan kebugaran, meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kebugaran, mempengaruhi para perempuan untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan fisik.

Adanya tokoh atlet teladan perempuan, adanya tokoh atlet teladan terutama dari kaum perempuan, akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang olahraga dan para tokoh tersebut akan sedikit mengurangi pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa olahraga hanya untuk laki-laki.

Berdasarkan uraian tersebut, untuk mengetahui apa itu gender, maka harus dibedakan antara seks dengan jenis kelamin karena seks itu sendiri dapat berarti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Sebenarnya gender dapat dipahami sebagai suatu keyakinan yang disosialisasikan secara turun temurun tetapi dapat pula menimbulkan suatu bentuk ketidakadilan untuk kaum perempuan karena dalam masyarakat terdapat mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki, yang akhirnya memandang perempuan hanya dari segi seksnya saja bukan dari segi kemampuan, kesempatan dan aspek-aspek manusiawi yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan.

Hakikat Pemberitaan Olahraga

Pemberitaan berasal dari kata dasar berita, yaitu laporan/pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan baru saja terjadi (aktual) yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa (Kurniawan Junaedhi, 1991:26). Seorang wartawan dapat memberitakan/melaporkan suatu peristiwa atau keadaan pada koran harian untuk disampaikan kepada masyarakat apabila peristiwa tersebut mempunyai sifat yang umum dan baru saja terjadi.

Di Indonesia, untuk penyusunan berita diatur dalam pasal 3, Kode Etik Jurnalistik yang isinya adalah, “Di dalam menyusun suatu berita, wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini), sehingga tidak mencampurbaurkan fakta dan opini tersebut” (Yurnaldi, 1992:111). Maksud dari tidak mencampurbaurkan antara fakta dan opini adalah untuk mencegah terjadinya penyiaran berita-berita yang diputarbalik atau dibubuhi secara tidak wajar. Dalam Pasal 4 masih dalam Kode Etik Jurnalistik, yang isinya adalah, “kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita” (Yurnaldi, 1992:111).

Berdasarkan uraian tersebut maka pemberitaan merupakan suatu peristiwa yang diberitakan oleh wartawan, yang bersifat umum dan baru saja terjadi, yang dalam penyusunannya harus dibedakan antara fakta dan opini agar tidak terjadi penyiaran berita yang diputarbalikkan atau dibubuhi secara tidak wajar, dan dari kepala-kepala beritanya diharapkan para pembaca sudah mempunyai gambaran tentang isi berita tersebut.

Menurut Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Olahraga adalah bentuk-bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh rekreasi, kemenangan dan prestasi optimal (Aip Sjarifuddin, 1987:11). Olahraga tidak hanya sebagai suatu bentuk kegiatan jasmani saja, tetapi olahraga juga dapat digunakan sebagai sarana bermain, berkumpul bersama, bersenang-senang, dan bila kegiatan jasmani ini dilakukan dengan intensif maka akan diperoleh prestasi yang optimal dalam olahraga.

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Olahraga No. 057 Tahun 1968: “Pengertian Umum” Pasal 4: Olahraga adalah kegiatan manusia yang wajar sesuai dengan kodrat Illahi untuk mendorong, mengembangkan dan membina potensi-potensi fisik, mental dan rokhaniah manusia demi kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi dan masyarakat (Aip Sjarifuddin, 1987:11).

Olahraga merupakan suatu bentuk kegiatan yang wajar bagi manusia karena hal tersebut sudah sesuai dengan kodratnya. Manusia dapat mengembangkan dan membina potensi-potensi fisik dan mental yang ada pada dirinya demi kebahagiaan dan kesejahteraan, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat dengan berolahraga.

Berdasarkan uraian tersebut, maka olahraga dapat berarti suatu bentuk kegiatan jasmani untuk menguatkan, mengembangkan dan menyehatkan badan serta untuk membina potensi-potensi fisik dan rokhani manusia, yang terdapat dalam permainan dan perlombaan, untuk memperoleh kemenangan, kebahagiaan juga prestasi optimal. Dan diharapkan dengan pengembangan dari potensi-potensi fisik tersebut maka akan tercapai kesejahteraan bagi diri sendiri serta masyarakat.

Hakikat Koran

Koran merupakan suatu harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Surat kabar ini dapat terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) kolom. Isinya dapat mengenai informasi sehari-hari dan tergolong merupakan sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar segala berita baru.

Surat kabar dapat dibagi menjadi surat kabar harian dan surat kabar berkala (mingguan, dwimingguan, bulanan, dan seterusnya) serta dapat digolongkan menjadi surat kabar khusus dan surat kabar umum. Surat kabar yaitu sebutan bagi penerbitan pers yang masuk media massa tercetak, yang berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan, yang diterbitkan secara berkala dan diedarkan secara umum. Isinya harus aktual juga universal, maksudnya pemberitaannya harus bersangkut paut dengan manusia dari berbagai golongan dan kalangan (Kurniawan Junaedhi, 1991:257).

Surat kabar yang termasuk media massa tercetak, di dalam pemberitaannya harus aktual dan universal, ini berarti peristiwa atau kejadian yang ingin diberitakan harus peristiwa yang baru saja terjadi dan pemberitaan dalam surat kabar harus berhubungan dengan manusia dari berbagai golongan dan kalangan, apakah itu dari golongan menengah ke bawah ataupun menengah ke atas. Surat kabar juga tidak boleh memilih-milih dalam memberitakannya.

Karl Baschwittz, dalam bukunya yang berjudul “Suratkabar Sepanjang Masa”, cetakan kedua, Keering Amsterdam, 1951 yang dikutip oleh J.B. Wahyudi (1991:94), memberikan persyarakatan kepada barang cetakan yang dapat disebut dengan surat kabar atau koran: 1) Publisitas adalah isi pesan harus umum, siapa saja dapat membaca, 2) Periodisitas adalah harus diterbitkan secara menyeluruh atau dari semua permasalahan di muka bumi ini, 3) Universalitas, 4) Aktualitas adalah harus sesuatu yang masih baru atau hangat, dan 5) Kontinuitas adalah isi pesan harus berkesinambungan dan terus-menerus, selama isi pesan itu masih menjadi perhatian khalayak.

Suatu barang cetakan dapat disebut surat kabar ataupun koran harian bila barang cetakan tersebut mempunyai beberapa persyaratan, di antaranya yaitu harus diterbitkan secara menyeluruh mengenai semua permasalahan yang sedang terjadi, dan juga isi pesannya harus umum dan masih baru. Selama isi pesannya masih menjadi perhatian masyarakat maka pemberitaannya harus berkesinambungan dan terus-menerus diberitakan.

Harian adalah penerbitan pers yang terbit dan beredar setiap hari termasuk hari Minggu kecuali hari libur, meski untuk penerbitan hari Minggu diberi nama secara khusus, misalnya Kompas Minggu, Suara Karya Minggu, Buana Minggu, dan lain-lain (Kurniawan Junaedhi, 1991:87).

Berdasarkan uraian tersebut, koran dapat berarti suatu penerbitan pers yang berupa media massa tercetak yang terbit dan beredar setiap hari termasuk hari Minggu kecuali hari libur, yang terdiri dari beberapa halaman yang berisi karangan-karangan, iklan dan juga berita-berita yang bersifat umum, aktual dan universal. Surat kabar atau koran juga tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar berita baru dan isi pesan harus berkesinambungan dan terus-menerus selama isi pesan tersebut masih menjadi masyarakat.

Hakikat Foto

Foto adalah puisi tanpa kata-kata, sarana komunikasi tercepat yang efektif dan efisien (Yurnaldi, 1992:87). Maksudnya adalah hanya dengan melihat foto, diharapkan orang sudah dapat menangkap apa yang ingin disampaikan dari suatu peristiwa karena foto merupakan salah satu sarana komunikasi yang mudah dan cepat, yang dapat mewakili ribuan kata atau kalimat pada suatu pemberitaan.

Foto dalam surat kabar dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan pembaca yang mempunyai latar belakang yang beraneka macam. Tidak lain dan tidak bukan karena foto merupakan bahasa universal (Don Michael Flournoy, 1989:183). Hanya dengan melihat foto pada surat kabar atau koran, maka para pembaca yang berasal dari berbagai golongan dan latar belakang yang berbeda, banyak yang dapat memahami apa yang tersirat dari suatu berita.

Di dalam pemberitaan pada koran, foto sangat diperlukan dan juga penting karena dengan adanya foto maka akan menolong mata pembaca untuk melihat hal-hal yang menarik dan foto juga membuat segar halaman koran.

Kerangka Berpikir

Dalam masyarakat, sudah sejak kecil dibiasakan terhadap pilihan-pilihan yang berdasarkan kepada perbedaan jenis kelamin. Masyarakat lebih cenderung menilai bahwa perempuan itu adalah kaum yang lemah, yang harus bersikap lemah lembut, keibuan, dan juga tidak boleh berbuat kasar, sedangkan penilaian masyarakat terhadap laki-laki adalah sebaliknya. Masyarakat menilai laki-laki adalah kaum yang kuat, yang harus bersikap jantan dan tegas, dan merupakan kaum untuk memimpin perempuan.

Anggapan yang demikian itulah yang terkadang membuat banyak orang jadi menduga-duga bahwa olahraga yang merupakan kegiatan yang bersifat kompetitif, tidak cocok untuk perempuan. Olahraga hanya cocok untuk laki-laki.

Dugaan tersebut dapat dilihat dari pemberitaan-pemberitaan yang terdapat pada koran harian-koran harian, misalnya pada pemberitaan mengenai olahraga. Dunia olahraga yang sarat dengan budaya fair play terkadang membuat kaum perempuan sulit untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki, karena olahraga kerap dipandang oleh masyarakat sebagai dunianya laki-laki karena dalam olahraga sarat dengan kekerasan dan kontak badan. Bisa diambil contoh dalam beberapa cabang olahraga yang ada atlet laki-laki dan perempuannya, media massa diduga cenderung lebih menonjolkan pemberitaan mengenai atlet laki-laki saja karena berfikiran bahwa dengan memberitakan atlet laki-laki maka akan menaikkan nilai jual koran bila dibandingkan dengan memberitakan tentang atlet perempuan. Bukan hanya dari pemberitaan-pemberitaannya saja yang dibedakan, tetapi dapat dilihat juga pada penempatan-penempatan fotonya, apakah itu foto yang dijadikan sebagai headline ataupun foto yang ditempatkan pada artikelnya. Meskipun dalam suatu cabang diberitakan mengenai atlet laki-laki dan atlet perempuannya juga, namun tidak jarang foto atlet laki-laki lebih sering ditampilkan karena akan kembali berfikir ke arah nilai jual korannya lagi. Semakin lebih sering memberitakan dan menempatkan foto artikel atlet laki-laki bila dibandingkan dengan atlet perempuan, maka akan semakin banyak orang yang tertarik dan akan membeli koran.

Hal ini dapat dimaklumi karena terkadang olahraga sarat dengan kekerasan, sedangkan kekerasan itu sendiri sering diartikan sebagai lambang kejantanan, yang akhirnya pendapat ini akan mempengaruhi perbedaan jenis aktivitas yang akan dilakukan oleh kaum perempuan.

Media massa merupakan bagian dari masyarakat, karena media massa mempunyai pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi norma, sikap, juga perilaku seseorang. Bila media massa sampai terjebak pada pemberitaan yang sifatnya bias gender, maka diduga akan semakin menguatkan kembali pendapat masyarakat yang beranggapan bahwa olahraga yang bersifat kompetitif hanya cocok untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.

METODOLOGI PENELITIAN

 

Tempat penelitian dilakukan di Propinsi DKI Jakarta, Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2004 s/d Januari 2005. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Koran yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah koran terbitan Jakarta dari bulan April s.d. September 2004. Dalam mengambil sampel menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan banyaknya koran harian yang dijadikan sampel, dipilih 6 koran terbitan Jakarta, yaitu: Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Kompas, Rakyat Merdeka, dan Koran Tempo. Untuk menentukan edisi koran harian yang dipilih dalam satu minggu, digunakan teknik sistematik sampling yaitu dalam 1 bulan akan dipilih untuk minggu I dan III koran terbitan hari Senin, Rabu, dan Jumat, sedangkan untuk minggu II dan IV koran terbitan hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Instrument yang digunakan adalah sebuah formulir isian yang terdiri dari masing-masing artikel, nama koran, hari tanggal dan bulan terbit, judul artikel, fokus artikel, posisi artikel, dan foto yang ditampilkan. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan statistik uji chi kuadrat (Sidney Siegel, 1994:53).

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Foto Artikel Olahraga

Sampel dalam penelitian ini adalah foto artikel olahraga yang diambil dari 6 koran harian terbesar di Indonesia terbitan Jakarta, kemudian pada setiap koran harian dalam 1 bulannya diambil 14 edisi sehingga total keseluruhan sampel dari 6 koran harian berjumlah 504 edisi. Jumlah 504 edisi tersebut kemudian diambil foto artikel olahraganya saja, baik olahraga yang berasal dari dalam negeri maupun olahraga yang berasal dari luar negeri. Foto artikel olahraga yang diambil tersebut adalah foto artikel olahraga pada cabang yang terdapat atlet laki-laki dan atlet perempuannya. Berikut rinciannya:

Rakyat Merdeka

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 134 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 60 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 38 36 0 15 25 20 134
Perempuan 10 11 0 10 17 12 60

Koran Tempo

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 65 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 56 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 6 5 4 7 22 21 65
Perempuan 3 10 4 6 13 20 56

Suara Pembaruan

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 80 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 62 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 5 8 6 14 21 26 80
Perempuan 6 8 0 8 15 25 62

Republika

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 71 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 61 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 4 4 22 12 16 13 71
Perempuan 7 9 16 6 9 14 61

Media Indonesia

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 115 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 80 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 13 17 12 15 37 21 115
Perempuan 5 7 6 16 19 27 80

Kompas

Selama bulan April sampai dengan bulan September 2004, didapat foto atlet laki-laki sebanyak 163 foto dan foto atlet perempuan sebanyak 124 foto. Adapun data-datanya sebagai berikut:

April Mei Juni Juli Agustus September Jumlah
Laki-laki 18 20 19 24 52 30 163
Perempuan 9 20 8 10 46 31 124

 

Pengujian Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan uji Chi Kuadrat, hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Jenis Kelamin

Frekuensi F

yang dihrpkan

Kompas Republika Media Indonesia Suara Pembaruan Rakyat Merdeka Koran Tempo
Putera 163 71 115 80 134 65 628 535,5
Puteri 124 61 80 62 60 56 443 535,5
Jumlah 1071 1071

Uji Chi Kuadrat diperoleh harga sebesar 31,94 lebih besar daripada harga sebesar 3,84. Pengujian hipotesis menyatakan bahwa Hi diterima jika , dimana adalah 31,94 lebih besar atau sama dengan dari yaitu 3,84. Dengan taraf kepercayaan , maka terdapat perbedaan yang signifikan antara foto artikel atlet laki-laki dengan foto artikel atlet perempuan.

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan gender dalam pemberitaan olahraga pada koran harian Indonesia, ditinjau dari frekuensi foto artikel olahraga.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, maka dapat disarankan hal sebagai berikut: 1) Redaksi Koran Harian: agar tidak terdapat bias gender dalam pemberitaan pada Koran harian terutama pemberitaan olahraga, dan juga agar menampilkan berita serta foto artikel olahraga yang seimbang antara atlet putera dengan atlet puteri sehingga tidak ada lagi perspektif gender di olahraga di mata masyarakat, 2) Para Pembaca Koran Harian: supaya para pembaca tidak beranggapan bahwa kegiatan olahraga lebih banyak untuk atlet putera daripada atlet puteri.

DAFTAR RUJUKAN

Aip Sjarifuddin. 1987. Olahraga dan Kesehatan Untuk Sekolah Lanjutan Atas dan yang Sederajat. Jakarta: CV Baru.

Flournoy, Don Michael. 1989. Analisa Isi Suratkabar Suratkabar Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Harsuki & Soewatini Elias. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Jay J. Coakley, Ph. D. 1998. Sport in Society Issue and Controversies. Colorado: Irwin McGraw-Hill.

  1. B. Wahyudi. 1991. Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Penerbit Alumni.

Komar Hidayat. 2004. Wanita Dalam Olahraga. Jakarta: Widyaiswara PPPG Tertulis Bidang Studi Olahraga.

Kurniawan Junaedhi. 1991. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Miranti Hidajati. 2000. Perempuan dan Pembangunan. Jakarta: Jurnal Perempuan 17.

Moch Soebroto. 1973. Deklarasi Olahraga. Direktorat Jenderal Olahraga dan Pemuda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ICSPE.

Sidney Siegel. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Trisakti Handayani & Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhammadiyah Malang.

Yurnaldi. 1992. Kiat Praktis Jurnalistik Untuk Siswa, Mahasiswa, dan Calon Wartawan. Padang: Angkasa Raya.

[1] Del Asri, S.Si. dan Drs. Sukiri, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta

[2] Sri Setioningrum, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta

Hasil Studi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Ditinjau dari Proses Seleksi Masuk

Del Asri, Fahmy Fachrezzy, Sukiri, Octavianus Matakupan[1]

Jurnal Pendidikan Jasmani, Volume 4 No 2 November 2005 ISSN 1693-0517

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani yang berasal dari proses seleksi melalui jalur PMDK, SPMB, dan Seleksi Khusus. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif. Populasi adalah semua mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ dari Angkatan 2001 – 2003 yang berjumlah sebanyak 243 orang, diambil semua untuk diteliti. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester I secara keseluruhan untuk Angkatan 2001 sebesar 2,18, Angkatan 2002 sebesar 2,19, dan Angkatan 2003 sebesar 1,83. Rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) pada semester I secara keseluruhan untuk Angkatan 2001 sebesar 2,60, Angkatan 2002 sebesar 2,56, dan Angkatan 2003 sebesar 2,36. Ditinjau proses seleksi masuk maka pada tahun 2003 dari PMDK rata-rata IPK sebesar 2,74, jalur SPMB sebesar 2,46, dan jalur Seleksi Khusus sebesar 2,23. Untuk tahun 2002 dari jalur PMDK rata-rata IPK sebesar 2,44, jalur SPMB sebesar 2,53, dan jalur Seleksi Khusus sebesar 2,63, dan untuk tahun 2001 melalui jalur PMDK rata-rata IPK sebesar 2,88, jalur UMPTN sebesar 2,56, dan jalur Seleksi Khusus sebesar 2,57.

Kata Kunci: Hasil Studi, Proses Seleksi Masuk, Program Studi Pendidikan Jasmani

PENDAHULUAN

Program Studi Pendidikan Jasmani Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta (FIK UNJ) merupakan satu-satunya yang ada di Ibukota Negara, Jakarta. Untuk itu Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ ingin menjadi sentra pengembangan terdepan di Indonesia tentang Pendidikan Jasmani, diantara berbagai program studi sejenis yang tersebar di berbagai propinsi lainnya.

Ada banyak faktor yang dapat berpengaruh untuk mencapai hal tersebut di atas, antara lain adalah (1) sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal baik untuk mata kuliah gerak maupun mata kuliah teori untuk proses belajar mengajar, penelitian yang dilakukan oleh dosen ataupun mahasiswa, dan pengabdian pada masyarakat, (2) sumber daya manusia, dimana ada dosen yang memenuhi standar kompetensi yang diperlukan, mahasiswa, staf administrasi termasuk di dalamnya laboran, teknisi, dan pustakawan. (3) Pendanaan, yang mana faktor ini sering menjadi kendala dimana tingkat kebutuhan yang tinggi sementara sumber-sumber pendanaan terbatas karena kondisi perekonomian Negara Indonesia yang tidak menunjang.

Mahasiswa sebagai salah satu faktor sumber daya manusia yang mempunyai potensi berpengaruh cukup besar untuk diakui sebagai sentra pengembangan pendidikan jasmani. Untuk itu Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ sesuai dengan kebijakan dari Universitas Negeri Jakarta diberikan otonomi melakukan suatu proses seleksi dalam menyaring calon-calon mahasiswa yang berkualitas melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan Seleksi Khusus. Dengan diperolehnya mahasiswa yang berkualitas, tentunya diharapkan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas baik sehingga akan memudahkan bekerja sesuai dengan profesinya.

Sedangkan mekanisme seleksi calon mahasiswa baru untuk program studi, seperti yang disebutkan di atas. Sejauh ini Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ belum mempunyai kebijakan khusus dalam menentukan proporsi penerimaan mahasiswa baru dari ketiga jalur tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti merasa perlu mengadakan suatu penelitian ilmiah yang dapat memberikan gambaran tentang hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani ditinjau dari proses seleksi masuk di Fakultas Ilmu Keolahragaan. Maka dapat dirumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut: Bagaimanakah hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani ditinjau dari proses seleksi masuk melalui jalur PMDK, SPMB, dan Seleksi Khusus?

DESKRIPSI TEORI

Hakikat Hasil Studi

Hasil studi adalah nilai yang diperoleh mahasiswa bagi semua mata kuliah yang diprogram dalam KRS dan dicantumkan dalam kartu hasil studi (KHS) (http://bppub.brawijaya.ac.id/menu 4/index.php?file=4_2, diakses pada tanggal 15 Agustus 2004). Beban studi mahasiswa selama satu semester perkuliahan berhak mengambil lebih dari satu mata kuliah sebanyak 12 – 24 SKS (Satuan Kredit Semester). Untuk mengetahui hasil studi mahasiswa yang mengikuti beberapa mata kuliah tersebut dihitung dan diakumulasi berdasarkan dari nilai-nilai yang diperoleh dan disebut dengan Indeks Prestasi.

Indeks Prestasi adalah tingkat keberhasilan studi yang dicapai oleh mahasiswa dari semua kegiatan akademik yang diikuti mahasiswa tersebut dalam jangka tertentu, yang dinyatakan dalam bentuk bilangan dengan skala antara 0,00 – 4.00. Ada tiga jenis Indeks Prestasi yang dikenal di Universitas Negeri Jakarta terdiri atas, yaitu Indeks Prestasi Semester (IPS), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), dan Indeks Prestasi Akhir (IPA).

Indeks Prestasi Semester (IPS) adalah tingkat keberhasilan studi yang dicapai oleh mahasiswa dari semua kegiatan akademik dalam satu semester tertentu. Nilai Indeks Prestasi Semester (IPS) diperoleh dari pembagian antara jumlah hasil perkalian antara bobot sks semua mata kuliah yang diambil dan nilai konversi dari nilai akhir masing-masing mata kuliah dengan jumlah sks seluruh mata kuliah yang diikuti pada semester bersangkutan baik yang lulus maupun yang tidak lulus, dengan rumus (Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2003/2004) sebagai berikut:

Keterangan:

IPS          : Indeks Prestasi Semester

Xi             : Beban SKS suatu mata kuliah tertentu

Yi                    : Nilai prestasi belajar dari mata kuliah tertentu

n              : Banyaknya SKS yang diambil pada semester tersebut

Indeks Prestasi Semester ini berguna untuk menentukan beban studi maksimal yang dapat diambil oleh seorang mahasiswa pada semester berikutnya. Berdasarkan Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2003/2004 jumlah beban studi maksimal yang dapat diambil berdasarkan Indeks Prestasi Semester (IPS).

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) adalah dari pembagian antara jumlah hasil perkalian antara bobot SKS semua mata kuliah yang diambil dan nilai konversi dari nilai akhir masing-masing mata kuliah dengan jumlah SKS seluruh mata kuliah yang lulus saja, yang dapat dihitung secara kumulatif untuk satu atau beberapa semester. dengan rumus (Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2003/2004) sebagai berikut:

Keterangan:

IPK          : Indeks Prestasi Kumulatif

Xi             : Beban SKS suatu mata kuliah tertentu

Yi                    : Nilai prestasi belajar dari mata kuliah tertentu

n              : Banyaknya SKS yang diambil dan telah lulus.

Mahasiswa diharapkan dapat memenuhi ketentuan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal yang telah ditetapkan yaitu sebesar 2,00. Selain itu Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) digunakan untuk menentukan jalur penyelesaian studi mahasiswa, dimana untuk IPK lebih besar atau sama dengan 2,50 dapat menggunakan jalur skripsi atau karya inovatif. Sedangkan bagi mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 2,50 dapat menggunakan jalur ujian komprehensif.

Pada saat mahasiswa telah berhasil menyelesaikan studinya baik melalui jalur skripsi, karya inovatif, atau komprehensif, kemudian digunakan untuk menentukan predikat kelulusannya (yudisium) maka dihitung Indeks Prestasi Akhir (IPA). Indeks Prestasi Akhir (IPA) dihitung dari dua komponen yaitu Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Nilai Ujian Skripsi (NUS) bagi jalur skripsi, atau Nilai Ujian Komprehensif (NUP) bagi jalur komprehensif, atau Nilai Ujian Karya Inovatif (NUKI) dengan rumus sebagai berikut untuk: 1) jalur skripsi , 2) komprehensif , dan 3) karya inovatif

Hakikat Mahasiswa

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 mahasiswa adalah sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu. Sedangkan menurut Soeganda dan Harahap (1987) dalam ensiklopedi Pendidikan menerangkan pengertian mahasiswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan di jalur pendidikan sekolah.

Ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang mahasiswa adalah sebagai berikut: (1) Berorientasi pada kegiatan yang mengembangkan intelektualitas, (2) Mengembangkan ilmu pengetahuan serta menerapkannya secara lebih mendalam sesuai dengan kondisi yang ada, tanpa melupakan pendekatan secara menyeluruh dan melaksanakan disiplin, (3) Menyadari hubungannya antara keterampilan dan kehidupan nyata, (4) Mengembangkan ilmu pengetauan untuk kepentingan masyarakat (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 1989).

Mahasiswa diwajibkan melakukan daftar ulang dan peraturan yang berlaku lainnya setiap semester sampai mereka dinyatakan lulus. Bagi mahasiswa yang telah mendaftar ulang maka ia mempunyai hak penuh sebagai mahasiswa dan dianggap sebagai mahasiswa aktif. Artinya mahasiswa tersebut dapat mengikuti perkuliahan dan nantinya pada saat akhir perkuliahan akan mendapatkan Kartu Hasil Studi untuk semester tersebut.

Sedangkan bagi mahasiswa yang tidak mendaftar ulang untuk semester yang sedang berlangsung atau mahasiswa tidak aktif, maka mahasiswa tersebut nantinya jika ingin mengikuti perkuliahan pada semester berikutnya diwajibkan membayar SPP untuk semester yang akan berlangsung dan semester sebelumnya. Dimana semester yang tidak diikuti oleh mahasiswa tersebut dihitung sebagai masa studi. Mahasiswa yang mempunyai alasan cukup kuat dan tidak dapat mengikuti perkuliahan dapat mengambil cuti kuliah. Bagi mahasiswa cuti kuliah diwajibkan membayar SPP sebesar 25% saja, dan waktu cuti kuliah tersebut tidak diperhitungkan sebagai masa studi. Mahasiswa dapat mengambil cuti kuliah maksimal 2 semester secara berturut-turut atau tidak.

Hakikat Program Studi Pendidikan Jasmani

Keberadaan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi oleh karena adanya perkembangan kebutuhan masyarakat akan guru pendidikan jasmani yang memiliki kemampuan profesional untuk melakukan proses pembelajaran dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah (SMA/SMK). Selain itu, kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya berolahraga sebagai bagian integral dari kehidupan, mendorong tumbuhnya berbagai klub-klub olahraga dan kebugaran baik yang berorientasi pada peningkatan kebugaran tubuh maupun pencapaian prestasi maksimal. Hal ini menjadi indikator semakin pentingnya keberadaan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi.

Pada tahun 1998 Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi memperoleh akreditasi A (Sangat Baik) dari Badan Akreditasi Nasional dengan Surat Keputusan Nomor: 01549/Ak-II.1/IKJPWJ/XII/1998. Visi Program Studi Pendidikan Jasmani menjadi pusat pembelajaran, penelitian, pelatihan, pendidikan, dan pengembangan pendidikan jasmani, serta menghasilkan guru pendidikan jasmani yang profesional dalam menghadapi perkembangan IPTEK dan mampu bersaing dalam era globalisasi (Rapat Kerja FIK UNJ, 2002).

Sedangkan misi Program Studi Pendidikan Jasmani mengembangkan tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka menghasilkan tenaga guru pendidikan jasmani yang profesional pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah, Tinggi, dan Adaptif (Rapat Kerja FIK UNJ, 2002).

Hasil Rapat Kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan (2002) merumuskan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan Program Sarjana Pendidikan Jasmani adalah: 1) Sebagai ahli pendidikan jasmani pada jenjang Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi, Pendidikan Jasmani Adaptif, baik secara konseptual maupun secara pragmatis. 2) Memiliki kemampuan untuk melaksanakan kegiatan penelitian dalam bidang pendidikan jasmani maupun dalam bidang penegelolaan olahraga. 3) Memiliki kemampuan untuk menganalisis perkembangan fisik, motorik, intelektual dan sosial siswa sesuai dengan konsentrasi keahliannya. 4) Memiliki keahlian sebagai guru pendidikan jasmani yang spesifik sesuai dengan konsetrasi jenjang pendidikan. 5) Memiliki kompetensi untuk melaksanakan layanan kepada masyarakat dalam bidang pendidikan jasmani dan olahraga. 6) Memiliki kompetensi untuk melaksnakan bimbingan dan konseling di bidang pendidikan jasmani. 7) Memiliki kemampuan menjadi guru pendidikan jasmani yang mampu bersaing dalam era globalisasi, dalam bidang pendidikan jasmani dan olahraga.

Hakikat Proses Seleksi Masuk

Proses seleksi masuk mahasiswa adalah suatu mekanisme yang diterapkan dalam rangka untuk menyaring calon-calon mahasiswa yang mempunyai kualitas dan syarat-syarat yang telah ditentukan baik melalui tes atau seleksi berkas sehingga dapat diterima sebagai mahasiswa. Mekanisme penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan oleh Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ sesuai dengan yang telah diatur oleh Universitas Negeri Jakarta yaitu melalui jalur: 1) Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), 2) Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan Seleksi Khusus (Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2003/2004).

Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) ditawarkan pada siswa-siswa kelas III Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang memiliki prestasi akademik atau non akademik yang baik. Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ dalam menyaring calon mahasiswa melalui jalur ini selain nilai rapornya harus baik juga harus mempunyai prestasi olahraga ditingkat daerah atau nasional atau internasional. Calon mahasiswa tidak mengikuti tes tertulis hanya dilakukan seleksi berkas yaitu dari nilai rapor dan dokumen penunjang dari yang bersangkutan dan tes keterampilan olahraga. Hasil seleksi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan ini diumumkan sebelum pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dibuka.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) adalah proses seleksi mahasiswa baru yang dilakukan serentak secara nasional oleh Panitia Ujian Masuk Lokal (PUML) berdasarkan wilayah tertentu untuk dapat diterima di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di seluruh Indonesia. Peserta Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) biasanya dibatasi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat yang lulus tiga tahun terakhir pada saat ujian dilaksanakan. Jadi untuk ujian Tahun 2004 dapat diikuti oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang lulus pada tahun 2002, 2003, dan 2004. Untuk calon mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani selain harus mengikuti ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) juga harus mengikuti tes keterampilan olahraga setelah tes tertulis pada waktu yang ditentukan.

Seleksi Khusus mulai diadakan sejak Tahun 2001, dimana seleksi ini ditekankan lebih kepada prestasi dibidang olahraga. Tes yang dilakukan secara tertulis untuk mengetahui kemampuan akademik, dan tes keterampilan olahraga untuk mengetahui kemampuan dibidang olahraga. Hanya saja pada seleksi khusus ini bobot penilaian untuk tes keterampilan olahraga lebih tinggi dibandingkan tes tertulis. Seleksi Khusus diadakan setelah hasil Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) diumumkan.

Kerangka Berpikir

Sebagai suatu institusi pendidikan negeri yang menghasilkan sarjana dengan kompetensi menjadi guru pendidikan jasmani, Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ bertanggung jawab untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat diterima dengan baik di pasar kerja.

Salah satu faktor yang ikut berperan dalam menentukan kualitas lulusan adalah kualitas masukan mahasiswa. Jadi jika calon-calon mahasiswa yang masuk dan kemudian diterima sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ mempunyai kualitas yang baik, tentunya akan menghasilkan lulusan yang berkualitas baik juga. Tentunya masih banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi kualitas lulusan misalnya pendanaan, fasilitas, dan kualitas dosen.

Untuk itu Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melakukan suatu proses seleksi dalam penerimaan mahasiswa baru, melalui 3 jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru yaitu: (1) Penulusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), (2) Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan (3) Seleksi Khusus. Dimana ketiga jalur penerimaan mahasiswa baru ini tujuannya sama yaitu mendapatkan mahasiswa baru yang berkualitas.

Diantara ketiga proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani tersebut, tentunya masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Misalnya untuk jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) diharapkan dari seleksi ini diperoleh mahasiswa yang mempunyai kemampuan akademik yang baik dan prestasi tertentu dibidang olahraga baik tingkat daerah, nasional, atau internasional. Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang merupakan suatu proses seleksi mahasiswa untuk diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diharapkan diperoleh mahasiswa yang mempunyai kemampuan akademik yang baik, tetapi prestasi olahraganya tidak menonjol. Meskipun demikian tetap harus lulus tes keterampilan olahraga disamping tes tertulis, tujuannya agar dapat diketahui sejauh mana kemampuannya untuk mengikuti perkuliahan gerak nantinya. Seleksi Khusus baru diadakan sejak Tahun 2001 hingga sekarang. Jalur ini diadakan dengan tujuan bagi calon mahasiswa yang mempunyai prestasi olahraga yang menonjol, tetapi kemampuan akademiknya cukup atau kurang dapat tertampung melalui jalur seleksi khusus ini.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 (empat) bulan dari bulan Mei – Agustus 2004, bertempat di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Angkatan 2001, Angkatan 2002, dan Angkatan 2003 yang berjumlah 243 orang. Seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Angkatan 2001, Angkatan 2002, dan Angkatan 2003 diikutkan dalam penelitian ini, yang dikenal dengan istilah sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder, dari fotokopi Kartu Hasil Studi (KHS). Untuk memperoleh gambaran tentang hasil penelitian yang dilakukan, maka data penelitian dianalisis dengan analisis statistika deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Para Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ yang diteliti berjumlah 243 orang, yang terdiri dari laki-laki berjumlah 212 orang (87,24%) dan perempuan 31 orang (12,76%). Jika dilihat dari tahun masuk sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani dan jenis kelaminnya, maka dapat diketahui dari Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Jenis Kelamin dan Tahun Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Tahun Masuk Jenis Kelamin Total
L % P % Jumlah %
2003 81 94.19 5 5.81 86 35.39
2002 71 87.65 10 12.35 81 33.33
2001 60 78.95 16 21.05 76 31.28
Total 212 31 243 100.00

Berdasarkan proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ yang terdiri dari jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) atau Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) khusus angkatan 2001, dan Seleksi Khusus dapat diketahui dari Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Proses Seleksi Masuk dan Tahun Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Tahun Masuk Proses Seleksi Masuk Total
PMDK % SPMB % Khusus % Jumlah %
2003 4 4.65 40 46.51 42 48.84 86 100.00
2002 12 14.81 34 41.98 35 43.21 81 100.00
2001 8 10.53 25* 32.89 43 56.58 76 100.00
Total 24 10.25 99 40.57 120 49.18 243

* Khusus Tahun 2001 istilahnya UMPTN

Hasil Studi Mahasiswa Tahun 2003 Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2003 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 1,86, dimana terbanyak kurang dari 2,0 ada 44 orang (51,16%) dan hanya 2 orang (2,33%) yang memiliki IPS lebih besar dari 3,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Semester (IPS) rata-rata 2,67, dimana sebanyak 2 orang (50%) berada pada rentang 2,0 – 2,49 dan 2 orang (50%) berada pada rentang 2,5 – 3,0. Sedangkan dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 1,82, dimana terbanyak kurang dari 2,0 ada 24 orang (60%) dan hanya 1 orang (2,5%) lebih dari 3,0. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 1,83, dimana sebagian besar kurang 2,0 ada 20 orang (47,62%) dan hanya 1 orang (2,38%) yang lebih dari 3,0Berikut ini dapat dilihat hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 079 untuk Angkatan 2003, berupa Indeks Prestasi Semester (IPS) selengkapnya pada Tabel 3.

Tabel 3. Indeks Prestasi Semester (IPS) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2003 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPS < 2 IPS 2.0 – 2.49 IPS 2.50 – 3.00 IPS > 3.0 Total IPS
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK        – 2 50.00 2 50.00      – 4 2.67
SPMB 24 60.00 10 25.00 5 12.50 1 2.50 40 1.82
Khusus 20 47.62 19 45.24 2 4.76 1 2.38 42 1.83
Total 44 51.16 31 36.05 9 10.47 2 2.33 86 1,86

Sedangkan prestasi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 079 untuk Angkatan 2003, berupa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) selengkapnya pada Tabel 4.

Tabel 4. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2003 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPK < 2 IPK 2.0 – 2.49 IPK 2.50 – 3.00 IPK > 3.0 Total IPK
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK          – 1    25.00 3    75.00      – 4 2.74
SPMB 4 10.00 18    45.00 16    40.00 2 5.00 40 2.46
Khusus 4    9.52 31    73.81 5    11.90 2 4.76 42 2.23
Total 8 9.30 50 58.14 24 27.91 4 4.65 86 2.36

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2003 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,36, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 50 orang (58,14%) dan hanya 4 orang (4,65%) yang memiliki IPK lebih besar dari 3,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 2,74, dimana sebanyak 1 orang (25%) berada pada rentang 2,0 – 2,49 dan 3 orang (75%) berada pada rentang 2,5 – 3,0. Sedangkan dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,46, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 18 orang (45%)dan hanya 2 orang (5%) lebih dari 3,0. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,23, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 31 orang (73,81%) dan hanya 2 orang (4,76%) yang lebih dari 3,0.

Hasil Studi Mahasiswa Tahun 2002 Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ

Hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 077 untuk Angkatan 2002, selengkapnya pada Tabel 5.

Tabel 5. Indeks Prestasi Semester (IPS) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2002 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPS < 2 IPS 2.0 – 2.49 IPS 2.50 – 3.00 IPS > 3.0 Total IPS
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK 1    8.33 8    66.67 3    25.00      – 12 2.21
SPMB 10 29.41 18    52.94 6    17.65      – 34 2.13
Khusus 8 22.86 12    34.29 12    34.29 3 8.57 35 2.24
Total 19 23.46 38 46.91 21 25.93 3 3.70 81 2.19

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2002 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 2,19, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 38 orang (46,91%) dan hanya 3 orang (3,70%) yang memiliki IPS lebih besar dari 3,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Semester rata-rata 2,21, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 8 orang (66,67%) dan hanya sebanyak 1 orang (8,33%) kurang dari 2,0. Sedangkan dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 2,13, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 18 orang (52,94%) dan sebanyak 6 orang (17,65%) berada pada rentang 2,5 – 3,0. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 2,24, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 dan antara 2,50 – 3,00 masing-masing sebanyak 12 orang (34,29%) dan hanya 3 orang (8,57%) yang lebih dari 3,0.

Sedangkan prestasi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 077 untuk Angkatan 2002, selengkapnya pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2002 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPK < 2 IPK 2.0 – 2.49 IPK 2.50 – 3.00 IPK > 3.0 Total IPK
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK        – 7    58.33 5    41.67 12 2.44
SPMB 1    2.94 14    41.18 19    55.88      – 34 2.53
Khusus 1    2.86 9    25.71 22    62.86 3 8.57 35 2.63
Total 2 2.47 30 37.04 46 56.79 3 3.70 81 2,56

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2002 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,56, dimana terbanyak antara 2,50 – 3,00 ada 46 orang (56,79%) dan hanya ada 2 orang (2,47%) yang memiliki IPK kurang dari 2,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 2,44, dimana sebanyak 7 orang (58,33%) berada pada rentang 2,0 – 2,49, sebanyak 5 orang (41,67%) berada pada rentang 2,5 – 3,0. Sedangkan dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,53, dimana terbanyak antara 2,5 – 3,0 ada 19 orang (55,88%) dan hanya 1 orang (2,94%) kurang dari 2,0. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,63, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 22 orang (62,86%) dan hanya 1 orang (2,86%) kurang dari 2,0.

Hasil Studi Mahasiswa Tahun 2001 Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ

Hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 075 untuk Angkatan 2001, selengkapnya pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks Prestasi Semester (IPS) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2001 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPS < 2 IPS 2.0 – 2.49 IPS 2.50 – 3.00 IPS > 3.0 Total IPS
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK 1    12.5 1    12.50 4    50.00 2 25.00 8 2.71
UMPTN 10 40.00 8    32.00 4    16.00 3 2.00 25 2.15
Khusus 14 32.56 15    34.88 13    30.23 1 2.33 43 2.10
Total 25 32.89 24 31.58 21 27.63 6 7.89 76 2.18

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2001 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 2,18, dimana terbanyak kurang dari 2,0 ada 25 orang (32,89%) dan hanya 6 orang (7,89%) yang memiliki IPS lebih besar dari 3,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Semester rata-rata 2,71, dimana terbanyak antara 2,5 – 3,0 ada 4 orang (50%) dan hanya 1 orang (12,5%) kurang dari 2,0 dan antara 2,0 – 2,49. Sedangkan dari Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) sebesar 2,15, dimana terbanyak kurang dari 2,0 ada 10 orang (40%) dan hanya 3 orang (2%) lebih dari 3,0. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata IPS sebesar 2,1, dimana terbanyak antara 2,0 – 2,49 ada 15 orang (34,88%) dan hanya 1 orang (2,33%) yang lebih dari 3,0.

Sedangkan prestasi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada semester 075 untuk Angkatan 2001, selengkapnya pada Tabel 8.

Tabel 8. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Tahun 2001 Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses IPK < 2 IPK 2.0 – 2.49 IPK 2.50 – 3.00 IPK > 3.0 Total IPK
Seleksi f % f % f % f %   Rata-rata
PMDK        – 1    12.50 3    37.50 4 50.00 8 2.88
UMPTN 2    8.00 11    44.00 8    32.00 4 16.00 25 2.56
Khusus 5 11.63 11    25.58 22    51.16 5 11.63 43 2.57
Total 7 9.21 23 30.26 33 43.42 13 17.1 76 2.6

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ Angkatan 2001 secara keseluruhan mempunyai rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,6, dimana terbanyak antara 2,50 – 3,00 ada 33 orang (43,42%) dan hanya 7 orang (9,21%) kurang dari 2,0. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 2,88, dimana hanya 1 orang (12,5%) berada pada rentang 2,0 – 2,49 dan terbanyak lebih dari 3,00 ada 4 orang (50%). Sedangkan dari Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,56, dimana hanya 2 orang (8%) kurang dari 2,0 dan terbanyak 11 orang (44%) berada pada rentang 2,0 – 2,49. Sementara yang melalui jalur seleksi khusus rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,57, dimana hanya 5 orang (11,63%) kurang dari 2,0 dan lebih dari 3,0 dan sebagian besar antara 2,50 – 3,00 sebanyak 22 orang (51,16%).

Perbandingan Hasil Studi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ

Rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) dan Proses Seleksi Masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ dari Angkatan 2001 – 2003, selengkapnya pada Tabel 9.

Tabel 9. Perbandingan Rata-Rata Indeks Prestasi Semester (IPS) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses Seleksi

Indeks Prestasi Semester (IPS) Rata-Rata
Tahun 2003 Tahun 2002 Tahun 2001
PMDK 2,67 2,21 2,71
SPMB 1,82 2,13 2,15
Khusus 1,83 2,24 2,10
Total 1,86 2,19 2,18

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata keseluruhan Indeks Prestasi Semester (IPS) mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ masih rendah, dan jika ditinjau dari proses seleksi masuknya mahasiswa dari Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) pada tahun 2003 dan tahun 2001 mempunyai Indeks Prestasi Semester (IPS) yang baik.

Sedangkan jika dilihat dari perbandingan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Proses Seleksi Masuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ dari Angkatan 2001 – 2003, selengkapnya pada Tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan Rata-Rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses Seleksi

Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Rata-Rata
Tahun 2003 Tahun 2002 Tahun 2001
PMDK 2,74 2,44 2,88
SPMB 2,46 2,53 2,56
Khusus 2,23 2,63 2,57
Total 2,36 2,56 2,60

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata keseluruhan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ masih rendah untuk tahun 2003, sedangkan untuk tahun 2002 dan 2001 sudah baik. Jika ditinjau dari proses seleksi masuk mahasiswa yang berasal dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan Seleksi Khusus tahun 2003 serta mahasiswa Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) tahun 2002 rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif masih kurang baik.

Perbandingan rata-rata Indeks Prestasi Semester (IPS) mahasiswa ditinjau dari Proses Seleksi Masuk dan Jenis Mata Kuliah mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FIK UNJ selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. Perbandingan Rata-Rata Indeks Prestasi Semester (IPS), Jenis Mata Kuliah, dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses Seleksi

Indeks Prestasi Semester (IPS) Rata-Rata
Tahun 2003 Tahun 2002 Tahun 2001
Gerak Teori Gerak Teori Gerak Teori
PMDK 2,63 2,65 2,71 1,77 2,36 2,92
SPMB 2,03 1,65 2,54 1,79 2,20 2,13
Khusus 1,98 1,75 1,81 2,58 1,85 2,28
Total 2,01 1,74 2,26 2,12 2,02 2,29

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata keseluruhan Indeks Prestasi Semester (IPS) mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ baik untuk mata kuliah gerak ataupun kuliah teori masih rendah. Sementara jika dilihat dari proses seleksi masuknya yang berasal dari Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) mempunyai IPS yang baik untuk kuliah gerak pada tahun 2003 dan tahun 2001, sedangkan untuk kuliah teori pada tahun 2001 rata-rata IPSnya baik. Sedangkan untuk Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) memperoleh IPS baik untuk tahun 2002, dan untuk jalur Seleksi Khusus memperoleh IPS baik untuk tahun 2002.

Jika dilihat dari banyaknya jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang dinyatakan lulus untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi FIK UNJ dari proses seleksi masuknya selengkapnya dapat pada Tabel 13.

Tabel 13. Perbandingan Rata-Rata Jumlah SKS yang Lulus dan Proses Seleksi Masuk Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani

Proses Seleksi

Rata-Rata Jumlah SKS yang Lulus
Tahun 2003 Tahun 2002 Tahun 2001
Lulus % Lulus % Lulus %
PMDK 17 94,44 16 88,89 18 94,74
SPMB 13 72,22 15 83,33 16 84,21
Khusus 14 77,78 15 83,33 13 68,42
Total 14 77,78 15 83,33 15 78,95

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah SKS yang lulus mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ paling baik adalah untuk tahun 2002 dimana dari 18 SKS beban wajib bisa diselesaikan sebanyak 15 SKS (83,33%). Sementara untuk tahun 2003 dari 18 SKS beban wajib dapat diselesaikan sebanyak 14 SKS (77,78%), dan untuk tahun 2001 dari 19 beban SKS wajib dapat diselesaikan sebanyak 15 SKS (78,95%).

Pembahasan

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi ditinjau dari Proses Seleksi Masuknya yang mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata adalah mahasiswa dari Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) untuk Angkatan 2003 dan Angkatan 2001, sedangkan untuk Angkatan 2002 yang paling baik adalah dari Seleksi Khusus.

Pada Angkatan 2003 Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata mahasiswa dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) lebih baik dibandingkan Seleksi Khusus, hal sebaliknya berlaku untuk angkatan 2002. Sedangkan untuk angkatan 2001 Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata mahasiswa dari Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan Seleksi Khusus hampir sama.

Jika dilihat dari rata-rata jumlah SKS yang lulus secara keseluruhan mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani untuk Angkatan 2003 mengulang rata-rata sebanyak 4 SKS, Angkatan 2002 mengulang rata-rata 3 SKS, dan Angkatan 2001 mengulang rata-rata 4 SKS. Mahasiswa yang berasal dari jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) mempunyai rata-rata jumlah SKS yang lulus paling baik (di atas 89% dari beban studi) dibandingkan dengan yang dari jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan Seleksi Khusus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil studi mahasiswa Program Studi Pendidikan Jasmani FIK UNJ pada saat kuliah di semester I sebagai berikut: 1) Angkatan 2003 yang berasal dari proses seleksi melalui jalur PMDK mempunyai rata-rata IPS dan IPK lebih baik dibandingkan dari mahasiswa yang masuk melalui SPMB dan Seleksi Khusus. Sedangkan mahasiswa yang masuk melalui SPMB mempunyai rata-rata IPK lebih baik dibandingkan dari Seleksi Khusus, 2) Angkatan 2002 yang berasal dari proses seleksi melalui jalur Seleksi Khusus mempunyai rata-rata IPS dan IPK yang lebih baik dibandingkan dari jalur PMDK dan SPMB. Sementara mahasiswa yang melalui jalur PMDK mempunyai rata-rata IPS lebih baik dibandingkan SPMB, tetapi jika dilihat dari rata-rata IPK mahasiswa dari jalur SPMB lebih baik, 3) Angkatan 2001 yang berasal dari proses seleksi melalui jalur PMDK mempunyai rata-rata IPS dan IPK lebih baik dibandingkan dari mahasiswa yang masuk melalui UMPTN dan Seleksi Khusus. Sedangkan mahasiswa yang masuk melalui UMPTN mempunyai rata-rata IPS dan IPK yang hampir sama dengan dari Seleksi Khusus.

Saran

Atas dasar kesimpulan di atas maka Pengelola Program Studi Pendidikan Jasmani dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa baru perlu dipertimbangkan untuk menambah persentase penerimaan mahasiswa yang berasal dari Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), melakukan evaluasi terhadap hasil kuliah mahasiswa di saat semester awal, memberikan peringatan awal dalam bentuk Surat Peringatan bagi mahasiswa yang pada saat semester I mempunyai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) kurang dari 2,0. Jurusan Sosiokinetika perlu melakukan evaluasi perkuliahan setiap semesternya dengan melibatkan Pengelola Program Studi Pendidikan Jasmani dan para dosen. Fakultas Ilmu Keolahragaan perlu membuat kebijakan dalam mengatur proporsional penerimaan mahasiswa melalui jalur PMDK, SPMB, dan Seleksi Khusus. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk prestasi belajar mahasiswa dari awal masuk sampai dengan selesainya.

DAFTAR RUJUKAN

Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2003/2004. Jakarta: UNJ, 2003.

Buku Pedoman Akademik Universitas Negeri Jakarta Tahun 2001/2002. Jakarta: UNJ, 2001.

Hasil Rapat Kerja Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta, 2002.

http://bppub.brawijaya.ac.id/menu4/index.php?file=4_2, diakses pada tanggal 15 Agustus 2004.

Jalaluddin Rakhmat, 2001, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Soeganda P dan H.A.H Harahap, 1987, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: PT.Gunung Agung.

Syarifudin, 2000, Kunci Sukses Pengembangan Program Pendidikan Jasmani, Jakarta: PT Ardadizya Jaya.

Tim FIK-UNJ, 2001, FIK UNJ & Perspektif Ilmu Keolahragaan, Jakarta: FIK UNJ.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989.

[1] Del Asri, S.Si., Drs. Fahmy Fachrezzy, M.Pd., Drs. Sukiri, M.Pd., dan Drs. Octavianus Matakupan adalah Dosen pada Program Pendidikan Jasmani Jurusan Sosiokinetika Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta.

Analisis Perbandingan Panjang Artikel Olahraga Atlet Putera dan Atlet Puteri Pada Koran Harian Indonesia

Penulis: Del Asri[1], Tedi Cahyono[2] dan Kecuk Tri Prasetya[3]

Jurnal Pendidikan Jasmani, Volume 4 No 1 Mei 2005

RINGKASAN

 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan panjang artikel olahraga atlet putera dan atlet puteri pada koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta, penelitian ini dimulai dari April 2004 sampai dengan Januari 2005. penelitian ini menggunakan metode Deskriptif dengan teknik analisis isi, dan pengambilan datanya menggunakan formulir isian. Populasi penelitian ini adalah koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta. Sampel yang diambil adalah 6 koran yaitu Kompas, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Republika, Suara Pembaruan, Koran Tempo, yang diambil dari bulan April sampai dengan bulan September 2004.Dari 6 koran tersebut, didapat 504 edisi yang dijadikan sampel 2716 artikel. Pengujian hipotesis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan Uji Chi Kuadrat. Dari hasil penelitian ini terdapat perbedaan antara panjang artikel olahraga putera dengan artikel olahraga atlet puteri, dapat pula dikatakan bahwa terdapat perbedaan gender dalam pemberitaan olahraga pada koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta.

Kata Kunci: Panjang Artikel Olahraga, Koran Harian

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini pemberitaan televisi terhadap even-even olahraga sangat kurang, seperti televisi nasional dan swasta enggan untuk menyiarkan secara langsung even olahraga baik yang bertaraf nasional maupun Internasional seperti halnya Olimpiade, pesta olahraga sejagat ini pun luput dari perhatian televisi nasional dan swasta sehingga Indonesia tercatat sebagai satu-satunya Negara peserta Olimpiade yang total berjumlah 202 negara yang tidak menyiarkan Olimpiade secara langsung. Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI tahun 2004 di Palembang, pesta olahraga di negeri sendiri juga luput dari perhatian karena tidak ada stasiun televisi yang meliput, kalaupun ada hanya jurnal yang diletakkan di ujung berita.

Koran harian berbeda dengan televisi, koran selalu memberitakan setiap even-even olahraga yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun diluar negeri ulasannya pun menarik disertai dengan foto-foto peristiwa olahraga yang menarik dan profil-profil atlet, sehingga masyarakat dapat mengetahui peristiwa olahraga yang terjadi, bahkan koran menyediakan halaman khusus untuk setiap even besar olahraga seperti Olimpiade dan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI, tahun 2004 di Palembang.

Media olahraga merupakan perantara antara kegiatan olahraga dan para penggemarnya (Rusli Lutan dan Amung Ma’mun, 2000:94). Melalui media olahraga penggemar olahraga dapat mengetahui tentang peristiwa-peristiwa olahraga yang disenanginya, namun pihak media itu sendiri sering memasukan penafsirannya ke dalam even olahraga sehingga menimbulkan efek tertentu terhadap persepsi para penggemar, terutama pemirsa televisi. Secara sadar ataupun tidak disadari, televisi sering mendandani even yang sebenarnya kecil bisa nampak menjadi besar, bagian penting dari seluruh peristiwa di penggal dan bagian itu ditonjolkan melalui gerak diperlambat, bahkan efek dramatis bisa diperkuat seperti tindak kekerasan di lapangan. Karena terperangkap pada penonjolan ketegangan sebagai daya tarik, apa yang di komentari itu tidak sehebat kejadian sebenarnya, keadaan ini sering kita lihat dalam pengungkapan alur bola dalam sepakbola atau duel dalam bulutangkis.

Persepsi melalui televisi atau pengamatan langsung dengan persepsi melalui bacaan koran tidak saling bersaing satu sama lain, inilah yang membuat menarik, karena ada pandangan bahwa setelah melihat di televisi, orang masih ingin mengetahui ulasan-ulasan yang tertulis di koran dan biasanya penggemar membandingkan antara ulasan yang ada dengan ulasannya sendiri. Media olahraga, selain menyediakan informasi sehingga publik menjadi “well inform”, media olahraga merupakan agen sosial yang efektif untuk menggugah partisipasi dan bahkan memperkuat respons emosional dan kesiapan berbuat dalam olahraga (Rusli Lutan dan Amung Ma’mun, 2000:95).

Keberadaan media olahraga saat ini terutama koran tidak bisa kita abaikan karena koran mempunyai peran yang besar dalam proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan koran tidak hanya menyebarkan informasi semata tetapi kemampuannya sudah melewati batas dari fungsi dasar koran itu sendiri, sebagai penyebar informasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Ini berarti, peluncuran informasi tidak sekedar agar khalayak tahu atau sadar akan suatu peristiwa, namun secara tidak langsung meningkatkan pengetahuan mereka yang selanjutnya dapat digunakan sendiri dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kegiatan olahraga. Peran penting lainnya dari koran adalah mendorong proses sosialisasi melalui olahraga. Internalisasi nila-nilai hakiki dalam olahraga, seperti pentingnya fair play, memerangi tindakan amoral berupa pemakaian doping, dapat di lakukan oleh koran.

Koran juga sangat mempengaruhi pembacanya dalam memahami suatu berita, seperti olahraga kerap dipandang sebagai dunianya kaum laki-laki, pemahaman ini tampaknya cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan ciri olahraga yang mengutamakan kemampuan fisik yang baik dan itu dimiliki kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan yang memiliki kemampuan fisik lemah. Koran dalam pemberitaan olahraga, tampaknya cenderung lebih banyak memberitakan atlet putera dibanding atlet puteri sedangkan peran wanita dalam olahraga sudah sejak lama, semenjak Pekan Olahraga I (PON I) di Solo pada tahun 1948. Pekan Olahraga Nasional yang pertama ini diselenggarakan waktu bangsa Indonesia tengah berjuang meraih pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia. Maka PON I ini dapat kita anggap sebagai suatu permulaan peran wanita di bidang Olahraga.

Koran mempunyai peranan yang cukup kuat untuk mempengaruhi nilai-nilai, norma, dan prilaku seseorang, oleh karena itu koran jangan sampai terjebak pada pemberitaan yang sifatnya bias gender. Tampaknya koran harian sering memberitakan secara tidak seimbang antara atlet putera dengan atlet puteri maka seperti yang sekarang dialami masih banyak yang beranggapan bahwa kegiatan olahraga yang mempunyai ciri kompetitif hanya cocok untuk anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak cocok. Anak perempuan lebih cenderung diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya feminim.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pemberitaan olahraga sering dikaitkan dengan gender. Memang gender telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial serta topik penting dalam setiap perbincangan. Sesungguhnya tidak ada gender dalam bahasa Indonesia, dalam kamus bahasa Inggris, tidak jelas dibedakan arti kata “sex dan gender” keduanya diartikan jenis kelamin

Pemahaman dan pembedaaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam menganalisa suatu permasalahan, maka terlebih dahulu perlu dipahami pengertian gender dengan seks atau jenis kelamin.

Seks mengandung arti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis serta memiliki perbedaan dan ciri-ciri sendiri. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Konsep gender itu sendiri adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural (Trisakti Handayani dan Sugiarti, 2001:3). Perempuan di anggap lemah lembut, emosional, keibuan dan lain sabagainya. Sedangkan laki-laki di anggap kuat, rasional, perkasa dan lain sebagainya. Sifat tersebut bukan kodrat karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Pendek kata semua sifat yang dapat ditukarkan antara perempuan dan laki-laki yang berubah sesuai dengan waktu , tempat dan kelas sosial di sebut dengan gender. Ada pendapat bahwa gender sebagai suatu keyakinan dan kontruksi sosial yang disosialisasikan secara turun temurun dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat (Miranti Hidajadi, 2001, 17:7).

Di Indonesia pada umumnya koran harian mempunyai berita khusus tentang olahraga, biasanya mulai dari 1 hingga 12 halaman. Hal ini menunjukan bahwa minat masyarakat untuk mengetahui berita olahraga melalui koran harian cukup tinggi. Hanya saja jika di lihat proporsi dalam pemberitaan kegiatan olahraga untuk atlet putera dan atlet puteri tampak tidak seimbang terdapat perbedaan di lihat dari panjangnya artikel. Sementara itu perkembangan zaman yang sudah begitu maju dalam bidang teknologi dan informasi, dimana isu kesetaraan gender menjadi penting tapi hal ini belum berlaku dalam pemberitaan olahraga di koran-koran harian. Peneliti bidang sosiologi olahraga yang berhubungan dengan perspektif gender masih jarang di Indonesia, maka dari uraian di atas penulis merasa tertarik untuk meneliti apakah terdapat perbedaan antara panjang artikel olahraga atlet putera dengan artikel olahraga atlet puteri pada koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta.

Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan antara panjang artikel olahraga atlet putera dengan atlet puteri pada koran harian di Indonesia yang terbit di Jakarta?. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca pada umumnya dan pada khususnya bagi redaksi koran harian di Indonesia agar dalam memilih berita olahraga yang akan diterbitkan tidak membedakan antara pemberitaan olahraga atlet putera dan olahraga atlet puteri sehingga tidak ada lagi perbedaan gender dalam pemberitaan di koran harian

 

DESKRIPSI TEORETIS

 

Hakikat Gender

Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokan kaum perempuan dalam konteks sosial ini menyebabkan sejumlah persoalan. Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, seperti laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional, sedang kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan.

Mitos fisiologi dan performansi juga sangat berpengaruh, yang mengatakan bahwa perempuan tidak bisa tampil lebih baik dari laki-laki. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi perempuan untuk membangun kemampuannya. Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan perempuan mempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak laki-laki karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata laki-laki lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata perempuan. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi perempuan.

Partisipasi olahraga dapat menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi perempuan, ada lima anggapan yang ada di dalam masyarakat antara lain adalah:

1) Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, karena latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fleksibel untuk melahirkan secara normal. 2) Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara perempuan. Padahal sebenarnya uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital laki-laki. 3) Struktur tulang perempuan lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh perempuan umumnya lebih kecil dari pada laki-laki, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot perempuan lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding laki-laki. 4) Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, “aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi.” (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir.                   5) Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik.

Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi perempuan untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan yang mengutamakan kemampuan fisik seperti olahraga. Dengan adanya mitos-mitos tersebut selalu memberi keuntungan bagi kaum laki-laki dan mendiskriminasikan kaum perempuan sehingga menimbulkan ketidakadilan.

Gender sendiri terbentuk karena keyakinan yang disosialisasikan secara turun temurun dalam keluarga dan masyarakat sehingga masuk dalam kehidupan masyarakat yang membentuk suatu hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang diakibatkan karena nilai laki-laki lebih dihargai dibandingkan nilai perempuan.

Analisis gender membantu memahami pokok persoalannya adalah sistem yang tidak adil, baik kaum perempuan maupun kaum lelaki mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akibat dari ketidakadilan gender sementara kaum lelaki mengalami dehumanisasi akibat melanggengkan penindasan gender. Oleh karena itu perlu di ketahui konsep dari gender itu sendiri.

Gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki dan perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Pendek kata semua sifat yang dapat ditukarkan antara perempuan dan laki-laki yang berubah sesuai dengan waktu, tempat dan kelas sosial di sebut dengan gender.

Ketidakadilan gender sudah merambah ke segala bidang yang ada, termasuk dalam pemberitaan di dalam koran. Ketidaksetaraan gender dalam pemberitaan di dalam koran sangat terlihat jelas. Perbedaan pemberitaan antara pemberitaan laki-laki dan perempuan sangatlah mencolok. Termasuk juga dalam pemberitaan olahraga, yang lebih di angkat ke dalam sebuah berita, lebih banyak kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan lebih sedikit, walaupun pada even olahraga itu dipertandingkan baik perempuan maupun laki-laki.

Keikutsertaan kaum perempuan dalam olahraga juga semakin meningkat dari tahun ketahun. Penelitian yang secara berturut dilakukan oleh Breidmeier dkk (1982-1984) menginformasikan, bahwa pada tingkat kompetensi yang lebih tinggi, baik atlet laki-laki maupun perempuan sudah mulai mengarah pada partisipasi yang lebih jauh meningkat (Harsuki dan Soewartini Elias, 2003:254). Sosiolog Michael Smith dalam Harsuki dan Soewatini Elias (2003:245) menyimpulkan bahwa mulai tahun 1970 tingkat keterlibatan perempuan dalam olahraga terus meningkat .

Perubahan dramatis pada olahraga sejak tahun 1970-an adalah naiknya tingkat partisipasi perempuan dalam olahraga. Hal ini terjadi di setiap negara industri. Di Amerika, tahun akademis 1970-1971 kurang dari 300.000 siswi sekolah menengah bermain olahraga tim sekolah, tahun akademis 1983-1984 ada 1.800.000 siswi yang berpartisipasi kenaikan sebanyak 600%. Hal ini sangat menarik karena pada periode yang sama jumlah siswi menurun sebanyak 5%. Di tingkat Universitas 16.000 mahasiswi bermain olahraga tim tahun 1970-an, namun tahun 1984 lebih dari 150.000 orang, kenaikan sekitar 900%. Jika dilihat dari tahun 1908 – 1996 partisipasi atlet putera dan atlet puteri pada Olimpiade terjadi peningkatan dari tahun ke tahun (Jay J. Coackley, 1998:223).

Jumlah even Olimpiade musim panas terbuka untuk umum bagi perempuan dan bagi laki-laki. Sebelas even sampai tahun 1996 di campur, atau terbuka untuk keduanya, total untuk para laki-laki dan perempuan akan dilakukan prosedur seperti ini untuk masing-masing di tiap Olimpiade menggunakan ini (Harsuki dan Soewatini Elias, 2003:254).

Keikutsertaan perempuan masih sangat kurang dan jauh dari keikutsertaan laki-laki, namun terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, sulit untuk menunjukkan jumlah partisipasi pada program olahraga masyarakat, namun hampir semua memperlihatkan adanya kenaikan partisipasi perempuan dalam olahraga.

Coakley & Westkott (1984) berpendapat bahwa, olahraga berpotensi memberikan pengalaman-pengalaman positif terhadap perkembangan perempuan. seperti: 1) Partisipasi olahraga dapat menekankan pembangunan identitas anak perempuan dalam kelompoknya yang berdasarkan pencapaian keahlian yang dihargai kelompok. Identitas seperti ini lebih mengutamakan melakukan sesuatu dari pada menjadi sesuatu, jadi aktif bukannya pasif. Partisipasi dalam olahraga membuat perempuan dapat mengejar aspirasi mereka dengan lebih serius. 2) Partisipasi olahraga dapat membuat perempuan menjadi individu yang tersendiri, dimana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga. 3) Olahraga dapat memberikan jenis dan figur pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, maka perempuan akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang tidak selalu benar dan sempurna. Begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orang tua mereka. Hal ini akan membuat perempuan menjadi lebih berani dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan atau kekuasaan orang lain.

Diskriminasi terhadap perempuan dalam olahraga baru didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Liputan media untuk berita tentang olahraga perempuan juga kurang, padahal olahraga laki-laki selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan mendapatkan peluang.

Pemberitaan pada surat kabar biasanya perempuan lebih di khususkan pada berita yang menyangkut tentang perempuan, seperti busana, masak-memasak, sehingga media itu sendiri yang menyebabkan adanya ketidaksetaraan gender.

Deklarasi Olahraga yang diambil dari buku “Declaration on sports” yang diterbitkan olah International Concil Sports and Physical Education (ICSPE) mengemukakan tentang hak setiap orang untuk melaksanakan olahraga. Hak asasi setiap orang untuk melaksanakan olahraga yaitu: 1) Olahraga menjadi bagian integral daripada setiap sistem pendidikan, olahraga perlu untuk mengimbangi serta melengkapi pendidikan anak dan menyiapkan mereka bagi pemakaian secara secara sehat dari waktu senggang setelah dewasa. 2) setiap usaha untuk membatasi kesempatan melaksanakan olahraga dengan alasan kebangsaan, politik atau agama, atau mengadakan diskriminasi apapun, adalah berlawanan dengan semangat olahraga. 3) setiap olahragawan mempunyai hak untuk mengembangkan potensinya dalam olahraganya, tanpa melihat latar belakang sosialnya. 4) Harus tersedia fasilitas cukup, agar setiap orang dapat melaksanakan cabang olahraga pilihannya dengan baik (M. Soebroto, 1973:16).

Kesimpulan dari uraian di atas, maka gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan faktor-faktor sosial dan budaya yang disosialisasikan secara turun temurun dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian-pengertian ini secara konseptual, perempuan dianggap kaum yang lemah sehingga dalam pemberitaanpun perempuan lebih dikhususkan pada berita-berita atau artikel yang menampilkan sisi feminim, sebaliknya kaum laki-laki yang dianggap kuat, selalu diberitakan pada artikel yang berhubungan dengan fisik atau bersifat maskulin. Seperti halnya pada berita tentang olahraga.

Hakikat Koran Harian

Surat kabar adalah media massa tercetak, berupa lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan, iklan, dan diterbitkan secara berbeda, bisa harian, mingguan, bulanan, serta diedarkan secara umum. Isinya pun harus aktual, juga harus bersifat universal, maksudnya harus bersangkut paut dengan manusia dari berbagai golongan dan kalangan. Menurut jenisnya surat kabar di bagi, surat kabar harian dan surat kabar berkala (mingguan, dwi mingguan, bulanan) (Kurniawan Junaedhie, 1991:25).

Koran atau surat kabar adalah berupa harian atau mingguan yang tidak mempunyai gambar kulit (cover) yang terbuat dari jenis kertas lain. Terdiri dari beberapa halaman yang memiliki antara 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) kolom. Isinya mengenai informasi sahari-hari. Tergolong sarana komunikasi massa khusus yang berfungsi sebagai penyebar segala berita baru (Kurniawan Junaedhie, 1991:137).

Surat kabar atau koran adalah termasuk juga media massa periodik karena di terbitkan secara berkala baik ada yang setiap hari dan minimalnya 5 (lima) hari dalam seminggu sudah dapat di sebut surat kabar atau koran harian, koran tidak mempunyai gambar kulit yang terbuat dari kertas lain, terdiri dari beberapa halaman berupa kolom-kolom dan isinya mengenai informasi aktual yang terjadi setiap hari yang berfungsi sebagai penyebar berita baru.

Karl Baschwittz dikutip oleh J.B. Wahyudi (1991:94) memberikan persyaratan kepada barang cetakan yang dapat di sebut dengan surat kabar atau koran, persyaratan itu adalah: 1) Publisitas, 2) Periodisitas, 3) Universalitas, 4) Aktualitas, 5) Kontinuitas.

Publisitas adalah isi pesan harus umum, dalam arti siapa saja dapat membaca, periodisitas adalah harus di terbitkan secara menyeluruh atau dari semua permasalahan di muka bumi ini. Aktualitas adalah harus sesuatu yang masih baru atau hangat, kontinuitas adalah isi pesan harus berkesinambungan dan terus-menerus, selama selama isi pesan itu masih menjadi perhatian khalayak.

Barang cetakan yang dapat disebut sebagai koran harus memiliki persyaratan-persyaratan seperti: publisitas, periodisitas, universalitas, aktualitas, kontinuitas. Surat kabar atau koran memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari surat kabar atau koran adalah selalu menyebabkan terjadinya pendekatan antara masyarakat dengan nilai-nilai baru. Kekurangannya adalah menimbulkan persfektif di kalangan masyarakat yang terkadang menjadi salah persepsi. Untuk itu penggunaan di masyarakat harus dapat saling melengkapi dan saling mengisi.

Harian adalah penerbitan pers yang terbit dan beredar setiap hari termasuk hari minggu kecuali hari libur, meski untuk penerbitan hari minggu di beri nama secara khusus, seperti Kompas minggu, Buana Minggu dan Suara Karya Minggu (Kurniawan Junaedhi, 1991:87).

Pengertian-pengertian yang ada di atas, maka koran harian di Indonesia adalah media massa tercetak yang tidak memiliki gambar kulit (cover), berupa lembaran yang berisi berita-berita umum dan iklan dan di terbitkan secara harian, beritanya masih baru atau hangat, dan diedarkan secara umum ke seluruh Indonesia.

Hakikat Panjang Artikel Olahraga Putera dan Artikel Olahraga Puteri

Menurut Kurniawan Junaedhie (1991:25) dalam bukunya Ensiklopedi Pers Indonesia artikel adalah karangan prosa dalam media massa yang membahas pokok persoalan secara lugas.

Artikel juga berbeda dengan essay, Pada artikel ada informasi, fakta-fakta serta dilengkapi dengan opini, ide, konsep, dan gagasan (Yurnaldi, 1992:53). artikel tidak terlalu memperhatikan keindahan bahasa dan bentuk, panjangnya bervariasi, dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan dan fakta, dengan tujuan meyakinkan atau membujuk atau menghibur pembaca.

Pengertian lain tentang artikel adalah, bentuk karya tulis yang bermanfaat untuk menyebarkan informasi kepada khalayak ramai yang menggambarkan kegiatan organisasi (http://www.deliveri.org/guidlines/how/ hm16/hm_21.htm, Diakses 27 Desember 2004).

Manfaat dan tujuan dari artikel yaitu merupakan karya tulis menggambarkan kegiatan organisasi atau perusahaan serta ditulis secara lengkap, padat, dan menarik, artikel biasa dijadikan alat propaganda agar khalayak menarik dan berminat untuk mengetahui produk perusahaan atau organisasi (http://www.deliveri.org/guidlines/how/hm16/ hm_21.htm, Diakses 27 Desember 2004).

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa, artikel adalah karya tulis yang tidak terlalu panjang tetapi lengkap, biasanya dimuat di koran atau majalah (EM Zulfajri dan Ratu Aprilia Senja, 82).

Menurut Dja’far H. Assegaf (1991:45) daya tarik dari artikel olahraga bagi pembacanya adalah unsur berita “pertentangan” (Conflict). Dalam setiap pertandingan atau perlombaan yang diadakan pada sebuah even olahraga selalu ada kompetisi, itu yang disukai oleh pembaca, sehingga pembaca akan selalu bertanya-tanya siapakah yang akan menjadi pemenang atau menjadi juara.

Pengertian olahraga menurut Menteri Pemuda dan Olahraga, olahraga adalah bentuk-bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh rekreasi, kemenangan dan prestasi optimal (Aip Syarifudin, 1987:11).

Keputusan Direktur Jenderal Olahraga No. 057 tahun 1968: “ Pengertian Umum” pasal 4: Olahraga adalah kegiatan manusia yang wajar sesuai dengan kodrat Illahi untuk mendorong, mengembangkan dan membina potensi-potensi fisik, mental, rohaniah manusia demi kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi dan masyarakat (Aip Syarifudin, 1987:11).

Panjang Artikel pengukurannya dilakukan menurut Akhadsyah Naina (1989:32) berdasarkan sentimeter kolom (Persuratkabaran di Indonesia menggunakan sentimeter kolom sebagai patokan ukur yang umum). Pertama-tama, seluruh ruang surat kabar diukur. Kedua seluruh ruang berita diukur. Di sini tidak termasuk Masthead halaman muka dan ruang iklan karena ini tidak dianggap sebagai bagian dari ruang berita. Bagian-bagian kecil yang kurang dari 0,5 tidak dihitung, sedangkan bagian yang lebih dari 0,5 dibulatkan keatas. Teks dan judul dihitung bersama-sama bagi setiap berita. Judul besar di atas beberapa berita dimasukan dalam berita pertama dibawahnya.

Jadi menurut uraian diatas panjang artikel olahraga adalah karya tulis lengkap dalam bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh rekreasi, kemenangan dan prestasi optimal di majalah atau surat kabar berupa karangan prosa yang membahas pokok persoalan secara lugas dan tidak memperhatikan keindahan bahasa dan bentuk dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan dan fakta dengan tujuan membujuk atau menghibur pembaca dan panjangnya bervariasi, pengukurannya dilakukan berdasarkan sentimeter kolom.

 

Kerangka Berpikir

Di Indonesia pada umumnya koran harian mempunyai berita khusus tentang olahraga, yang biasanya mulai dari 1 hingga 12 halaman. Hanya saja jika dilihat dari proporsi dalam pemberitaan kegiatan olahraga tampaknya panjang artikel untuk atlet putera dengan atlet puteri tidak seimbang. Seperti contohnya kompetisi basket kobatama (atlet putera) dan kobanita (atlet putri) atau piala Thoma dan Uber pada bulutangkis, disana terlihat bahwa panjang artikel pemberitaan yang di beritakan cenderung lebih panjang pemberitaan tentang pertandingan atlet putera di bandingkan dengan pertandingan atlet puteri.

Daya jual untuk olahraga atlet putera lebih tinggi dan lebih di minati oleh masyarakat, karena asumsi yang ada dalam masyarakat bahwa olahraga itu adalah sesuatu yang keras dan kuat. Asumsi yang seperti ini digambarkan dengan keperkasaan atlet putera dan itulah daya tarik putera, karena putera melambangkan kekuatan, kekerasan, perkasa, sehingga berita olahraga lebih banyak di beritaan olahraga yang berhubungan dengan laki-laki.

Hal demikianlah yang dijadikan daya tarik dari koran harian untuk menarik peminat dari pembaca. Koran mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi sikap, norma dan prilaku seseorang, maka koran jangan sampai terjebak pada pemberitaan yang sifatnya bias gender. Karena jika koran dalam artikel olahraganya tidak seimbang, maka seperti yang sekarang dialami masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kegiatan olahraga yang mempunyai ciri kompetitif hanya cocok untuk anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak cocok.

Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Bahwa panjang artikel olahraga atlet putera lebih panjang dibandingkan dengan panjang artikel olahraga atlet puteri pada koran harian di Indonesia yang terbit di Jakarta:

 

METODOLOGI PENELITIAN

 

Tempat penelitian ini di laksanakan di DKI Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2004 sampai dengan bulan Januari 2005. Metode penelitian yang digunakan metode deskriptif dengan teknik analisis isi koran harian di Indonesia yang diterbitkan di Jakarta.

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling dengan mengambil sampel dari tanggal 1 April – 30 September dari koran yang dipilih 6 koran yang mewakili, yaitu Kompas, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Koran Tempo. Untuk memudahkan dalam pengambilan sampel menggunakan teknik Systematic Sampling jadi dalam satu bulan di pilih untuk minggu ke 1 dan minggu ke 3 di ambil koran yang terbit pada hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu, sedangkan untuk minggu ke 2 dan ke 4 di ambil koran yang terbit pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.

Instrumen yang di gunakan adalah sebuah formulir isian yang terdiri dari masing-masing artikel, nama koran, hari tanggal dan bulan terbit, judul artikel, fokus artikel, posisi artikel, panjang artikel dan foto yang di tampilkan.

Panjang Artikel pengukurannya dilakukan berdasarkan sentimeter kolom (Persuratkabaran di Indonesia menggunakan sentimeter kolom sebagai patokan ukur yang umum) (Akhadsyah Naina, 1989:32). Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah di lakukan dengan teknik statistik Chi kuadrat

 

HASIL PENELITIAN

 

Deskripsi Data Penelitian

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Kompas keseluruhannya berjumlah 778 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 466 artikel dan puteri sebanyak 312 artikel. Koran Kompas ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 457 artikel dan multi event sebanyak 206 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 345 artikel dan even olahraga Internasional sebanyak 318 artikel.

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Media Indonesia keseluruhannya berjumlah 474 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 289 artikel dan puteri sebanyak 185 artikel. Koran Media Indonesia ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 351 sebanyak dan multi event 112 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 187 artikel dan even olahraga Internasional sebanyak 226 artikel.

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Suara Pembaruan keseluruhannya berjumlah 452 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 274 artikel dan puteri sebanyak 178 artikel. Koran Suara Pembaruan ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 264 artikel dan multi event sebanyak 137 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 235 artikel dan even olahraga Internasional sebanyak 166 artikel.

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Tempo keseluruhannya berjumlah 382 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 224 artikel dan puteri sebanyak 158 artikel. Koran Tempo ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 235 artikel dan multi event sebanyak 125 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 159 artikel dan event olahraga Internasional sebanyak 201 artikel.

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Republika keseluruhannya berjumlah 332 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 187 artikel dan puteri sebanyak 140 artikel. Koran Republika ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 227 artikel dan multi event sebanyak 79 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 140 artikel dan event olahraga Internasional sebanyak 166 artikel.

Jumlah artikel yang di dapat dari koran Rakyat Merdeka keseluruhannya berjumlah 298 artikel. Jumlah artikel atlet putera sebanyak 197 artikel dan puteri sebanyak 101 artikel. Koran ini memuat tentang pemberitaan olahraga dari berbagai macam even yang dipertandingkan dan yang sedang berlangsung. Even tersebut antara lain single event sebanyak 220 artikel dan multi event sebanyak 56 artikel. Even olahraga Nasional sebanyak 46 artikel dan even olahraga Internasional sebanyak 230 artikel.

 

Panjang Artikel Olahraga

Diambil 6 koran Indonesia yang terbit di Jakarta dan diambil 14 edisi atau 14 hari setiap 1 bulannya sehingga total keseluruhan sampel yang diambil dari 6 koran selama 6 bulan adalah 504 edisi.

Jumlah edisi 504, diambil berita olahraganya saja yang berisikan artikel-artikel olahraga, baik artikel olahraga dalam negeri maupun luar negeri.

Artikel olahraga yang diambil adalah artikel olahraga yang cabang olahraga itu terdapat atlet putera dan puterinya, berikut adalah jumlah cabang olahraga dari enam koran harian:

Tabel 1. Jumlah Artikel per Cabang Olahraga dari 6 Koran

No  Cabang olahraga Jumlah
1 Tenis 655
2 Bulu Tangkis 383
3 Panahan 41
4 Layar 17
5 Renang 106
6 Tinju 226
7 Voli 189
No  Cabang olahraga Jumlah
8 Atletik 186
9 Balap Sepeda 134
10 Dayung 20
11 Karate 30
12 Bola Basket 192
13 Sofbol 20
14 Tenis Meja 35
No  Cabang olahraga Jumlah
15 Billiar 27
16 Pencak Silat 15
17 Angkat Besi 78
18 Catur 47
19 Nunjitsu 2
20 Sepak Bola 75
21 Taekwondo 23
22 Ski Air 3
23 Judo 20
24 Anggar 12
25 Gokart 20
26 Squash 2
27 Wushu 11
28 Senam 8
29 Loncat indah 11
30 Sepak Takraw 6
31 Menembak 15
No  Cabang olahraga Jumlah
32 Bridge 18
33 Sepatu Roda 1
34 Berkuda 7
35 Binaraga 7
36 Tarung Drajat 3
37 Aerodinamik 9
38 Gulat 12
39 Panjat tebing 11
40 Hoki 4
41 Golf 10
42 Bowling 8
43 Selam 5
44 Terjun Payung 5
45 Dansa 2
46 Polo Air 2
Jumlah 2716

Jumlah 504 edisi yang terkumpul artikel yang masuk sampel adalah sebanyak 2716 artikel olahraga, dari 2716 sampel yang didapat panjang artikel keseluruhan yang diperolah adalah 63730. berikut adalah data yang diperoleh:

Tabel 2. Panjang Artikel dari Enam Koran Bulan April-September 2004

Jenis Kelamin

Panjang Artikel

Jumlah

Kompas Republika Media Indonesia Suara Pembaharuan Rakyat Merdeka Koran Tempo
Putera 12946 4451 6478 6962 2466 5351 38654
Puteri 7776 3716 4421 4129 1224 3810 25076
Jumlah 63730

 

Pengujian Hipotesis Penelitian

Penelitian ini memiliki satu variabel yaitu panjang artikel olahraga atlet putera dan artikel olahraga atlet puteri.

Uji Chi Kuadrat diperoleh harga c2 sebesar 2892,8 lebih besar daripada harga c2tabel sebesar 3,84. pengujian hipotesis menyatakan bahwa Hi diterima jika c2hitung lebih besar ≥ c2tabel dimana c2hitung adalah 2892,8 lebih basar dari c2tabel 3,84, dengan distribusikan bahwa pada tingkat signifikan a = 0,05. maka terdapat perbedaan yang signifikan antara artkel olahraga atlet putera dengan artikel atlet puteri. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Frekuensi Panjang Artikel Keseluruhan

Jenis Kelamin Frekuensi Frekuensi yang diharapkan
Putera

Puteri

38654

25076

31865

31865

Jumlah 63730 63730

 

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2004 sampai Januari 2005. data yang diambil adalah koran harian Indonesia yang terbit di Jakarta, karena banyaknya koran yang terbit di Jakarta maka penulis menggunakan teknik purposive sampling atau menunjuk secara langsung dengan menunjuk 6 koran yang di pilih berdasarkan oplah tertinggi dan banyak memberitakan olahraga dan pembacanya adalah merata di seluruh kalangan masyarakat.

Setiap bulan diambil 14 koran sebagai sampel dengan teknik sistematik sampling. Namun ada beberapa koran yang sama sekali tidak memberitakan berita tentang olahraga atlet putera dengan atlet puteri secara bersamaan karena even olahraga yang terjadi hanya mempertandingkan atlet putera saja seperti Piala Euro dimana dalam pemberitaannya dikhususkan untuk even tersebut, sehingga even tersebut tidak bisa dipakai sebagai data.

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara panjang artikel olahraga atlet putera dengan artikel olahraga atlet puteri pada koran harian di Indonesia yang terbit di Jakarta. Dapat dikatakan pula bahwa terdapat perbedaan gender dalam pemberitaan olahraga pada koran harian di Indonesia yang terbit di Jakarta.

Saran

Adapun saran-saran yang dapat dikemukan adalah: 1) Bagi redaktur koran: Agar menampilkan berita olahraga yang seimbang antara artikel olahraga putera dengan artikel olahraga puteri terutama panjangnya, sehingga tidak menimbulkan perspektif gender di kalangan masyarakat dan juga di harapkan tidak ada lagi bias gender dalam pemberitaan olahraga

 

DAFTAR RUJUKAN

Aip Sjarifuddin. 1987. Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Untuk SLTA Kelas I. Jakarta: CV Baru.

Akhmadsyah Naina. 1989. Analisis Isi Surat kabar Surat kabar Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Coakley J. Jay. 1998. Sport In Society Issue and Controversies. Colorado: Irwin McGraw-Hill.

Dja’far H Assegaff. 1991. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

EM Zul Fajri.dan Ratu Aprilia Senja. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa Publisher.

Harsuki dan Soewantini Elias. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

J.B. Wahyudi. 1991. Komunikasi Jurnalistik. Bandung: Penerbit Alumni.

Kiat Menulis Berita dan Artikel http://www.deliveri.org/guidlines/how/hm16/ hm16_21.htm, Diakses 27 Desember 2004.

Kurniawan Junaedhie. 1991. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Miranti Hidajadi. 2001. Perempuan dan Pembangunan. Jakarta: Jurnal Perempuan Vol. 17.

Moch Soebroto. 1973. Deklarasi Olahraga. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga Dan Pemuda Republik Indonesia Depdikbud, ICSPE.

Rusli Lutan dan Amung Ma’mun. 2000. Sosiologi Olahraga. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Siegel Sidney. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Trisakti Handayani dan Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhammadiyah Malang.

Wanita dalam Olahraga http://www.Depdiknas.go.id/publikasi/buletin/PppgTertulis/ 08_2001/ Wanita dalam_Olahraga. Htm. Diakses 14 Febuari 2005

Yurnaldi. 1992. Kiat Praktis Jurnalistik Untuk Siswa, Mahasiswa, dan Calon Wartawan. Padang: Angkasa Raya.

http://www.redaksi@mediaindonesia.co.id. Di akses 14 Januari 2005.

[1] Del Asri, S.Si. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta

[2] Drs. Tedi Cahyono, M.Pd. adalah Dosen pada Program Studi Pendidikan Jasmani, Jurusan Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta

[3] Kecuk Tri Prasetya, S.Pd. adalah Lulusan Program Studi Pendidikan Jasmani, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta